Rabu, 23 Maret 2011

Dari Nirmala hingga Columbia

(Kali ini kami meunurunkan sebuah tulisan reflektif dan sarat curhat dari sorang kawan, alumni Annuqayah, yang sempat mempunyai kesempatan belajar bahasa dan budaya ke Amerika, Juni-Juli 2010. Semoga bermanfaat oleh-oleh cerita dari sana...salam, redaksi)

Suasana pagi di hari pertama, dari ketinggian lantai 9 Cliff Apartment, salah satu apartemen terkenal untuk mahasiswa asing (international students) di lingkungan University of South Carolina, saya menabur pandang ke hamparan gedung-gedung universitas yang megah dan rapih ditumbuhi pohon-pohon oak, magnolia, crepe myrtle dan dogwood. Maklum jika hari pertama ini serasa dalam mimpi bagi saya sebagai orang kampung yang bahkan tak kenal listrik selama masa kecilnya. Saya membatin, bahwa sebentar lagi saya akan segera merasakan iklim intelektual dan akademik dari sebuah perguruan tinggi negeri yang terkenal di negara bagian selatan (southern) Amerika Serikat, South Carolina. Saya akan menghapuskan semua rasa penasaran tentang Amerika dan orang-orangnya yang terlanjur menggaung nyaring di tanah airku.

Saya sekarang sudah benar-benar menginjakkan kaki di sebuah negeri adidaya yang selalu mengusik sejak saya masih di bangku MTs (sederajat SMP), terutama ketika saya membaca karya sastra orang-orang besar seperti novel Uncle Tom's Cabin karya masterpiece Harriet Beecher Stowe, buku-buku petualangan Mark Twain, hingga cerpen-cerpen terjemahan karya Ernest Hemingway. Program beasiswa IELSP (Indonesian English Language Study Program) dari IIEF (The Indonesian International Education Foundation) untuk belajar bahasa dan budaya (culture programs) selama dua bulan—Juni sampai Juli 2010—ternyata telah mengabulkan mimpi saya ke Amerika.



Pagi menjelang musim panas, tapi sisa-sisa musim semi awal bulan Juni 2010 masih sedikit terasa yang bisa disaksikan melalui rekahan bunga-bunga dogwood yang berjejer sepanjang jalan dan bunga-bunga semak myrtle yang menghampar manis dalam pandangan mata. Kombinasi panas yang mulai menyengat dan indahnya warna bunga membuat saya betah belajar dan bergaul dengan teman-teman internasional di sini. Dari balik kaca jendela di kamar 313, saya menatap rinai cahaya matahari yang merembes ke dinding ungu dari julur daun-daun pohon oak yang tumbuh subur di belakang apartemen. Ingatan saya mengulur mundur jauh ke belakang, di saat-saat mimpi ini baru diucapkan!

***

Pada awalnya adalah mimpi dan imajinasi. Itulah yang saya alami ketika tempo dulu saya tinggal dan belajar di sebuah lembaga pendidikan Islam bernama Pondok Pesantren Annuqayah daerah Nirmala, salah satu pesantren terbesar di Sumenep, Madura. Di lembaga ini saya belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, sekaligus bermimpi banyak tentang masa depan. Mimpi-mimpi itu lahir dari kamar pondokan yang kumuh dan berantakan. Kamar pondok berukuran sekitar 3x2,5 meter terasa sangat sesak. Kamar kecil dan sempit itu harus menampung 4-6 orang santri. Namun meski begitu, saya dan tentu juga teman-teman, sangat menikmati suasana seperti ini—sebagai jalan proses pematangan menuju masa depan yang lebih baik.

Saya belajar di pondok pesantren bersama seorang kakak bernama Hermanto Junaidi, sosok sang inspirator bagi saya. Dia hanya menemani proses belajar saya di pondok selama 2 tahun, dan selebihnya dia harus pulang ke rumah dan bolak-balik rumah sakit karena menderita sakit komplikasi. Akhirnya dia berpulang dengan tenang lebih awal di pertengahan bulan Agustus tahun 2002 setelah didera sakit lama. Sewaktu bersama di pondok, ada satu kalimat yang tidak mungkin saya lupakan dari seorang kakak ini.

Suatu kelak nanti, namumu juga akan termuat di sini. Dan semua orang akan membaca karyamu.” 

Dia menunjukkan sebuah puisi di majalah Sahabat Pena, majalah korespondensi milik PT. Pos Indonesia yang beralamat di Bandung waktu itu. Sehari-hari sebagai santri baru saya mengikuti kebiasaan seorang kakak: menulis catatan harian, puisi, dan cerita pendek, di sela-sela mengaji kitab kuning.

