Selasa, 03 Juni 2008

Suspens di Balik Kepingan Salju


Sumber: Bernando J. Sujibto, Koran Tempo, 25 Mei 2008

Peraih Hadiah Nobel Sastra 2006, Ferit Orhan Pamuk, kembali meramu gagasan besar tentang peradaban Barat dan Timur yang berakar di Turki dengan karakter yang khas dalam novel Snow, di Balik Keheningan Salju. Ia merajut pertemuan Timur (Islam) dan Barat (Kristen) yang telah menciptakan kekeruhan di Turki, khususnya di awal abad ke-20, ketika Dinasti Ottoman mengalami kehancuran dan sekaligus menjadi titik tolak munculnya Turki modern di bawah kawalan Musthafa Kemal Attaturk.

Komposisi Snow terasa ringan dan segar, namun tetap penuh intrik dengan lilitan elemen thriller yang sengaja diciptakan “penuh pertanyaan”, yang bermuara ke persoalan serius tentang aliran, falsafah hidup, ideologi negara, peradaban, dan agama. Hal-hal ini mengingatkan kita kepada novel yang jauh lebih fantastik, yaitu My Name is Red, yang telah memikat audiens internasional.

Dalam Snow ada kristal salju yang merekam semua peristiwa yang dituturkan Pamuk. Uniknya, di tangan Pamuk, salju bukan sekadar salju. Salju menjadi bernuansa lain. Ia seperti ruh yang ikut mengalir di balik konflik tajam dan ketika nuansa romantis sekalipun.

Seperti halnya dalam My Name is Red, dalam Snow Pamuk mencoba mendialogkan peradaban Barat dan Timur dengan segala kompleksitas persoalannya, yang acap menjadi pemicu konflik global hingga kini, demi menggapai sinergi. Gagasan ini, menurut kritikus Margaret Atwood, menjadikan Pamuk sebagai penulis spesialis peradaban Barat-Timur yang sangat penting di abad ini. Pamuk mampu mengolah persoalan Turki dengan karakter kuat melalui jamuan thriller, cinta yang hampa, harapan yang semu, dan kegamangan posisi pemerintah dengan spirit peradaban universal dan humanisme yang kuat.

Pamuk begitu risih terhadap sebutan identitas yang menciptakan diskriminasi, seperti “aku orang Azeri”, “aku orang Kurdi”, dan “aku orang Terekemi” (hlm. 46). Ia mencoba konsep berkesenian yang melebur semesta, dengan merentangkan jembatan dialog dan transformasi pemahaman. Ia ingin sekali melebur sekat-sekat dikotomis-eketrem itu. Alasannya, ”hatiku yang bimbang mendamba Barat ketika aku berada di Timur dan mendamba Timur ketika aku di Barat... aku ingin menjadi Timur sekaligus Barat” (My Name is Red, 2006; hlm. 620).

Secara ide, My Name is Red dan Snow seperti sebuah sekuel yang saling bertalian dan menyambungkan benang-benang kusut yang sengaja disulam terputus di novel terdahulu dan dirajut secara lebih terang melalui novel yang belakangan. Konteks latar pun sama: Turki yang mengalami tekanan perubahan di tengah arus modernisasi antara Asia dan Eropa, yang memaksa negara itu menerimanya meski pada gilirannya harus mengalami keterpecahan antara Ankara dan Istanbul. Pamuk kreatif menyajikan apa yang dimilikinya. Meskipun diangkat dengan latar dan simbol Turki, gagasan peradaban yang ia ramu bisa menjadi cermin bagi dunia global, khususnya bagi dunia Islam abad ini.

Di sini salju menjadi simbol eksotisme, dan yang utama mengiringi jalinan peristiwa demi peristiwa. Si bintang baru yang terbit dari timur, demikian pujian The New York Times, memulai kisahnya dari seorang pria bernama Kerim Alakusoglu (nama inisialnya Ka), jurnalis sekaligus penyair. Pada awalnya Ka datang dari Frankfrut di kota kelahirannya, Kars, untuk meliput suksesi pemilihan wali kota dan sekaligus menyelediki tragedi bunuh diri yang semakin marak dilakukan oleh gadis-gadis Kars. Setelah dua belas tahun sebagai eksil di Jerman, Ka menjumpai Kars jauh berubah dari masa lalunya: kumuh, miskin, pengangguran tinggi, depresi karena banyak kekerasan (hlm. 25).

