Rabu, 28 Mei 2008

Ekonomi Kerakyatan dan Keadilan Sosial

Oleh Imam Mahdi Avandy
(Ketua Umum IAA JOGJA 2007-2009)

Description
Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses sebesar-besarnya secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional serta meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, maupun dalam suatu mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan guna mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan

Pendahuluan

Pada saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan kaitannya dengan tema pada silabus yang disodorkan oleh The Annuqayah Institute tentang “Ekonomi Kerakyatan dan Peranannya dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus.

Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.

Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran kita semua, walaupun saya pribadi masih awam di bidang ini. Namun kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.

Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.

Ekonomi Kerakyatan Pespektif Bung Hatta


Untuk memudahkan memahami tentang ekonomi kerakyatan kita dapat mendalami dan mengaktualisasikan pemikiran Bung Hatta. Sebagai seorang cendekiawan, dia dikenal dengan pemikiran-pemikiran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dari kontribusinya dalam penyusunan UUD 1945, khususnya Pasal 34, yang menjamin kesejahteraan rakyat.

Beberapa pihak mungkin menangkap pemikiran-pemikirannya sebagai ekonom sosialis, tetapi bila kita cermati pemikiran tersebut mempunyai latar belakang kerakyatan. Melihat kondisi perekonomian nasional saat ini, adalah tepat bila kita mencari referensi dari seorang ekonom Indonesia yaitu Bung Hatta dengan ide-idenya tentang ekonomi kerakyatan. Terpuruknya perekonomian Indonesia belakangan ini, sebenarnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi para ekonom Indonesia. Selama ini paradigma yang berkembang di kalangan ekonom adalah mazhab neo-klasik, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Dalam aliran ini pertumbuhan ekonomi diperoleh dari akumulasi kapital. Ironisnya, orientasi pertumbuhan ekonomi ini sering melupakan hal penting lainnya yaitu pemerataan kesejahteraan. Dalam sebuah tulisannya 1933 yang berjudul "Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya", Bung Hatta mengemukakan ada ketidakadilan dalam struktur perekonomian Indonesia.

Di dalam tulisan tersebut diambil contoh mengenai pola hubungan antara petani dan pedagang kecil dengan pedagang besar/cukong pada zaman kolonial. Hubungan kedua pihak ini tidak berlandaskan keadilan tetapi berlandaskan pemaksaan, dalam hal ini pedagang besar/cukong dengan bantuan pemerintah kolonial memaksa para petani kecil agar menjual komoditasnya dengan harga rendah. Ekspor pada saat itu diarahkan hanya untuk kepentingan kolonialis.

Perekonomian saat ini ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Ketidakadilan terhadap perekonomian rakyat tetap ada. Hal ini terbukti dari orientasi pemulihan ekonomi yang selalu diarahkan pada stabilitas politik untuk menarik lagi investor asing.

Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat


Paradigma ekonomi kerakyatan memang tidak populer di tengah tuntutan percepatan pemulihan ekonomi. Akan tetapi, kenyataannya perekonomian rakyat mendominasi struktur perekonomian di Tanah Air. Hal ini karena sebagian besar rakyat adalah petani dan mereka inilah pelaku utama ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah term ekonomi yang tidak dijumpai dalam teori mainstream ekonomi ala Barat. Istilah yang paling mendekati ekonomi rakyat adalah micro business, itupun terjemahan yang tidak sepenuhnya tepat.

Seperti dikemukakan di atas, adanya ekonomi rakyat di Indonesia selain perekonomian modern yang bersahabat dengan industrialiasi, sering disebut dengan fenomena dualisme perekonomian (Boeke, 1953). Dua sistem perekonomian yang kontradiktif berjalan bersamaan di suatu negara, akan tetapi tidak terjadi integrasi antara kedua sistem ekonomi tersebut, menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi di negara bersangkutan.

Fenomena dualisme ekonomi menyebabkan rendahnya pertumbuhan mungkin masih debatable, karena eksesifitas pertumbuhan ekonomi pada akhir 80-an sampai dengan akhir 90-an, setidak-tidaknya meruntuhkan teori Boeke tersebut. Yang lebih substansial adalah pemerataan kesejahteraan, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat.

Di sinilah hebatnya Bung Hatta, sebagai salah satu founding father negara ini dia telah meletakkan dasar yang tepat bagi kesejahteraan rakyat, yaitu ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan Bung Hatta tidak bisa dipersamakan dengan teori dependensia ala Paul Baran yang menganjurkan untuk menutup hubungan ekonomi dengan negara maju, untuk memotong hubungan ekonomi yang eksploitatif, namun lebih kepada orientasi pembangunan dengan mengedepankan visi kerakyatan.

Dalam bentuk praksisnya ekonomi kerakyatan berwujud koperasi. Koperasi satu-satunya bentuk badan usaha yang akan menjamin eksistensi ekonomi rakyat. Namun, kenyataan yang dijumpai saat ini koperasi masih juga tak berdaya. Jangankan untuk menjadi "darah" perekonomian nasional, untuk bertahan hidup pun koperasi kita masih susah.

Sebagai bahan perbandingan, mari kita tengok Swedia. Sebagai salah satu negara Welfare State dan termasuk negara dengan GDP tertinggi di dunia, perekonomian Swedia didominasi koperasi. Hampir semua perusahaan besar di negara ini dimiliki koperasi. Negara kapitalis seperti Swedia ternyata lebih berorientasi kerakyatan dibanding negara Pancasila seperti Indonesia.

Penutup

Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.

Terakhir, yang harus dilakukan oleh kita bersama ketika duduk bareng disini, adalah bahwa saat mendiskusikan tentang perekonomian kerakyatan setidaknya dipahami sebagai proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy-nya, sebab Indonesia rakyatnya adalah mayoritas petani atau paling tidak berada pada posisi kelas menengah dan bawah. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.

Minggu, 25 Mei 2008

tabik

datang dan berceritalah
ada apa di rambutmu
tanganmu semakin keras

bagaimana engkau hari ini?

datang dan berceritalah
di sini ramah bersama kita

kirim ke
iaajogja@gmail.com