Sebagai seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin dengan pendapatan tidak menentu dari ladang sawah petani desa, saya harus “mengencangkan tali sarung” demi mengatur budget yang sangat pas-pasan dan bahkan kurang. Uang Rp. 30.000-40.000 dan segantang beras untuk satu bulan harus saya atur sedemikian hati-hati agar bisa mencukupi dan menyisihkan sebagian untuk menabung. Tak ada kata selain menabung walaupun sedikit untuk membeli buku pelajaran dan menambah koleksi bahan pustaka kesukaan. Saya tidak pernah membayangkan bagaimana bisa merampungkan pendidikan dalam kondisi seperti itu. Antara doa dan ikhtiar harus dipasangkan secara bersamaan dalam hidup seperti itu. Dan semangat ini pula yang telah melecutkan saya menerobos tajam demi masa depan!

Di tengah kondisi seperti itu, kesukaan saya membaca semakin tinggi dan menggila. Perpustakaan daerah hingga perpustakaan pusat di Pesantren Annuqayah menjadi tempat kedua setelah kamar pondok. Koleksi pustaka berupa cerita pendek klasik dan petualangan dari seluruh dunia, ditambah dengan bendelan majalah DeTik, Tempo, dan Forum tahun 70-80an menjadi bacaan favorit saya. Bahan pustaka yang tidak ada di perpustakaan, terutama majalah-majalah terbaru, harus saya beli sendiri dari tabungan. Majalah Sahabat Pena, Annida, dan Majalah Sastra Horison adalah kesukaan saya. Kegilaan membaca karya-karya sastra terus meningkat hingga memaksa saya melakukan segala cara demi mendapatkan buku-buku sastra dan majalah yang tidak tersedia di perpustakaan pesantren.

Demi selembar buku dan majalah, saya mulai keras memutar otak. Waktu itu baru kelas 2 MTs, saya menemui seorang penjual nasi bungkus keliling yang datang ke pondok setiap pagi. Saya menawarkan jasa kepada wanita paruh baya itu agar saya menjualkan nasi bungkusnya ke semua santri. Alhamdulilah, saya diterima menjadi pegawai penjual nasi bungkus dengan kontrak: saya mendapatkan Rp. 100 per bungkus dan mendapatkan bonus satu bungkus nasi gratis setiap hari. Lumayan, setiap hari saya bisa dapat nasi gratis dan menabung uang dari Rp. 1500 hingga 2000. Dari hasil ini, saya pun bisa menabung untuk membeli buku dan majalah kesukaan. Satu per satu buku-buku dan majalah malai menghiasi rak lemari buku. Saya sangat bangga dengan proses ini!

Dari hasil itu saya bisa membeli sebagian buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Seno Gumira Adjidarma, Najib Mahfouz, Anton Chekhov, O. Henry dan Ernest Hemingway. Majalah Sahabat Pena dan Horison pun menjadi menjadi bacaan wajib setiap bulannya.

Di akhir kelar 3 MTs, awal tahun 2001, ada sebuah pengalaman yang terus menusuk dalam ingatan hingga saat ini. Pagi itu hari Kamis saat Ibu datang membawa kiriman beras untuk keperluan saya semasak sehari-hari. Saya melihat Ibu datang dengan perbedaan yang sangat mencolok; sangat menggugah nurani saya sebagai anaknya. Kali ini Ibu membawa kotak kayu berukuran sekitar 50 cm persegi. Ibu memanggulnya sendiri di atas kepalanya dalam kondisi sedang hamil tua, usia sekitar 7 bulan. Deg! Jantung saya seperti terdiam derdetak melihat Ibu datang dari arah barat menuju kamar pondok. Mukanya yang mulai berkurut dalam usia 47, terlihat sangat capai dengan balutan keringat yang deras merembes di mukanya.

Saya langsung sungkem di pangkuannya dengan derai air mata yang tak bisa tertahan lagi. Saya menemukan kehangatan dan cinta terdalam seorang Ibu kepada anaknya, sebuah ketulusan yang tak ternilai demi kesuksesan seorang anak yang tengah berada dalam jenjang pendidikan. Demi itu semua, seorang Ibu mengorbankan semuanya untuk sang anak. Di balik keikhlasan dan kebesaran hati seoarang Ibu, saya semakin mengokohkan keyakinan tentang mimpi-mimpi masa depan yang saya pegang erat demi kesuksesan, kebanggaan dan kebahagiaan Ibu di hari nanti. Saya semakin dewasa dan siap menata hidup meski di tengah keterbatasan dan kesulitan demi kesulitan.