Ditemani Serdar Bey, seorang pengelola harian di kota itu, Ka menggali informasi lebih lanjut tentang situasi politik dan kasus bunuh diri para gadis. Seperti kasus bunuh diri yang terjadi pada Telime, gadis siswi madrasah aliyah (sekolah Islam setara SMU). Kasus ini menyita perhatian Ka karena gadis itu berjilbab dan taat agama. Ternyata, pada suatu kala setelah berwudlu dan melakukan salat, Telime membentangkan jilbabnya ke atap dan gantung diri.

Kehadiran Ka di tengah gejolak Kars menjadi lebih runyam, khususnya setelah ia --dengan mata telanjang --melihat penembakan oleh seorang yang belum jelas identitasnya terhadap Direktur Pendidikan kota itu. Penembakan terjadi di sebuah bar bernama Toko Kue Hidup Baru, ketika Ka bersama dengan Ipek, pacarnya di masa lalu yang kini menjadi janda dari Muhtar, calon wali kota Kars. Aksi penembakan merebak ke tengah kota. Posisi Ka dan Ipek pun menjadi kunci bagi penyidikan pihak militer. Di saat inilah Ka harus terlibat dengan simpang siurnya kabar dan kekacauan demi kekacauan. Di tengah kerunyaman itu pula benih cintanya kepada Ipek tumbuh perlahan, dan bahkan Ka bulat ingin mempersunting dan memboyong Ipek untuk hidup bersama di Frankfrut.Dengan berjalannya penyidikan, aksi pembunuhan pun terkuak. Direktur Pendidikan yang naas itu dibunuh oleh militan Islam yang gencar menolak kebijakan pelarangan memakai jilbab di madrasah aliyah. Pada waktu itu, terjadi keputusan di parlemen, yang mayoritas dikuasai kalangan sekuler, bahwa di sekolah dilarang memakai simbol agama, termasuk jilbab. Semua orang tua pun resah oleh keputusan ekstrem dari negara. Tak ada cara selain menyuruh anak gadis mereka mecopot jilbab demi memperoleh pendidikan. Bersamaan dengan itu pula kasus bunuh diri semakin signifikan dari kalangan anak-anak gadis.

Kasus pembunuhan itu bagai bola salju yang menggelinding kencang dan menjadi pemantik pembunuhan berikutnya yang melibatkan banyak orang, dari berbagai aliran dan paham. Di tengah situasi itu, semua elemen dimanfaatkan demi mencari menang antara militan Islam dan pihak skuler. Yang paling tragis, kegiatan kesenian seperti kelompok Teater Nasional pimpinan Sunny pun ikut menjadi tunggangan politik dan perang dingin kepentingan. Ironisnya, pemeran teater yang menjadi tunggangan pihak sekuler adalah Kadife, adik Ipek yang dikenal taat beragama. Dalam satu perannya, ia mencopot jilbab kemudian membakarnya di depan tatapan ribuan pasang mata di gedung Teater Nasional. Keberanian Kadife ternyata hanya karena cintanya kepada Lazuardi, yang berada dalam sekapan para penculik --keberanian yang tetap saja tak menolong Lazuardi, yang akhirnya terbunuh.

Pembunuhan tak selesai di situ. Kisah kian mencekam ketika intaian maut sampai ke tubuh Ka, setelah dia pulang dan beberapa bulan tinggal di Frankfrut bersama Ipek. Pembunuhnya dibiarkan menggantung oleh Pamuk. Tak ada yang yakin siapa yang melakukan semua itu. Siapa sebenarnya yang membunuh Direktur Pendidikan? Benarkah Ka berkhianat kepada Ipek dan Lazuardi? Siapa yang membunuh Ka?

Salju pelan-pelan lebur bersama air mata Pamuk, sebagai pencerita ulung yang tiba-tiba menyusup seolah menjadi tokoh. Pamuk seperti masuk ke tokoh Ka, kadang juga menyusup ke diri tokoh yang lain. Semua itu dilakukan dengan sangat cantik dan cerdik. Semua peristiwa berdarah dalam novel ini mengkristal, menjadi Salju, sebuah puisi gubahan Ka yang berisi catatan penting petualangannya di Kars.