“Ini kotak kayu untuk menyimpan beras dan lauk, biar tidak terkena hujan di dapur,” titah Ibu dengan muka yang masih terlihat kecapaian. “Ini Ayahmu yang bikin semalaman,” tambah Ibu meski tanpa diminta. Ibu membenarkan letak kotak balok kayu seberat sekitar 10 kg itu, sembari mengeluarkan segantang beras dan nasi telor dari dalamnya.

Mata saya bercaka-kaca terbayang sebuah kampung kecil di rumah, juga sosok seorang Ayah tiri yang seperti Ayah saya sendiri. Ayah tiri saya benar-benar mencurahkan kasih sayang seperti Ayah asli yang sudah meninggal waktu saya berusia 8 tahun. Tapi mereka semua sekarang sudah berpulang ke haribaan Ilahi. Dua sosok Ayah yang berjiwa besar dalam hati anak-anaknya.

Saya tidak bisa bergerak banyak selain menatap mukanya dengan sangat dalam karena Ibu begitu paham ihwal kondisi dapur pondok meski belum pernah melihatnya. Ruangan dapur di pondok saya seadanya. Hanya dipagari setengah batu bata dan setengah atasnya dianggitkan anyaman bambu yang jika ada air hujan sudah pasti merembes ke lantai dapur yang beralas tanah. Seperti biasa, saya hanya berdiam diri sembari mendengarkan cerita-cerita tentang suasana kampung teranyar dan petuah-petuah yang keluar dari seorang Ibu. Di saat itu pula, spirit baru terus tumbuh menggelora di dada.

Proses belajar di pondok pun terus berjalan semakin keras bagi saya. Saya pegang kuat-kuat sebuah prinsip bahwa tak ada komproni demi perubahan masa depan saya sendiri. Hampir tak ada waktu tanpa buku, sembari diselengi diskusi kecil yang menjadi kesukaan saya. Di tengah proses seperti itu, aktivitas membaca, diskusi, dan menulis telah menjadi lingkaran hobby yang paling menyenangkan. Tak ayal jika saya kemudian terpanggil pula untuk menulis baik berupa puisi, cerpen, dan esai. Tahun 2001 adalah fase pertama tulisan saya diterima majalah Sastra Horison, dan selanjutnya majalah-majalah seperti Annida, Sahabat Pena, dan Kuntum menyambut baik tulisan-tulisan saya. Dalam kondisi seperti ini, saya semakin yakin bahwa hidup harus diperjuangkan demi kemenangan!

Tak terasa, seperti terbangun dari tidur panjang, waktu enam tahun sudah dilalui dengan kenangan manis dan pahit; sayup dan riang. Saya sudah berada di penghujung waktu di Pondok Pesantren Annuqayah.


“Ibu, setelah dari Nirmala, saya ingin melanjutkan kuliah.”
“Ya terserah kamu, Nak. Tapi Ibu tidak punya apa-apa lagi untuk membantu biayamu.”
“Tidak apa, Ibu. Yang penting diizinin melanjutkan kuliah. Soal biaya biar saya sendiri yang mencari.”

Ibu hanya mengangguk, Dari bola matanya memancarkan seribu keyakinan sembari mengusap ubun-ubun sang anak. Percapakan ini terjadi awal tahun 2004 di sebuah dapur sempit di rumah, saat saya sudah di kelas akhir Madrasah Aliyah. Sambil mengangkat singkong bakar yang sudah matang, sebagai santapan kesukaan kami, Ibu seperti biasa bercerita hal-hal ringan ihwal cocok tanam dan sawah. Sambal petis dan cabe di atas ulekan cobek membuat suasana begitu akrab. Dan semangat pun terus berkobar.