Berkesenian yang Melebur Semesta


Sumber: Bernando J Sujibto, KOMPAS, 22 April 2007
(tulisan ini adalah resensi buku alumni kami)

Hadiah Nobel Sastra tahun 2006, yang dianugerahkan kepada Ferit Orhan Pamuk, penulis kelahiran Istanbul, Turki, 7 Juni 1952, menemukan posisi yang unik dan potensial untuk ditelisik. Seperti diakui banyak pengamat sastra dunia sekaligus panitia penganugerahan Nobel Sastra Norwegia, bahwa yang menjadi latar belakang Pamuk menerima hadiah paling bergengsi di dunia kesusastraan dunia itu adalah karena keberaniannya melebur nilai-nilai dan karakteristik Barat dan Timur dan disajikan secara memukau lewat novel-novelnya. Perang yang belakangan terus berkecamuk antara Barat (baca: Eropa/Kristen) dan Timur (Arab-Islam) mempunyai misteri yang tak kunjung selesai dikuak. Dunia Barat dan Timur terus meruncingkan senjata dan kekuatan tersembunyi yang sama- sama tak mau dikendalikan dan diatur oleh siapa pun. Hal ini terbukti dengan fenomena senjata nuklir Iran (wakil dari Timur) yang terus dicap sebagai pengembang bahan aktif bom nuklir. Juga pihak (negara) Barat yang mengembangkan senjata nuklir baik secara sembunyi- sembunyi atau yang transparan, seperti Amerika.

Berbagai antitesis yang menentang clash of civilization-nya Samuel Huntington sebagai cikal bakal kekeruhan pemahaman tentang Barat dan Timur yang dikotomis mulai muncul, tetapi semuanya masih dalam diskursus dan wacana yang minor. Secara transparan, tidak ada satu pihak pun yang menentang kedua magnet dan merentang jembatan dialogis antarkeduanya demi mencapai kedamaian dunia yang dicita-citakan.

Novel Benim Adým Kýrmýzý (My Name is Red) karya Orhan Pamuk menawarkan sebuah pendekatan dan (kalau boleh dibilang) terobosan lewat dunia kesenian sastra yang mencerahkan semua segmen peradaban (Barat dan Timur). Pamuk mencoba menawarkan sebatang lilin untuk menyinari kerunyaman Barat dan Timur dalam jalinan cerita yang apik dan memukau dalam novel ini. Dalam novel yang membawa diri Pamuk memenangi anugerah Hadiah Nobel Sastra 2006, menyusul Nagiub Mahfouz sebagai penerima penghargaan sastra paling bergengsi dari bangsa Arab, mencoba bagaimana benang yang sudah kusut itu bisa dipertalikan menjadi jembatan dialogis antarperadaban. Karena bagi Pamuk, karya seni yang baik merupakan kesatuan visi yang melebur dengan segala jenis budaya bangsa mana pun—tak terikat satu lokalitas yang ekstrem.

Sebagai keturunan orang Timur, hadirnya Pamuk ke pentas khazanah kesusastraan internasional mempunyai warna yang mengubah pandangan dunia secara signifikan. Apalagi novel My Name is Red ini mempunyai terobosan yang tak terpikirkan sebelumnya oleh siapa pun, khususnya sastrawan bangsa Timur sendiri.

Di tengah ketegangan dan kemarahan bangsa Timur karena merasa dilecehkan oleh Barat, Pamuk muncul bagai sosok "nabi" yang mau meleburkan dua kutub itu menjadi satu yang saling bergandengan tangan. Uniknya, media yang mencoba mendialogkan itu adalah media kesastraan. Inilah sisi prestisius Pamuk dalam berkiprah dengan multidimensional peradaban Barat dan Timur.

Seni sebagai jembatan

Bagi Pamuk, seni adalah jembatan yang mencoba mencari formulasi terbaik untuk menyambungkan peradaban dunia sebagai kekayaan dan khazanah kebudayaan universal. Sajian Pamuk dalam novel My Name is Red menunjukkan konsistensi itu. Meskipun novel ini tidak menohok kepada benturan peradaban Barat dan Timur seperti halnya terangkum dalam novel terbaru Pamuk, Kar (Salju, 2002—dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Snow), tetapi novel ini pada akhirnya akan bermuara pada keriskanan dua kutub itu.

Di akhir novel ini Pamuk berteriak dengan puisi yang dilagukan: "hatiku yang bimbang mendamba Barat ketika aku berada di Timur dan mendamba Timur ketika aku di Barat…aku hanya ingin menghibur diri sendiri dari depan sampai belakang, untuk menjadi Timur sekaligus Barat" (hal 620).

Berkesenian gaya Pamuk mencoba membangun jembatan untuk mempertemukan Barat dan Timur sekaligus kebudayaan dan peradabannya masing-masing. Tesis yang diusung Pamuk tentu kontra dengan pernyataan penyair Inggris, Rudyard Kipling, yang menulis bahwa "East is east and west is west and never the twain shall meet" (timur adalah timur dan barat adalah barat, keduanya tidak akan pernah bertemu).

Dalam wawancara tentang novel yang ditulisnya selama enam tahun ini, Pamuk menegaskan pandangannya tentang betapa perbedaan hendaknya tidak dijadikan alasan untuk bertikai dan saling membunuh, "dalam novel saya, mereka bahkan saling membunuh karena pertentangan Barat dan Timur ini. Namun, tentu saja, saya berharap pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya pada konflik ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan beragam hal yang berasal dari aneka akar budaya."

Cerita indah dan menarik ini bermula di Istanbul—simbol kejayaan khalifah Islam yang terakhir—di ujung abad XVI. Saat itu ada sebuah "proyek" tertutup dan tak biasa yang ditugaskan sang Sultan untuk merekam dan merayakan kejayaannya, dihiasi dengan ilustrasi para seniman, yaitu Tuan Osman, sebagai miniaturis terkemuka saat itu dengan kelompok kerja bengkel seni lukisnya yang terdiri dari beberapa orang.

Dalam proses penyusunan buku itu ada sebuah tragedi pembunuhan misterius yang terjadi pada salah satu miniaturis. Berbagai jalinan cerita berkelindan dalam mencari dan mengungkap misteri pembunuhan tersebut. Karakter tokoh yang unik dan tak biasa yang dihadirkan Pamuk bergantian dengan tidak jelas. Tidak boleh tidak misteri pembunuhan itu pun menjadi makin hitam dan tak terjejak.

Ada salah seorang pelukis ditugasi sang Sultan untuk mengusut misteri pembunuhan itu. Lelaki dengan wajah muram dengan identitasnya yang tak jelas pula menambah kerunyaman misteri itu. Akhirnya tidak ada orang yang bisa mengungkap misteri itu. Meskipun ada seorang—sebagai si "aku" dalam bab 58 (hal 669)—yang mengaku sebagai pembunuhnya, tapi si "aku" yang muncul di situ terus bertalian satu sama lain, antara Hitam, Osman, atau bahkan tokoh berkarakter Bangau, Merah, dan Kupu-kupu.

Melacak tokoh dan karakter yang diramu Pamuk tidak mudah dan bahkan seperti komentar Goenawan Mohamad tentang novel ini, memang tidak harus seratus persen dimengerti. Semua tokoh dalam novel ini menjadi "aku-aku" yang banyak dan bergantian menceritakannya kepada pembaca. Kekuatan meramu teknik dan imaji yang tidak biasa ini membuat Pamuk menjadi unggul dan muncul sebagai pencerita ulung yang menjadi sumbangan bagi khazanah kesusastraan dunia.

Kemasan cerita cinta dan pembunuhan dengan bumbu misteri yang diramu Pamuk dengan meyakinkan dalam novel ini menjadi sangat perlu dinikmati oleh siapa pun sebagai pengayaan khazanah sastra Nobel dunia sekaligus khazanah sastra Arab-Islam modern.
Nilai religiositas

Dibandingkan dengan penulis Muslim-Arab modern lainnya, Pamuk termasuk sosok novelis yang mengeksplorasi di ranah keagamaannya sangat kuat. Nilai- nilai keislaman universal yang terkandung dalam Al Quran tentang semesta yang lebur tanpa ada sekat Barat dan Timur digali dan dihadirkan secara khusus oleh Pamuk. "Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah" adalah ungkapan Pamuk yang mencerminkan sebuah ayat Al Quran tentang kepemilikan langit dan bumi hanya milik Tuhan yang Mahasatu. Tidak ada orang yang jadi penguasa di Barat ataupun di Timur.

Pemakaian simbol huruf hijaiah, seperti alif, ba, dan ta, yang menjadi bagian jalinan penyambung cerita Pamuk dalam novel ini mengingatkan kita betapa penting melihat simbol-simbol kecil religius yang jarang disadari oleh penganutnya sendiri. Pamuk mencoba menerobos hal sepele semacam itu menjadi suatu yang unik dan luar biasa. Di sisi itulah yang membuat Pamuk hadir dengan sosoknya yang dingin dan novelnya sangat penting untuk dinikmati siapa pun.