Saya kembali ke pondok pesantren dengan niat yang sudah sangat mantap. Keyakinan kepada masa depan pun semakin terkonsep dengan rapih. Seperti biasa, teman-teman santri yang sudah menjelang kelas akhir di Madrasah Aliyah akan saling bertanya tentang masa petualangan selanjutnya. Melanjutkan kemana setelah ini? Pertanyaan yang pasti terlempar dari satu teman ke teman lainnya. Alasan mereka pun beragam: ada yang langsung pulang, bertani lalu menikah; ada pula yang merantau jauh untuk kerja di kota; ada yang tetap mengabdi di pondok pesantren memperdalam ilmu agama; dan ada pula yang nekat melanjutkan studi ke perguruan tinggi di luar Madura. Saya termasuk yang terakhir: melanjutkan kuliah dengan tekat dan nekat!
Dalam setiap kesempatan diskusi bersama teman-teman santri, saya kerap mengatakan bahwa pertarungan hidup yang sebenarnya itu bukanlah di sini (di pesantren), tapi ada di luar sana, berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan kasar, hidup dengan orientasi materi an sich, kompetisi tiada henti, dan bertahan di tengah kondisi seperti itu adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya. Dengan keyakinan itu pula, saya tancapkan mimpi besar dalam hidup saya, bahwa saya akan memulai petualangan yang sebenarnya, di luar sana, hingga pun ke luar negeri sana. Dan, saya yakin bisa! Saya pun melanjutkan petualangan berikutnya…


“Saya ingin merasakan pengalaman belajar di luar negeri!”

Inilah gumam terakhir sebelum akhirnya saya melangkahkan kaki dari penjara suci Annuqayah Daerah Nirmala. Saya cukup berkeyakinan bahwa bekal bahasa Inggris yang saya pelajari langsung dari seorang guru volunteer dari Australia, Margaret Rolling dan John Rolling, yang datang ke pondok pesantren akan memudahkan saya dalam proses pembelajaran demi petualangan berikutnya. Alhamdulilah, saya diberikan kesempatan menemani banyak waktu mereka berdua selama masih di Annuqayah. Bekal ini pun semakin memantapkan saya menatap masa depan, melangkah menuju petualangan antah berantah.

Yogyakarta menjadi kota dengan kekuatan misteri tersendiri yang telah menyedot arah petualangan saya berikutnya. Kota gudeg itu memang sudah merangsang pikiran sejak saya suka dunia membaca dan menulis di pondok pesantren. Bagi penggila buku, sungguh pembohong jika tidak kenal nama Yogyakarta sebagai rumah penerbit yang seabreg itu! Kota gudeg ini seperti sudah terbayang di depan mata sebagai arena perualangan yang menakjubkan, melanjutkan proses belajar, memperkaya pengalaman, dan menata masa depan hidup yang lebih bermartabat. Jika Anda suka dunia intelektual, datanglah ke Yogyakarta. Dan sakarang saya merasakan itu.

Proses pun dimulai di Yogyakarta sejak awal tahun 2006. Proses hidup yang tak kalah kerasnya, dan bahkan lebih keras dari yang saya bayangkan. Hingga pun tidak makan berhari-hari, jadi pekerja serabutan, penerjemah amatiran, jualan buku, jualan koran, dan jadi pengamen di alun-alun adalah serangkaian realitas hidup yang keras itu. Saya melaluinya dengan tegar, hingga akhirnya bisa kuliah, dan diberikan kesempatan mendapatkan beasiswa belajar bahasa dan budaya ke Amerika. Kesempatan belajar ke negeri Paman Sam menjadi pijakan pertama menatap dunia masa depan yang sungguh beragam dan menakjubkan itu; masa depan seorang anak desa miskin yang kini berada di tengah pusaran peradaban dunia.

***

Ya, ternyata saya bisa menggapai mimpi itu; mimpi yang terasa jauh dan sangat sulit terwujud bagi orang tidak mampu seperti saya; mimpi berpetualang ke antah berantah yang sudah saya lalui hingga ke negara bagian South Carolina, Amerika. Tapi benar, nothing is impossible! Semua akan menjadi mungkin ketika kita meyakininya dan melakukannya dengan tekun, doa, ikhtiar, dan kesabaran yang mendalam. Setelah itu, yakinlah bahwa Allah yang akan menentukan arah hidup kita sesuai dengan ridhaNya.

Sebelum matahari pagi musim panas di Columbia beranjak meninggi, dengan tatapan mata yang terus menabur pandang ke pohon-pohon oak dan crepe myrtle yang tumbuh subur di belakang apartemen, saya terngiang sebuah buku penting yang menjadi tongggak estafet motivasi berjudul Zero to Hero karya Solihin Abu Izzudin. Buku ini ibarat kamus hidup yang terus membangkitkan saya sejak saya membacanya di Yogyakarta pada akhir tahun 2006. Buku ini pula yang telah meyakinkan saya bahwa seorang hero atau somebody pada awalnya adalah zero dan nobody. Ya, buku ini benar-benar menjadi buku hidup dalam diri saya.

Yogyakarta, 02 Desember 2010

Bernando J. Sujibto (alumni Annuqayah, 1998-2005)

Tidak ada komentar: