Rabu, 21 Januari 2009

Tahlil untuk Sang Kiai dan Refleksi Bersama


Hari Rabu habis Magrib, sekitar pukul 18.20, base camp Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta lain dari biasanya. Rumah berukuran 10x12 itu dipenuhi puluhan orang dengan banyak wajah baru. Mereka adalah alumni Annuqayah di Yogyakarta yang jarang bertemu dalam keseharian datang ke kontrakan rumah yang baru jalan satu tahun itu, sehingga satu sama lain seperti berkenalan lagi, apalagi banyak senior yang datang dalam acara itu.
Acara bertajuk "Tahlil untuk Sang Kiai dan Refleksi Bersama" itu dihelat untuk mengenang dan berdoa bersama mengiringi kepergian guru kami KH. M. Mahfoudz Khusaini, salah satu pengusuh tersepuh di almamater kami Annuqayah. Kepergian beliau adalah luka yang mendalam bagi kami, segenap alumni Annuqayah di Yogyakarta. Rasa kehilangan yang diemban oleh santri dan semua masyarakat Annqayah juga dirasakan di hati alumni Annuqayah di Yogyakarta, yang diwujudkan dalam acara doa dan refleksi bersama.
Di antara alumni yang hadir dalam kesempatan ini adalah Maulidi Al-Hasany dan Muhammad Al-Fayyadl sebagai salah satu ahlil bait almarhum sehingga tahlil yang dipimpin oleh Salman Rusydie Anwar dan doa yang dipimpin oleh Maulidi lalu dilangsungkan dengan refleksi itu terasa menyentuh. Semua cerita tentang masa lalu beliau di hati murid dan santri-santrinya mengalir dari peserta yang hadir, terutama senior-senior yang mempunyai talian kisah langsung bersama almarhum.

Sebuah Tanya untuk Perdamaian Israel-Hamas?


Yogyakarta, IAA—Sudah banyak kalangan yang telah membahas persoalan pelik yang terjadi antara Israel-Hamas dan Palestina secara umum. Berlangsung sejak 27 Desember Israel terus melancarkan agresi militernya tidak hanya ke pusat-pusat pertahanan Hamas, melainkan juga pemukiman penduduk yang menewaskan sekitar 1300 jiwa lebih. Konflik ini mulai mereda setelah kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata yang telah diinstruksikan oleh Dewan Keamanan (DK) PBB dan negara-negara dunia lainnya seperti Mesir yang menjadi salah satu tim mediasi.
Pada haris Kamis malam (15/01), Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus telah mendiskusikan berkenaan dengan konflik yang tidak kunjung menemukan solusi yang benar-benar bermuara. Bertempat di Basecamp IAA DIY, diskusi dihadiri oleh sekitar 25 orang yang rata-rata mahasiswa menghasilkan berbagai perspektif kajian yang begitu alot. Kali ini, teman-teman merasa cukup antusias sebab tema yang dibincang bukan hanya sebatas hal yang dianggap up to date seperti diskusi sebelumnya, melainkan langsung menggugah dan mengetuk nurani kemanusiaan mereka. Konflik itu menyahat hati dan tidak prematur lagi untuk mendapat gugatan.

Senin, 19 Januari 2009

Identitas, Batas, dan Perang

Oleh Muhammad Al-Fayyadl*)

Tiap kali mendengar Palestina kembali bergolak, ingatan saya menerawang kembali ke sebuah sore di tahun 1997, ketika saya, di sebuah perpustakaan yang pengap di sekolah menengah pertama dulu, membaca selembar puisi karya Mahmoud Darwish, penyair Palestina. Puisi itu saya temukan dalam sebuah edisi lapak jurnal Index On sensorship, sebuah jurnal yang memuat karya-karya pengarang eksil dari seluruh dunia. Saya lupa judulnya. Tapi, sore itu saya tercekam sendirian. Sebagaimana hari ini, banyak orang-orang tercekam.

Darwish bercerita tentang kepedihan para pengungsi Palestina. Saya lupa detail-detail dalam tulisannya, tapi dengan jelas,terbayang banyak hal di sana; tentang orang-orang terusir, tentang negeri yang hilang, dan sebuah bangsa yang masih gelap menghadapi masa depannya.

DATA BASE

IKATAN ALUMNI ANNUQAYAH
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PERIODE 2007-2009


NAMA INSTITUSI TAHUN KETERANGAN
Drs. Warid Khan, M.Ag. UIN/Tarbiyah 1989 Dosen
Khumaidi, M.Si. UMY/Fak. Hukum 1993 Dosen
Ali Waki LSM 1993 Waraswasta
Ahmad Syakir PP. Hidayatullah 1993 Waraswasta
Ahmala, M.Ag. LKiS 1995 Wiraswasta
Maulidi al-Hasany STI al-Qur’an/SPBA 1996 Dosen
M. Ruslani, S.Ag. Q-Media 1996 Wiraswasta
Fauzan UTY 1996 Dosen
Fauzi UTY 1997 Dosen
Suhaimi Brimob 1997 POLRI
Syaikhona, S.Ag. Depag DIY 1997 PNS
Fathurrahman (Fatur) UNY/PPs/PEP 2000 S2
Irman Maulana, S.Ag. UIN/Dakwah 2000 S2
Marwinie, S.Hi. UGM/Ekonomi Islam 2000 S2
Ahmad Thahir, S.Ag. UGM/Hukum 2001 S2/Dosen
Syafi’ie Aphoy UIN/Uy/AF 2001 Mahasiswa
Yusuf Anis Univ. Cokroaminoto 2001 Mahasiswa
Syaiful UIN/Sy/PMH 2001 Mahasiswa
Muhammad Hakim UIN/Ay/SPI 2001 Mahasiswa
Faqaidus S UIN SUKA 2001 Mahasiswa
Muhammad al-Fayyadl UIN/Uy/AF 2002 Mahasiswa
A. Badrus Sholihin UIN/Ay/BSA 2002 Mahasiswa
Muhammad Musfiq, S.Fil. UIN/Uy/AF 2002 Lulus 2007
Faidi, S.Hi. UGM/KTT 2002 S2
Ahmad Zayyadi, S.Hi. UGM/KTT 2002 S2
Idris, S.S UIN/Ay/BSA 2002 Mahasiswa
Salman Rusdy UIN/Uy/TH 2002 Mahasiswa
Muh. Syafi’ie, SH. UII/Hukum 2002 Lulus 2008
M. Hilal Alifi UIN/Uy/AF 2003 Mahasiswa
Imef Rahman, S.Fil. UIN/Uy/AF 2003 Mahasiswa
M. Agus Budianto UIN/Uy/PA 2003 Mahasiswa
M.Ali Yafie (Panji) UIN/Uy/AF 2003 Mahasiswa
Martotulali UIN/Sy/JS 2003 Mahasiswa
Romo Yunus UIN/Uy/AF 2003 Mahasiswa
Gen Manca Fayyumi UIN/Sy/JS 2003 Mahasiswa
Khatib Januar UIN/Ay/BSA 2004 Mahasiswa
Fathur Raszie UIN/Uy/AF 2004 Mahasiswa
Junaidi el-Jelbudany UIN/Sy/JS 2004 Mahasiswa
M. Khathibul Umam UIN/Ishum/Sos 2004 Mahasiswa
M. Wahyudi Arifin UIN/Sy/JS 2004 Mahasiswa
Mahabbatul Ummah UIN/Uy/SA 2004 Mahasiswa
Nur Afifi UIN/Sy/KUI 2004 Mahasiswa
Syaiful A’la UIN/Uy/AF 2004 Mahasiswa
Nur Diana UNY/Biologi 2004 Mahasiswa
Zainol Faqih UJB/Hukum 2004 Mahasiswa
Imam Mahdi Avandy UIN/Sy/KUI 2005 Ketua IAA DIY
Hasan Basri, S.Ag., M.Si. UGM/Fisipol 2005 S2
Wasilatur Rahmah UIN/Uy/AF 2005 Mahasiswa
Faizi Zaini UIN/Sy/KUI 2005 Mahasiswa
Abul Khair UIN/Uy/AF 2005 Mahasiswa
Asrodi Akakom/TI 2005 Mahasiswa
Yusriyanto el-Ga UIN/Sy/JS 2005 Mahasiswa
Abdurrahman A. UIN/Ay/BSA 2005 Mahasiswa
Joni Agustiono UIN/Tadris/PF 2005 Mahasiswa
Didi Maulidi UIN/Saintek/TIN 2005 Mahasiswa
M. Rukib UIN/Ishum/Sos 2005 Mahasiswa
Muhammad Sanuzie UIN/Uy/AF 2005 Mahasiswa
Rizem Aizid UIN/Uy/AF 2005 Mahasiswa
Nuzulul Khair UIN/Sy/KUI 2006 Mahasiswa
Bernando J. Sujibto UIN/Soshum/Sos 2006 Mahasiswa
Agus Siyadi UPN/FISIPOL/HI 2006 Mahasiswa
Ainurrasyid UIN/Ishum/Sos 2006 Mahasiswa
Muh. Ali Fakih AR UIN/Saintek/Kimia 2006 Mahasiswa
Bahrul Huda UIN/Ishum/Sos 2006 Mahasiswa
Najamuddin UIN/Ty/KI 2006 Mahasiswa
Fathurrahman MN UIN/Ishum/Sos 2006 Mahasiswa
Hamdan AW UIN/Ty/PBA 2006 Mahasiswa
Achmad Zubaidi UIN/Sy/PMH 2006 Mahasiswa
Imam S Arizal UIN/Uy/AF 2006 Mahasiswa
Masykur Arif Rahman UIN/Uy/AF 2006 Mahasiswa
Rusdi Pangky UIN/ST/Pend. Kimia 2006 Mahasiswa
Nur Khalis Ghalib UIN/Saintek 2006 Mahasiswa
Zainuddin UIN SUKA 2006 Mahasiswa
Muhammad Busro UIN/Uy/AF 2007 Mahasiswa
Junaidi UIN/Uy/AF 2007 Mahasiswa
Siswadi Ugen UIN/Ty/KI 2007 Mahasiswa
Moh. Takdir Illahi UIN/Uy/PA 2007 Mahasiswa
Imam Afifi Roqib UIN/Uy/PA 2007 Mahasiswa
A. Ali Mansur Sofyan UIN/Dy/BMI 2007 Mahasiswa
Imam Nawawi Univ. Widya Wihana 2007 Mahasiswa
Widaad Naufal UIN/Dy/MD 2007 Mahasiswa
Iswatul Khairah UIN/Dy/MD 2007 Mahasiswa
Sulaiman UIN/Uy/AF 2007 Mahasiswa
Masyitho Mardlatillah UIN/Uy/TH 2007 Mahasiswa
Munadziratul Lailiyah UIN/Ay/BSA 2007 Mahasiswa
Khalifah (Lilip) UIN/Sy/KUI 2007 Mahasiswa
Achmad Fawaid UGM/FIB/SI 2007 Mahasiswa
Muhammad Fathollah UIN/IsHum/Sos 2007 Mahasiswa
Hazimi UIN/Sy/PMH 2007 Mahasiswa
Kholifi UIN/IsHum/Sos 2007 Mahasiswa
Hokiyanto UIN/Dy/MD 2007 Mahasiswa
Fawaidurrahman UIN/Sy/PMH 2007 Mahasiswa
Shofwan (W2n) UIN/Ishum/Kom 2007 Mahasiswa
Siddiq UNY 2007 Mahasiswa
Nurul Ihsan UIN/Ishum/Sos 2008 Mahasiswa
Hasan Ma’ali UIN/Ishum/Kom 2008 Mahasiswa
Khadijah UIN/Ay/SKI 2008 Mahasiswa
Istizadah Iffati (Icha) UGM/Farmasi 2008 Mahasiswa
Rohmah ‘Rara’ Akakom/TI 2008 Mahasiswa
Ma’sum Muchtar UIN/Ay/BSA 2008 Mahasiswa
Maksum Mukti UIN/Sy/KUI 2008 Mahasiswa
Jhoni Iskandar UIN/Uy/PA 2008 Mahasiswa
Ansori UIN/Sy/JS 2008 Mahasiswa
Zainal Abidin UIN/Sy/PMH 2008 Mahasiswa
M. Luthfi MH UIN/Dy/MD 2008 Mahasiswa
Moh. Khoirul Anwar UIN/Dey/KPI 2008 Mahasiswa
Habibullah UIN/Sy/JS 2008 Mahasiswa
Basyar Dikuraisyin UIN/Sy/AS 2008 Mahasiswa
Khazinurrahman UIN SUKA 2008 Mahasiswa
Azizi Halim UIN/Uy/TH 2008 Mahasiswa
Imam Musthofa Bahasa dan Menulis 2008 Kursus
Sugiyanto UIN SUKA 2008 Mahasiswa
Moh. Imam Ahmad UIN/Uy/PA 2008 Mahasiswa
Zulkarnain UIN/Uy/PA 2008 Mahasiswa
Zainuddin Univ. KTB Negeri 2008 Mahasiswa
Jauharotun Nafisah UIN/Dy/KPI 2008 Mahasiswa
Abdul Aziz UIN/Uy/AF 2008 Mahasiswa
Abdul Latief SMA UII 2008 Siswa



WARGA IAA DIY
(Poelang Champhoeng)
Kurun Waktu 2007-2008

M. Mushthafa (Gus) UGM/Filsafat 1998 Lulus 2007
Washil Achienk UIN/Uy/TH 1999 Lulus 2008
Mohammad Afifi UGM/Antropologi 1999 Lulus 2007
M. Itqon Syauqie UIN/Uy/TA 2000 Lulus 2007
Hasbullah UIN/Uy/AF 2000 Lulus 2007
E. Rahbini UNY/PPs/PEP 2000 Lulus 2007
M. Zaini UNY/PPs/PEP 2000 Lulus 2007
Siswadi UIN/Dy/KPI 2001 Lulus 2008
Badrun Fawaidi UIN/Uy/AF 2002 Lulus 2007
Achmad Firjon Failani UAD/FI/TI 2002 Lulus 2007
Miftahul Arifin Sakera UIN/Dy/KPI 2002 Lulus 2007
Taufiqurrahman (Opick) UIN/Uy/AF 2002 Lulus 2008
Arif Luk-Guluk UIN/Uy/AF 2003 Lulus 2008
Mashudi Rois UIN/Uy/AF 2003 Lulus 2008
Muzannie Lenteng UIN/Sy/JS 2003 Lulus 2007
Fathor Rachman Utsman UNY/PPs/MP 2004 Lulus 2007
Imam Rusli UIN/Dy/MD 2007 Out 2008


NB: Lulus 2007-2008 : 17 Orang
Out : 1 Orang
Jumlah Total : 18 Orang = 18 Orang

Warga Lama : 94 Orang 135 Orang
Mahasiswa Baru : 24 Orang
Jumlah Total : 118 Orang = 118 Orang


Data Litbang IAA DIY:
Warga IAA D.I. Jogjakarta Per 31 Desember 2008 : 118 Orang

Kamis, 08 Januari 2009

TEMU WARGA ALUMNI ANNUQAYAH YOGYAKARTA

As-Syarqawi- Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Istimewa Yogyakarta mengelar acara Temu Warga dan Buka Bersama, Minggu (23/09/07). Acara ini diadakan secara serasehan dan outdoor di halaman Sekretariat IAA DIY dan berlangsung cukup meriah, serta terbilang sukses, pasalnya acara ini dihadiri oleh hampir seluruh warga IAA DIY. Sebagaimana diungkapkan dalam sambutannya, Ketua Umum IAA DIY, Imam Mahdie Avandy, bahwa acara ini dilaksanakan demi menambah keeratan tali silaturrahmi antar warga, baik ditingkatan mahasiswa, dosen, PNS, atau warga IAA yang sudah kerja dan lain sebagainya.

Mengingat, “di Jogjakarta dari sekitar 106 Alumni PP. Annuqayah yang tercatat di Database Litbang IAA DIY sangat kompleks sekali, ada beberapa orang yang sudah menjadi dosen, PNS di Depag DIY, Brimob, mahasiswa di beberapa PT se-DIY, dan yang kerja, maka dengan adanya acara ini saya harapkan semuanya bisa saling kenal serta dapat diparelisasi secara elegan tanpa harus membedakan antar satu sama lainnya, tapi justru menjadikan itu sebagai anugerah terbesar IAA dalam rangka kemajuan IAA.

Di ranah kultural menjadi tumpuhan utama, sehingga kesolidan ditingkatan warga dapat terbangun dengan baik. Dan ini menjadi penting dalam rangka mengembangkan IAA DIY pada tahun-tahun selanjutnya dengan beberapa program yang ada maupun yang masih menjadi network, paling tidak seperti pertemuan tiap malem Jum’at yang dikemas dengan yasinan dan diskusi (Kedai Dialektika) Alumni Annuqayah”, imbuhnya dengan nada heroik. Team

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN

Oleh. Muhammad Raqib

Bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami perubahan besar-besaran yang terjadi secara radikal dan kritis. Sebagian perubahan itu, tidak hanya menuntun pada krisis ekonomi, politik, tetapi telah merambah ke wilayah yang paling fundamental, yakni krisis moral. Sehingga pada akhirnya memaksa warga negeri ini kehilangan harapan. Ketika sebagian besar orang lebih peduli kepada kelompoknya sendiri, dunia pesantren justru terpanggil memainkan peran sebagai pembangkit kesadaran kebangsaan.

Sebagai alumni yang sama-sama telah lama mengenyam pendidikan di dunia pesantren, penulis mengajak untuk mencermati, memahami dan mengambil sikap atas perubahan tersebut. Dengan demikian, kita akan menemukan ide-ide segar tentang bagaimana cara memahami diri dan institusi pesantrennya sebagai misi perubahan.

Pesantren adalah lembaga keagamaan yang terbilang cukup lama, telah berkiprah dalam pengembangan ilmu keislaman tradisional dengan bingkai Aswaja dan moralitas luhur yang disandangnya dengan kearifan lokal.

Pada awal kelahirannya, pesantren tumbuh dan berkembang di berbagai daerah pedesaan. Di mana keberadaan pesantren, sangat kental dengan karakteristik Indonesia yang memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat.

Realitas menunjukkan bahwa pesantren sampai saat ini, memiliki pengaruh cukup kuat dalam setiap aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh tersebut, membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa setip upaya yang ditunjukkan untuk pengembangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan perlu melihat dunia pesantren.

Secara substansial, pesantren tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat pedesaan. Karena, lembaga pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertian yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnyan merupakan pendidikan yang syarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren terikhtiarkan meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral dan kemudian dikembangkan dengan rutinitas-rutinitas pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Pengabdian sosial masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dan nilai-nilai yang dipegang pesantren. Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri lebih tepatnya lagi dunia pesantren adalah seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah.

Maksudnya, kehidupan dunia disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang mereka peluk sebagai nilai yang tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai keikhlasan, kesederhanaan dan kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat yang pada gilirannya dikembangkan sebagai nilai yang paling substansial.

Di samping ketiga nilai-nilai tersebut (keikhlasan, kesederhanaa, kemandirian) sebagai landasan dasar dan menjadi acuan masyarakat luas, dan secara fundamental juga sebagai senjata untuk membendung kungkungan kapitalisme, globalisasi yang saat ini hampir menjadi agama baru yang tidak lagi terlekat oleh dimensi ruang dan waktu. Hal itu pada akhirnya membawa perubahan yang cukup signifikan dalam proses kehidupan bangsa Indonesia dari segi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dalam perspektif ini, pesantren sebagi basis keagamaan yang tidak lepas dari realitas objektif, dituntut untuk melakukan gerakan-gerakan moral-kultural dapat membaca dan memberikan solusi terhadap persoalan dan perubahan yang ada, mampu menjadi katalisator yang populis serta menumbuhkan nilai positif pesantren, setidaknya menjadi “besi” sebagai penangkis dari ketajaman pedang globalisasi, modernisasi, kapitalisme dan lain-lain yang berdampak pada budaya negatif terhadap tatanan sosial dan moralitas bangsa Indonesia.

Realitas kongkrit yang dihadapi masyarakat itu, menjadi tugas utama bagi sebuah lembaga pesantren yang menjadi standarisasi masyarakat luas untuk lebih respek terhadap fenomena yang terjadi guna menata kehidupan dan moralitas bangsa dengan mengacu pada ajaran Nabi Muhammd.

(Alumni Annuqayah 2005)

ALUMNI ANNUQAYAH DAN KE-HIBRID-ANNYA

Oleh: Muhammad Hilal

Bicara tentang identitas memang membuat gerah. Tidak sedikit orang yang dikecewakan hanya sekedar karena sebuah identitas. Bahkan tidak jarang, persoalan identitas ini justru mengarah pada tindak kekerasan. Mengapa sesuatu yang “sepele” seperti identitas ini menjadi sangat rentan?

Tidak kurang seperti Amin Maalouf, seorang kelahiran Libanon yang kemudian pindah ke Prancis, yang merasa gerah dengan tindakan-tindakan yang mengatas-namakan identitas. Pengalamannya setelah hidup di Prancis selama 30 tahun mengajarkan kita bahwa sentimen identitas tidak pilih kasih; ia bisa menjangkiti masyarakat semodern Prancis. Bahkan berbahasa Arab pun pernah menjadi pemicu pengalaman buruk baginya dan orang-orang “seidentitas” dengannya, baik secara social maupun secara psikologis. Pengalamannya ini mendorong dia untuk mengatakan bahwa persoalan identitas itu seharusnya diperjelas dulu, sehingga orang akan —setidaknya— berhenti memangdangnya secara kaku.

Bagi Maalouf, sebagaimana tertuang dalam bukunya In the Name of Identity, identitas seseorang tidak pernah dimilikinya secara baku, tetap, dan linier. Ia selalu mengalami goncangan dan perubahan akibat dari proses sosial, antropologis, psikologis, atau bahkan ekonomis dan politis. Jadi, jawaban dari pertanyaan “siapakah aku?” selalu datang dari luar diri kita, dan kita hanya menerima dan membenarkannya. Pada saat tertentu, ketika kita menyalahkan dan menghindari jawaban itu, kita lalu menjadikannya si “bukan aku”. Begitulah watak identitas. Bahkan sebuah nama pun, yang sejak lahir ke mana-mana kita sandang, merupakan pemberian orang lain.

Masalah semacam identitas ini sebenarnya adalah masalah lama yang kemudian diberikan makna-makna baru oleh orang-orang semacam Amin Maalouf. Orang-orang semacam Maalouf ini adalah orang-orang dari negeri “terpendam” yang bermigrasi ke negara-negara yang lebih besar untuk tujuan tertentu. Edward Said dan Gayatri Spivak bisa digolongkan sebagai orang-orang seperti ini; orang-orang dengan identitas olahan dan acak, atau lebih pasnya hibrid.
Dan bisa dimaklumi kenapa ide-ide yang mereka lontarkan cukup bernuansa postkolonial, mengingat “negeri-negeri terpendam” mereka tengah mengalami keterjajahan gaya baru. Mereka mewakili para petualang yang bersuara dan menulis tentang negeri atau rumah mereka dari negeri seberang, sehingga tidak heran kalau bahasa mereka adalah bahasa negeri seberang, walaupun dengan logika yang baru tentunya: logika postmodern. Membahasakan negeri mereka dengan logika yang lama amatlah tidak mungkin karena justru logika itulah yang telah membenarkan penjajahan terhadap rumah mereka. Jangankan berbicara, dengan logika lama itu mereka malah sama sekali tidak dianggap sebagai manusia.

***

Kehibridaan semacam Maalouf —dan dua rekannya itu— inilah, menurut penulis, yang tengah dihadapi oleh para alumni Annuqayah, di Yogyakarta khususnya, dan di daerah-daerah lain umumnya. Di satu sisi mereka teridentifikasi sebagai anak desa yang mencoba belajar dan menantang hidup di kota. Tapi di sisi yang lain, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang desa sepenuhnya, mengingat ada beberapa hal yang sudah “terkikis” atau (dalam bahasa yang lebih netral) bertransformasi dari mereka.

Dengan kata lain, mereka mengalami kondisi hibrid, kondisi “kawin silang” dengan budaya di luar Annuqayah. Kondisi ini tidak merusak tatanan identitas yang sudah ada sebelumnya, melainkan mengalami pengayaan dengan cara sedemikian rupa. Sehingga, bisa kita amati bagaimana mereka mengalami pengayaan diri dalam banyak hal; ada yang suka menulis, berorganisasi, menggeluti dunia sastra, aktif di LSM, akademisi, politikus, dan ada sebagian yang berprofesi atau bekerja sambilan. Dalam aspek intelektual, tentu mereka juga mengalami pengayaan melalui kontak atau dialog mereka dengan wacana terkini.

Namun, kondisi hibrid semacam ini bukan malah menjadikan mereka makhluk yang sama sekali lain, karena “terkikis” bukan berarti berubah sepenuhnya. Apa yag terkikis dari mereka hanya sebagian dari diri mereka. Sehingga tidak mengherankan bila beberapa kegiatan yang mereka lakukan juga masih mencerminkan diri mereka yang sebagian itu. Tahlilan, Yasinan, mendo’akan masyayikh, dan lain-lain masih menjadi rutinitas dalam setiap pertemuan mereka. Bahkan tidak jarang, mereka yang suka menulis di media massa-media massa menyebutkan diri mereka sebagai alumnus Annuqayah. Ini membuktikan bahwa identitas mereka masih sebagian Annuqayah, dan ada rasa ingin menunjukkan ke orang luar bahwa mereka adalah Annuqayah.
Demikianlah, keberadaan para alumni itu bergelut dengan dunianya yang berubah-ubah, sehingga amat tidak mungkin menyatakan mereka sebagai seseorang yang esensial Annuqayah dan dilematis pula mengidentikkan mereka secara esensial sebagai non-Annuqayah, orang kota atau orang Yogyakarta. Dalam kondisi seperti itu, hukum identitas dan non-kontradiksi Aristotelian tidak berlaku lagi. Bahkan, dengan meradikalkan ketidak-berlakuan itu, Maalouf menyatakan justru hukum itu sendiri sesungguhnya tidak ada. Artinya, tidak pernah seseorang mengalami identitas yang tunggal dan tetap. Di samping itu, identitas itu sendiri juga tidaklah given, ada dengan sendirinya sejak kita lahir, melainkan terbentuk dalam kontak kita dengan dunia luar.

Membayangkan bahwa mereka sepenuhnya berubah sejak keberangkatan mereka ke Yogyakarta tentu adalah bayangan yang salah kaprah. Dan begitu pula sebaliknya, mengabaikan dialog dan negosiasi mereka dengan dunia Yogyakarta juga merupakan sikap yang kurang arif. Biar bagaimana pun, kontak mereka dengan dunia luar membutuhkan proses negosiasi dan pemaknaan yang tidak sederhana. Sehingga tidak mungkin kita mengingkari kenyataan bahwa proses itu juga berpengaruh terhadap pola pikir yang mereka miliki sebelumnya.

Jadi sebenarnya, ketika kita memahami identitas dengan demikian maka sudah tidak perlu lagi kita mengkontraskan antara identitas yang dianggap Annuqayah dan identitas yang dianggap non-Annuqayah. Tidak ada lagi label semacam kota-desa, tradisional-modern, liberal-konservatif, dan lain-lain. Karena ternyata, kedua identitas itu tidak saja ada di dunia ini, tapi juga bisa berada dalam satu orang. Inilah pengayaan itu; sebuah proses di mana mereka tidak terbentuk hanya melalui penerimaan atau konsumsi saja terhadap dunia yang sekarang mereka geluti, melainkan juga ada peran yang dimainkan oleh mereka sebagai subjek. Ini di satu sisi.
Di sisi yang lain, memang perlu diciptakan sebuah keadaan di mana mereka merasa harus berkontribusi terhadap ke-Annuqayah-an mereka. Dan saya kira, inilah pentingnya sebuah perkumpulan untuk para alumni itu. Karena dengan perkumpulan semacam itu, akan terjadi pemupukan terhadap rasa ke-Annuqayah-an mereka, tanpa harus menafikan kontak mereka dengan dunial yang selain Annuqayah.

(Alumni Annuqayah, 2003)

Suara Kerinduan Seorang Santri

Oleh : Ahmad Badrus Sholihin

Terus terang, saya sempat kebingungan ketika redaktur buletin As-Syarqawi meminta saya menulis sebuah opini tentang eksistensi alumni Annuqayah. Ada dua hal yang membuat saya ragu-ragu. Pertama, saya kekurangan referensi, atau lebih tepatnya miskin data tentang alumni Annuqayah. Hal ini disebabkan jarangnya komunikasi dengan teman-teman alumni di lain daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, dll. Bahkan, beberapa alumnus di Jogja pun sudah seperti hilang dari peredaran. Sedangkan database di IAA pusat sampai saat ini belum terakses, entah karena kemalasan saya atau karena database itu sendiri memang belum disusun. Kedua, persoalan obyektifitas. Sebab, dengan miskinnya data maka satu-satunya referensi adalah pengalaman saya. Dan, saya selalu miris setiap kali berurusan dengan yang namanya subyektifitas.

Namun, akhirnya saya ambil juga risiko ini. Lagi pula mungkin lewat tulisan ini saya bisa mengekspresikan kerinduan saya kepada Annuqayah, lebih khusus lagi para kyai yang senantiasa saya harapkan kesaksiannya kelak di akhirat, supaya saya eakoh pernah menjadi santri dan mengaji di pesantren yang sangat saya cintai. Dan, untuk mengatasi kebingungan saya di awal tadi, saya memilih untuk mengisahkan kembali cerita seorang alumnus Annuqayah beberapa tahun lalu, yang saya kenal tetapi tidak akan saya sebutkan namanya. Anggap saja sahibul hikayat adalah anonim. Berikut kisahnya :

Malam itu, lama aku merenung. Sesingkat inikah masa tinggalku di Annuqayah? Tak terasa tiga tahun sudah aku lalui. Berbagai kisah hidup sempat tertangkap indera, tapi banyak yang tak sempat aku cerna dengan baik dan akhirnya banyak juga yang terlupakan. Meski lamat-lamat, aku coba menyimak doa yang sedang dibaca Kyai Basyir. Toh, suara doa itu masih kalah juga oleh gemuruh perasaan campur aduk di hatiku. Ini malam perpisahanku dengan Annuqayah. Ini pula mungkin saat terakhir Sang Kyai mendoakan aku dan beberapa kawanku dengan status santri. Setelah ini kami akan berubah menjadi alumni.

Ya, bebarapa waktu yang lalu aku dan beberapa kawan memantapkan diri untuk meneruskan kuliah di luar. Ada yang memilih Surabaya, yang lain memilih Jakarta dan Malang, sedangkan aku dan beberapa orang memilih Jogja. Tapi, justru di malam terakhir ini aku merasakan keraguan, mungkin kawan-kawan yang lain juga. Sudah benarkah pilihanku untuk meninggalkan Annuqayah? Apakah kemilaunya tantangan dan godaan Jogja yang menggelora benar-benar lebih baik dari kedamaian dan ketenangan yang selama ini telah kunikmati di Annuqayah? Oh, alangkah teduhnya wejangan Kyai malam ini. Alangkah besarnya rasa sayang beliau kepada kami. Beliau tidak melarang, bahkan mendukung dan mendoakan setiap santri yang ingin merambah pengalaman baru di luar. Dan doa terakhir beliau selalu kuingat sampai saat ini. Ingin rasanya aku menangis waktu itu, namun ego-ku sebagai laki-laki mendorong kembali air yang sudah hampir tumpah dari kelopak mataku.

Waktu pun berlalu, searah dengan hiruk pikuk Jogja yang semakin hari semakin sesak dan pengap saja. Tak semua anganku dulu benar-benar kutemukan di kota ini. Ternyata di manapun di dunia ini tak ada tempat yang menawarkan harapan sama persis dengan kenyataan yang ada. Dulu, aku membayangkan Jogja benar-benar sebuah surga ilmu, tempat para pencari dengan mudah dan sebebas-bebasnya mereguk sebanyak-banyaknya, bahkan sampai muntah-muntah, anggur ilmu, sungai susu pengetahuan dan memetik buah-buah kearifan yang tak terbatas.
Ternyata, Jogja lebih identik dengan pasar ilmu. Para pencari ilmu berperan sebagai pedagang sekaligus pembeli. Masing-masing dituntut untuk menjadi manusia-manusia individualis jika ingin memenangkan persaingan. Di banyak tempat, ilmu diperdagangkan dengan sistem lelang, hanya penawar tetinggi yang berhak memilikinya. Di pasar, sangat susah menemukan orang suci. Kekuatan doa kalah dari kekuatan uang. Barakah benar-benar menjadi barang langka. Dan aku, sebagai pendatang dengan modal pas-pasan, harus menerima kenyataan pahit bahwa aku tertinggal jauh di belakang.

Jogja juga bukan tanah suci yang terlindungi dari tangan-tangan usil setan penggoda. Kemajuan teknologi telah benar-benar menyatu dengan keseharian para pencari ilmu. Berjuta manfaat bercampur aduk dengan berjuta mudarat. Dan lagi-lagi aku gagap. Sebab, selama di Annuqayah (dulu) aku sangat terlindung dari tv dan ekses-ekses negatif internet. Di Jogja semua informasi masuk tanpa tersaring. Satu informasi belum kucerna dengan baik, beribu-ribu informasi lain telah berdesakan menjebol katup syaraf di otakku. Di Annuqayah (dulu) informasi hanya datang dari koran yang dipajang di mading dan dibaca beramai-ramai. Sangat sulit bagiku sekarang untuk fokus kepada satu prioritas. Sebab, pilihan yang tersedia terlalu banyak, sedangkan risiko kesalahan prioritas sangat besar probabilitasnya. Jika aku memutuskan untuk diam dan tak memilih apapun, aku akan menjadi mayat hidup. Jika aku salah dalam menentukan pilihan, aku akan tersesat dan semakin menjauh dari tujuanku semula. Betapa amannya aku di Annuqayah (dulu). Pilihan, prioritas, dan jalan yang bisa kutempuh menuju tujuan begitu lempang dan sangat jelas rambu-rambunya.

Hal lain yang benar-benar menjadi masalah utama bagiku adalah soal kebebasan. Di Annuqayah (dulu) aku, atas nama kebebasan, sering memberontak terhadap peraturan yang disusun pengurus, bahkan kyai, yang aku anggap membatasi kebebasan. Tapi sekarang, betapa rindunya aku akan tali kekang itu. Kebebasan yang kudapatkan di Jogja lebih sering menggelisahkan dari pada menyenangkanku. Kebebasan itu lama kelamaan menjelma hantu yang terus menggoda, dan pada tahap tertentu menjadi berhala yang membelenggu.

Kebebasan yang paling meresahkanku adalah soal interaksi laki-laki dan perempuan. Di Annuqayah (dulu) aku menyimpulkan perempuan sebagai makhluk yang penuh paradoks. Dia adalah simbol keindahan sekaligus larangan; cinta sekaligus birahi; inspirasi sekaligus godaan; lemah gemulai sekaligus diktator yang otoriter. Peraturan pesantren menetapkan bahwa berpacaran dan segala bentuk hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan selain bekal atau binih adalah bentuk pelanggaran paling berat. Sebab, selain menjurus kepada zina, hubungan ini bisa menjadi penghambat pendakian para santri dalam menuntut ilmu.

Dulu, aku sering penasaran, kenapa kalau pacaran dilarang tetapi praktek homoseksualitas dibiarkan bebas? Sebenarnya apa yang ditentang peraturan itu? Apakah dorongan seksual atau hubungan cinta di luar norma masyarakat? Buktinya, peraturan begitu longgar memberi kesempatan sepasang bekal bertemu di pos keamanan santri puteri. Tetapi aku diam saja dan mematuhi peraturan itu apa adanya. Mungkin karena waktu itu aku begitu introvert terhadap perempuan. Pernah aku tergoda untuk menyalurkan syahwat kepada seorang muyek yang kata beberapa teman termasuk kwalitas terbaik. Muyek itu pun sudah setuju dengan imbalan yang aku tawarkan. Namun, pada saat-saat akan memulai, tiba-tiba hasratku lenyap. Sampai saat ini aku tetap berpandangan bahwa inilah tradisi paling bodoh dan tidak manusiawi yang pernah dilahirkan oleh pesantren.

Di Jogja aku mulai mengenal perempuan. Semakin hari semakin dekat dan pandanganku tentangnya mulai bergeser. Setahun kemudian aku mencoba berpacaran. Bukannya puas, aku malah semakin kehausan. Setiap beberapa bulan aku berganti pacar. Aku membayangkan diriku seekor burung yang baru dilepas dari sangkar. Aku kini bebas menentukan sendiri apa yang akan aku lakukan. Toh, aku masih berjalan di atas norma. Tentunya norma yang masuk akal menurutku dan sejalan dengan rasionalitas dan pandangan kritis yang aku anut sekarang. Bagiku, perempuan bukan setan. Dia adalah simbol keindahan sekaligus pelengkap bagi laki-laki. Kehadirannya justru akan melengkapi ke-aku-anku. Dia juga bukan penghambat jalan keilmuwan yang kutempuh. Sebab, dia justru menjadi sumber inspirasi dan teman seperjalanan yang asyik dan tak membosankan. Sampai saat ini, kami masih manusia dan memegang erat-erat kemanusiaan kami. Tak pernah sedetik pun kami membiarkan setan mengubah kami menjadi hewan. Karena bagiku, cinta adalah simbol kesucian.

Akan tetapi, tetap saja ada yang kurasakan hilang dari diriku. Seringkali aku merasa suntuk dan gelisah memikirkan keberadaanku di kota ini. Apa yang selama ini kudapatkan, mulai dari hiruk pikuk wacana, nilai akademik, dunia jurnalistik, relasi, kebebasan, perempuan, demonstrasi jalanan, pengakuan publik, ke-liberal-an, komunitas-komunitas baru, sampai pengalaman berkesenian dan kesusastraan, terasa hambar. Seringkali aku kebingungan mencari pegangan untuk memberi makna dan nilai pada semua itu. Namun, justru menjadikannya sekadar tempelan yang tidak menjiwa dan meraga. Aku seperti kehilangan identitas, dan tidak tahu cara menemukannya kembali. Masa depan seakan mengabur, dan semakin jauh dari jangkauan cita-citaku.

Dalam kondisi demikian, ingatanku terbang ke masa lalu. Aku benar-benar merindukan saat-saat di Annuqayah (dulu) di mana waktuku hanya dipacu oleh ibadah dan ngamri barakah. Aku rindu berjamaah pas di belakang kyai. Aku rindu pengajian ihya ulumiddin dan tafsir jalalain. Aku rindu bentakan kyai setiap kali aku salah membaca kitab suci. Aku rindu ziarah ke makam Kyai Syarqawi, Kyai Ilyas, Kyai Sajjad, Kyai Amir, Kyai ‘Ashim. Aku rindu tahajjud dan mengaji yasin dini hari. Aku rindu menanak nasi di kastol dan gurihnya terong bakar. Aku rindu mandi di jedding raksasa dan berendam di sumber Daleman. Aku rindu setiap detik, menit, jam, waktu yang pernah aku alami sebagai santri.

Ingin rasanya aku menjadi santri lagi. Tetapi, di Jogja tidak aku temukan pesantren yang bisa mengisi kekosongan Annuqayah di hatiku. Selain itu, pola hidup dan berbagai kebiasaan baru telah meresap sedemikian rupa, sehingga pandanganku tentang pesantren juga berubah. Lalu, aku berjumpa dengan sebuah tulisan Gus Dur tentang pola relasi kyai-santri di dalam tradisi pesantren. Aku pun menjadi tenang dan keputusasaanku perlahan-lahan hilang. Sebab, kata Gus Dur, di dunia pesantren tidak pernah dikenal istilah mantan santri atau mantan kyai. Hubungan kyai-santri adalah hubungan yang akan terus melekat sampai akhirat kelak. Seorang santri, ketika sudah keluar dari pondok, entah untuk tujuan studi atau terjun ke masyarakat, akan terus mengemban amanah kesantriannya dan menyandang nama kyai sebagai gurunya. Meskipun seandainya setelah itu tidak pernah terjadi kontak fisik, secara batin sang kyai sebenarnya terus menyertainya lewat doa dan barakah yang terus mengalir. Begitu juga sang santri bisa dikatakan sudah sowan jika setiap saat memegang teguh ajaran kyainya dan tidak lupa berkirim al-fatihah dan doa. Jika sang santri sampai akhir hayatnya tetap berpegang teguh kepada ajaran kyainya, di akhirat kelak dia akan berkumpul di satu tempat bersama sang kyai.
Jadi, aku sekarang masih santri di antara puluhan ribu santri Annuqayah yang tersebar di berbagai penjuru tanah air ini. Aku yakin, jika mengingat betapa sayangnya kyai kepada para santrinya, doa dan barakah kyai masih mengalir dalam diriku. Meskipun dalam beberapa hal aku telah melenceng dari ajaran kyai. Meskipun beberapa teman meledekku dengan sebutan santri liberal dan kyai mengharamkannya. Meskipun, sampai saat ini aku belum mampu mewujudkan harapan kyai. Aku juga yakin kyai akan memaafkan berbagai keteledoran dan pelanggaranku, sebagaimana beliau lakukan dulu.

Garansi yang aku miliki adalah saat terakhir beliau melepas kepergian kami. Beliau memerintahkan kami untuk terus menuntut ilmu dan jangan pernah berhenti berproses. Rambu-rambu yang harus tetap dijadikan patokan adalah ahlussunnah wal jama’ah. Jadi, apapun yang aku alami saat ini adalah bagian dari proses. Sebuah riyadlah dalam thariqah yang panjang menjalankan amanat kyai menuju ridla dari Yang Maha Suci. Bagiku, sekali menjadi santri, status ini akan terus melekat abadi. Dalam kamusku, kata alumni sudah lama aku hapus. Alumnus atau alumni hanyalah status formal untuk membedakan santri yang masih di pondok dengan yang sudah keluar. Sampai saat ini peganganku hanya satu, yaitu doa terakhir yang dititipkan kyai kepada dan untuk kami, dan sampai saat ini masih aku baca setiap selesai shalat. (Aku pernah mengalami masa-masa ketika shalat terasa tidak memberi dampak apa-apa, sehingga untuk beberapa waktu aku tidak shalat. Sekarang masa-masa itu telah berlalu, yang anehnya, bersamaan dengan semakin banyaknya orang mengecap aku muslim liberal). Dulu, kyai membaca doa ini berulang-ulang sampai tiga kali, dengan begitu khusyu’ dan suara yang bergetar :

Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana
wa hab lana min ladunka rahmah
innaka anta al-wahhab


Tuhanku, janganlah Kau simpangkan hatiku setelah Kau memberiku petunjuk
Dan anugerahkanlah RahmatMu kepadaku
Sesungguhnya Kau Maha Pemberi.

Jogja, 11 Ramadlan 1428 H

(Alumni Annuqayah 2002)

Di Pinggir Paris (Parangtritis)

Oleh: Iswatul Khairah*

Dua puluh tahun seperti tak terasa. Aku berada di pinggir pantai Paris lagi, akhir musim kemarau yang sama. Langit sore yang sama. Kemilau riak-riak air yang sama. Hanya kali ini ada tempat duduk yang berjejer rapi di kejauhan pantai. Dua puluh tahun yang lalu, ketika kami berlarian di pinggir pantai tanganku dalam genggamannya yang hangat–sore yang berlangit jingga itu–tempat duduk itu belum ada di sana. Tapi yang lainnya nyaris tak berubah. Kuda untuk ditumpangi para pengunjung, cafe, tempat dulu kami makan sambil tertawa juga masih ada (bahkan kursi kayu dekat pintu masukpun masih seperti dulu), kapal-kapal masih saling laju membelah permukaan pantai, para penjual rujak juga masih berjualan dengan gerobaknya, dan di sana-sini segerombolan Turis dari belahan dunia, masih sibuk dengan kamera digitalnya masing-masing. Semua warna, kultur, dan keanekaragaman mewarnai sepangjang pinggir pantai itu. seperti miniatur sebuah dunia kecil.

Setiap langkah yang kujejaki sejak keluar dari Shapir Square lalu menyusuri Malioboro dan naik bis kota menuju Paris bagai memutar kembali waktu.

Setapak demi setapak, usiaku kian menyusut, rona muka kembali mewarnai raut wajahku, dan debar-debar yang telah lama kulupakan kembali menari di jantungku. Lalu aku kembali melihat dia yang menjadi awal debaran itu-rambut ikal, mata bulat, aroma tubuhnya, suaranya, sentuhannya, ciumannya...

“Maukah kamu menjadi pacarku?” waktu itu tiba-tiba ia bertanya ditengah-tengah kami berjalan di sepanjang pantai Paris. Ia pasti sedang bercanda. Aku menoleh dan melihat ia tersenyum. Umurku enam belas tahun waktu itu. Itu hari-hari terakhirku di Jogja. Besok lusa aku akan ke Bandung mengikuti Ayah yang pindah tugas. Tanpa berhenti melangkah dan tanpa berpikir, aku tertawa dan menjawab, “Ia!”.

Setelah itu kami menjadi sepasang kekasih paling bahagia di Paris, di Jogja, bahkan di sekuruh jagad raya sore itu.

Aku belum pernah bertemu dengan pemuda seperti dia sebelumnya. Umurnya delapan belas tahun, seorang pelajar. Dan penulis. “Aku menulis untuk memberi tahu orang lain tentang apa yang aku pikirkan dan tidak untuk aku nikmati sendiri”. Begitu yang dikatakannya ketika kami pertama kali berkenalan di rumah seorang teman- dua minggu sebelum kepergianku.

Ketika ia meminta nomor teleponku, aku bilang padanya bahwa aku akan pindah. Mungkin tak kembali. Tapi ia tak peduli. Malam itu juga, ia menelepon tepat ketika aku mulai mengepak barang-barangku ke dalam koper “Kamu punya waktu untuk bertemu denganku sebelum berangkat?” tanyanya di akhir percakapan. Aku tahu jatuh cinta padanya hanya akan membawa masalah, tapi aku menjawab, “Baiklah, aku akan menemuimu”.

Dan benar, aku jatuh cinta padanya. Aku tak tahu kapan. Mungkin ketika aku melihatnya sedang berdiri menungguku di depan rumah, atau ketika ia pertama kali menggenggam tanganku ketika kami menyeberang jalan sehabis pulang sekolah, atau ketika ia menunjukkan buku sketsa tulisannya yang penuh dengan coretan, atau ketika ia memainkan gitar untukku, atau ketika ia menciumku selepas dari Paris “Aku mencintaimu”. Ucapnya. Tapi tanpa katapun, ia sudah tahu jawabanku.

Tuhan, aku ingin berteriak, mengapa baru sekarang aku dipertemukan dengannya? Sedangkan kami satu sekolah selama tiga tahun, tapi tak pernah kutemui ia. Tuhan tak menjawab, Ia hanya mengirimkan langit sore paling indah yang pernah aku lihat di sepanjang hidup pada hari terakhirku bersamanya. Langit jingga seperti dalam dongeng Barbie, kesukaanku. Ketika temaram mulai turun menyelimuti kota, kami berhenti di Cafe untuk duduk dan minum.
Di ufuk barat, langit merah muda itu pelan-pelan memudar sampai akhirnya yang tersisa hanyalah sapuan kelabu di langit.

“Kamu betul-betul akan pergi besok?” tanyanya sekali lagi.
Aku mengangguk. Tapi aku tahu sebagian hatiku ikut mati bersama selesainya hari itu.

***
Ia sudah menungguku di depan Cafe di Paris.


Aku tak percaya ternyata aku bisa langsung mengenalinya lagi dengan mudah. Setelah sekian tahun lewat dan disemua jubelan manusia, ia tetap menjadi satu-satunya titik fokus penglihatanku. Dan ia nyaris tak berubah setelah dua puluh tahun. Hanya lebih sedikit ada guratan kedewasaan di wajahnya. Rambutnya dipotong lebih pendek.

“Hai” ia tersenyum ketika melihatku berjalan ke arahnya. Ia masih setampan dulu. Wanginyapun masih sama. Masa lalu dan masa kini seolah tumpang tindih dalam kuwantum waktu yang berantakan. Air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Dan seperti dulu, ia masih tetap diam ketika melihatku menangis.

“Sudah lama sekali sejak terakhir aku melihatmu” aku ingin tertawa dan menangis sekaligus.”Apa kabar?”

“Baik”, katanya. Dua puluh tahun seolah terangkum kembali dalam satu kata yang singkat itu.”Bagaimana kalau kita bicara di dalam sambil minum jus alpukat kesukaanmu?” Ia berjalan mendahuluiku untuk membukakan pintu. Aku ingat dulu ia tak suka minum jus.

***
Dua puluh tahun lalu ketika kami berpisah di Terminal Jogja, ia berjanji akan datang ke Bandung. Menemuiku.

“Kapan?”

“Segera”

Aku menuliskan alamatku di Bandung di atas selembar tissue yang sempat kuambil di toilet tapi tidak terlalu berharap. Ia mengantarku sampai ke gerbang chek in dan aku menangis karena mengira tak akan pernah melihatnya lagi. Nyatanya ia benar-benar datang ke Bandung pada liburan sekolah. Kami menghabiskan waktu dengan nonton. Ia tidak begitu suka Bandung.

“Mengapa kamu tidak ikut kembali ke Jogja saja denganku?” tanyanya seperti biasa tanpa mempedulikan keadaanku.

Tapi aku memikirkan Ayah dan Ibu. Mereka tidak terlalu suka padanya. Karena ia berbeda agama. Mama bahkan tidak mengizinkan aku membawanya ke acara ulang tahun Chika, ponaanku. “ Kamu jadi bahan pergunjingan di keluarga besar kita?” tanya Ibu hati-hati. Sebetulnya aku tidak keberatan. Tapi Ibu jelas tidak suka. Akhirnya aku mengalah dan meninggalkannya di Bandung sendirian.

“Mereka tidak menyukaiku karena agama kita berbeda kan?” Tanyanya.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Mungkin orang tuamu juga tidak akan suka kalau mereka tahu kamu berkencan denganku”.

“Ibuku boleh bicara apa saja tentang kamu tapi pada akhirnya ia harus menghormati pilihanku”.

“Itu kamu, itu di sana. Di sini lain. Aku tak mungkin membantah mereka seperti itu”.

Ia merengut, “Kamu berubah, tidak seperti yang ku kenal dulu. Apa yang bisa aku lakukan selama kamu tidak ada?”

Tapi pada akhirnya ia datang ke Bandung. “Aku kira kau tidak suka kota ini”, kataku ketika menjemputnya di Station. “Memang. Tapi aku suka kamu”, ia menjawab persis seperti yang ku inginkan.

***
Kami duduk di tempat yang sama dan aku memesan minuman yang sama di Cafe itu seperti terakhir aku di Jogja dua puluh tahun yang lalu. Jus alpukat memang paling enak. Tapi ia benar-benar minum jus sekarang.

“Aku kaget sekali waktu kamu tiba-tiba menelpon kemarin dan mengajakku menemuimu di sini”. Katanya. “Aku pikir kamu tidak akan pernah kembali ke Jogja lagi”.

“Aku menemani suamiku. Ia sedang menjadi pembicara konferensi pergerakan mahasiswa di salah satu Universitas di Jogja”.

“Jadi kamu menikah. Sudah berapa lama?”

“Tiga tahun”

“Punya anak berapa?”

“Satu. Perempuan”.

“Di mana dia sekarang?”

“Aku tinggal. Ia sedang tidur saat aku pergi tadi”

“Aku ingin melihatnya. Apakah ia mirip denganmu?”

“Kata orang ia lebih mirip Ayahnya dari pada denganku. Entahlah aku tak begitu paham tentang hal itu”. Kataku sambil tersenyum.

Ia ikut tersenyum, “Aku bahagia semua berjalan lancar dalam hidupmu”

By the way, bagaimana denganmu, masih tetap nulis?”
ia menggeleng. “Aku berhenti. Kurasa aku telah kehilangan inspirasi untuk menulis. Mungkin ini ada hubungannya denganmu. Atau mungkin karna aku takut...”

“Takut?”

“Ya, karena banyak sekali penulis besar ternyata menderita gangguan mental. Sylvia Plath contohnya. Ini sebuah fenomena universal lintas budaya bahwa penulis di manapun kebanyakan tidak bahagia”

“Tidak semua penulis mengalami hal itu”.

“Memang tidak. Biasanya mereka yang benar-benar jenius. Aku tidak tahu apakah para penulis itu gila karena mereka terlalu banyak menulis atau sebaliknya. Justru mereka menulis sebuah karya yang luar biasa karena mereka gila.”

Aku tertawa, “Dua-duanya sama sekali bukan pilihan yang bagus. Apakah karena itu kamu memilih berhenti menulis?”

“Aku hanya ingin lebih bahagia.” Ia tersenyum. “Ya, kita sama-sama sudah banyak berubah”. Dia benar tapi aku benci mengakuinya.

“Kota ini juga berubah,” kataku, ”dua puluh tahun yang lalu, tempat duduk itu tidak ada di sini”.

“Itu hanya sebuah bentuk kepedulian masyarakat sekitar pada pengunjung, selebihnya untuk memperindah Paris”.

“Apakah kamu selalu ke sini?”

Ia tertawa, “Aku? Tentu saja tidak. Itu sangat kekanak-kanakan. Hanya turis dan pelancong yang menikmati panorama Paris.”

“Aku ingin sekali lagi menikmatinya,” kataku pelan.

“Apa?”

“Sekarang, anggap saja aku turis.”

Ia tertawa, “Baiklah, kalau kamu mau, tentu saja aku akan menemanimu.”

Kami meninggalkan Cafe. Ia menggenggam tanganku, membawaku bergabung dengan turis.

Jantungku hampir berhenti berdetak dan lututku gemetar. Jadi seperti inilah rasanya genggaman tangannya. Seperti inilah berjalan menyusuri pantai Paris dua puluh tahun yang lalu. Seperti inilah rasanya cinta yang pernah kumiliki. Aku sudah lupa bahwa cinta itu ternyata begitu indah.

***
Dulu, waktu aku masih terlalu naif, aku berpikir cinta bisa mengatasi segalanya. Tapi ternyata aku salah. Cinta saja tidak cukup. Selain jarak yang memisahkan aku dan dia, ada jarak yang terlalu sulit untuk di seberangi. Bahkan oleh sayap-sayap cinta.

“Bagaimana ia bisa masuk ke dalam keluarga kita? Ia benar-benar berbeda.”

“Kalau kamu pindah, siapa yang akan mengurus Ayah dan Ibumu?”

“Apa kamu juga akan berpindah agama?”

“Kami bukan melarang atau sok pintar. Tapi karena kami sayang kamu.”

Dan aku benci mengakui bahwa mereka benar. Semuanya benar.

“Ini tidak akan berhasil.” Kataku beberapa bulan setelah kedatangannya ke Bandung.

“Kalau begitu, sebaiknya kita putus,” jawabnya. “Tapi tolong ingat, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.”

Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan luka di hatiku sebelum akhirnya aku siap membuka cinta yang lain, walau tidak pernah sama dengan yang pernah terjejak di Paris.

***
“Aku harus pulang.” Kataku sambil melihat jam tangan. “ Sebentar lagi suamiku akan pulang dari konferensi. Aku tak mau ia khawatir.”

“Aku akan menemanimu menunggu bis. Sampai kapan kamu di Jogja?”

“Besok aku akan kembali ke Bandung”

Ia tersenyum, “Sepertinya kita memang di takdirkan untuk selalu bertemu pada saat-saat terakhir.”

“Sebenarnya aku sudah di Jogja sejak lima hari yang lalu. Aku ingin menghubungimu tapi aku baru mempunyai keberanian melakukannya kemarin. Aku takut walau aku sendiri tidak tahu apa yang aku takutkan.”

Aku berbohong!

“Tidak apa-apa,” katanya. “Sebetulnya aku juga sedikit tegang waktu aku menemuimu tadi. Hampir saja aku memutuskan tidak datang.”

“Sampai begitu?” Aku tertawa. “Aku tidak seperti hantu kan?” Ia ikut tersenyum.

“Aku akan naik bis dari sana,” ia berhenti dan memandangku.

“Jaga dirimu baik-baik. Salam buat suami dan anakmu.”

“Pasti. Bagaimana dengan dirimu? Sebetulnya aku mau menanyakannya sejak tadi. Apakah kamu juga sudah menikah sekarang?”
ia menggeleng.

“Tidak?”

“Tidak. Karena kamulah satu-satunya perempuan yang pernah aku cinta. Aku tidak pernah mencintai orang lain selain kamu.”

Aku terpana.ada sakit yang tiba-tiba menyayat dari hati. Sakit sekali. Seperti tikaman. “Maukah kamu menjadi pacarku?” tanyanya waktu itu. “ Ya!” aku menjawab sambil tertawa. Lalu kami berlari-lari seperti kebanyakan anak muda yang sedang jatuh cinta dan aku tahu aku tidak akan pernah mencintai orang lain seperti aku mencintainya.

Andaikan...

Andaikan kami pernah memberi kesempatan pada cinta itu.

Aku nyaris tidak mendengar ucapan selamat tinggalnya ketika ia memelukku erat-erat sebelum berjalan menjauh dari bis. Aku ingin berlari mengejarnya tapi aku sudah terlambat dua puluh tahun dan kakiku tak kuasa bergerak.

Di barat, langit jingga perlahan mulai memudar.

(Alumni Annuqayah 2007)

Langit Luka di Bulan September

Di ujung jalan
kudengar getar
dalam gelegar udara

lalu terbayang olehku
sebuah musim hujan turun di negerimu
sambil merekat telinga
sepasi wajahku
mengusur
turut basah

dalam bayangan
tapi hujan itu tak seperti yang kukenal
barangkali tangismu yang kuhapal
lalu iba menghening perlahan
sebab erang yang kau tahan menghujam

sementara jalan ini masih kenyal
langkah tertahan
seperti isyarat yang tertangkap petang
(sampai merinding, iramanya beku)

sampai suaranya merajam
entah sampai kapan
kudengar disebuah tikungan
hingga musim hujan semakin menenggelamkan
wajahmu kecelah yang paling dalam.

(Alumni Annuqayah, 2002)

ALUMNI ANNUQAYAH DAN DUNIA FILSAFAT DI PESANTREN

Oleh : Imam Mahdie Avandy & Nuzulul Khair

Filsafat, ketika kata ini di sebutkan ada asumsi bahwa kata ini seram dan menakutkan, ada juga yang mengatakan Filsafat hanyalah permainan bahasa. Dari berbagai asumsi-asumsi sederhana tersebut kemudian terlintas dibenak orang bahwa Filsafat tidak mempunyai orientasi yang jelas, yakni tanpa Filsafatpun kita bisa menyelami agama, sosial, politik, dan ekonomi secara umum. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kemudian kita bisa membuat suatu studi komparatif antara Filsafat secara umum dan Filsafat Islam secara khusus yang saat ini masih menjadi commond enemy di dataran dunia pesantren, namun ada juga yang sudah mulai berani memasukkan kajian ilmu kalam atau filsafat pada kurikulum pesantren.

Ada yang mengatakan difergensi antara filsafat dan agama diantaranya adalah, Filsafat dimulai dari keraguan sedangkan agama dimulai dari keimanan atau kepercayaan, akan tetapi pada tulisan term of reference ini ingin diketengahkan asumsi yang demikian terjadi pada Filsafat Barat dan tidak berlaku pada Filsafat Islam secara khusus. Sebagaimana disebutkan oleh Haidar Bagir dalam “Buku saku Filsafat Islam”, minimal keimanan datang belakangan, setelah atau, paling cepat bersamaan dengan akal. Menurut paham ini Agama harus dipahami secara Rasional, hal ini yang terjadi pada Filsafat Islam. Dari perspektif ini kemudian timbul indikasi akal dan agama tidak ada polarisasi yang signifikan dan komunitarian yang sangat akut di antara keduanya.

Adalah Filsafat Islam, dengan tujuan memahami Agama harus diikuti dengan rasionalisasi dan universum, artinya keuniversalan manusia mengikuti apa yang kemudian dinamakan Wahyu (Al-Qur’an), dalam tradisi Filsafat Islam dan perkembangannya sangat berkaitan erat dengan fitra manusia itu sendiri.

Kita tidak berdebat tentang persoalan filsafat secara rigit, baik itu filsafat Barat maupun filsafat Islam, yang ingin diketengahkan dalam diskusi “Kedai Dialektika Alumni Annuqayah Yogyakarta” adalah bagaimana kemudian kita mendalektikakan persoalan filsafat atau ilmu kalam kaitannya dengan pesantren. Disadari atau tidak, kajian filsafat atau ilmu kalam di pesantren belakangan ini masih dianggap tabu, bukan karena persoalan filsafat atau ilmu kalam tersebut sulit untuk dipelajari, namun karena kesakralan pesantren yang menggapnya bahwa persoalan demikian akan memberikan virus bahkan dianggapnya haram dan orang yang mempelajarinya diklaim murtad atau bahkan kafir. Buku-buku atau kitab-kitab bacaan para santri sangat jarang yang bersinggungan langsung dengan itu, terutama di rak-rak perpustakaan pesantren.

Sejalan dengan perputaran waktu, dimana semua orang sudah mulai memahami betapa pentingnya belajar filsafat atau ilmu kalam. Tak sedikit alumni pesantren yang menekuni filsafat saat di bangku kuliah. Untuk itu, sejauhmana kemudian kita melihat relevansi metodologi pengajaran ilmu kalam atau filsafat di pesantren, khususnya di Pondok Pesantren Annuqayah yang belakangan ini telah diwacanakan tentang persoalan tersebut? Realitanya, di STIKA yang nota bene mahasiswanya berdomisili di pesantren sudah diajari yang namanya filsafat, bahkan di semester pertama. Waba’du…

RAPAT KERJA IKATAN ALUMNI ANNUQAYAH

Draft Rancangan
Daerah Istimewa Yogyakarta 2007


A. GENERAL REFLECTIONS

Bahwa sebagai lembaga pendidikan dan sosial, Pondok Pesantren Annuqayah mengemban peran sejarah yang penting. Pondok Pesantren Annuqayah merupakan salah satu pusat pewarisan dan penyebaran nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang sekaligus memikul amanah untuk mengembangkan masyarakat menuju masyarakat yang adil, damai dan sejahtera. Dalam sejarahnya yang panjang, Pondok Pesantren Annuqayah terus membuktikan kesetiaan yang kukuh terhadap peran sejarah tersebut.

Agar peran sejarah tersebut semakin kuat dan mencapai hasil yang semakin memuaskan seiring perkembangan dan tantangan zaman, diperlukan kerja sama yang semakin erat dan dikelola dengan semakin baik di antara seluruh pihak di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, yakni kiyai/pengasuh, ustadz/pengurus, santri, alumni dan masyarakat.

Sebagai bagian dari jaringan kerja sama tersebut, alumni Pondok Pesantren Annuqayah dituntut untuk berperan serta secara giat, baik dalam hal menyokong kegiatan-kegiatan Pondok Pesantren Annuqayah khususnya, maupun dalam hal meluaskan wilayah peran sejarah yang diemban di lingkungan masyarakat secara umum. Peran serta alumni Pondok Pesantren Annuqayah itu tidak akan dapat dilakukan dengan baik kecuali apabila di antara alumni Pondok Pesantren Annuqayah terbina hubungan dan kerja sama yang baik pula. Maka atas dasar itulah sebuah perkumpulan ini terbentuk, yang diberi nama Ikatan Alumni Annuqayah, yang kemudian disingkat menjadi IAA. Atas dasar itu pula, kami selaku pengurus IAA Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 2007-2009 akan melaksanakan Rapat Kerja, dimaksudkan demi terciptanya massifitas-operasionalisasi program ke depan.

Rapat Kerja 2007 yang kemudian disebut Raker IAA 2007 merupakan forum pengambilan keputusan kinerja IAA yang dihadiri oleh seluruh Pengurus IAA untuk secara aktif bersama-sama bergelut untuk menyatukan visi, misi dan persepsi dengan merumuskan belbagai kebijakan organisasi, mematangkan kualitas program organisasi sesuai dengan prinsip dan tujuan Pondok Pesantren Annuqayah sebagaimana telah disebutkan di atas. Sehingga kemudian Raker IAA 2007 ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tolok ukur menyongsong masa depan dan penegasan perjuangan dalam nuansa berpikir yang kritis, konstributif dan transformatif.

Raker IAA 2007 inilah sebagai pintu pembuka generasi IAA DIY pada khususnya dan IAA secara keseluruhan untuk mamasuki sebuah bingkai waktu yang sarat dengan tantangan terhadap dimensi kehidupan manusia, terutama menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan belbagai perubahan di tubuh IAA dengan mengembangkan sikap profesionalisme transformasi pemikiran dan ruh membangun moralitas bangsa. Dalam kaitan ini menjadi suatu hal yang tidak terbantahkan dan tidak dapat ditolak lagi bahwa sifat profesionalisme personal yang semakin menurun, mengakibatkan visi dan misi serta tujuan awal IAA menjadi terbengkalai.


B. GENERAL PRINCIPLES OF ORGANIZATION

Agenda Raker IAA 2007 senantiasa mencitrakan pada bersenyawanya peran IAA dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Melalui pencitraan ini, diharapkan IAA akan memperkokoh penigkatan kualitas sumber daya anggota pada dimensi yang hidup dan memiliki nalar dalam membangun nilai kesalehan ilahiyah dan kesalehan sosial.

Melalui Raker ini, IAA berupaya membangun dan meningkatkan motivasi arah bergerak dan makna kualitas keilmuan, intelektual, profesional, kecendekiawanan yang disertai dengan pijakan akar agama, sosial, budaya yang mampu menciptakan suasana, menyegarkan kreasi dan kreatifitas anggota sesuai dengan tujuan awal terbentuknya IAA yang telah termaktub dalam AD/ART IAA itu sendiri.

Secara umum Raker ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai dasar kepesantrenan, wawasan keislaman yang bercirikan keilmuan, kesalehan, dan akhlaq al-karimah.

Secara khusus Raker ini bertujuan untuk; Pertama, membentuk dan mendorong lahirnya alumni yang konsisten terhadap nilai-nilai kepesantrenan, keislaman dan citra diri organisasi. Kedua, menumbuhkan kesadaran dalam pengembangan pola pikir dan berkreasi serta berkepribadian tinggi. Ketiga, menumbuhkan sistem operasional pengelolaan organisasi yang administratif, efektif, efisien, dan kemandirian.

Melalui Draft Raker IAA 2007 ini, diharapkan bisa menjadi spirit dan arah agenda awal kegiatan IAA, baik program jangka pendek maupun jangka panjang.


C. DRAFT SIDANG KOMISI

Komisi I : Komisi Organisasi

Target Program
Terwujudnya konsolidasi organisasi mencakup pemantapan struktur personal dan pemantapan wawasan anggota dalam sistem manajemen organisasi profesional dan proporsional.

Bentuk Program
a. Meningkatkan dan mengembangkan struktur profesionalisme serta kredibilitas pengurus.
b. Meningkatkan potensi pengurus dengan pelatihan dan pemahaman manajemen organisasi.
c. Meningkatkan tertib administratif dan ketrampilan manajerial pengurus beserta anggota.
d. Meningkatkan tali silaturrahmi di kalangan pengurus dan anggota.
e. Meningkatkan daya guna dan hasil guna.

Realisasi Program
a. Konsolidasi organisasi. Ex. Silaturrahmi, menghadiri setiap acara intern dan ekstern, dll.
b. Pemantapan koordinasi organisasi.
c. Mengadakan kerja sama dengan LSM, institusi, lembaga/organisasi lain.

Komisi II : Komisi Pendidikan & Kaderisasi (DikSas)

1. Target Program
Lahirnya anggota-anggota yang mempunyai intelektualisme tinggi dan berwawasan keislaman, kebangsaan, komitmen terhadap nilai-nilai kepesantrenan.

2. Bentuk Program
a. Meningkatkan kualitas intelektual dan wacana berfikir anggota melalui pendidikan, kajian, diskusi, penelitian dan lain-lain.
b. Mengembangkan intelektual yang bersifat memfasilitasi atau merangsang agar kemampuan intelektual anggota bisa berkembang dengan baik.
c. Meningkatkan sumber daya yang mampu membaca dan menganalisa isu-isu lokal, nasional dan internasional secara kompetitif dan sistematis.
d. Berusaha meningkatkan pola pengkaderan yang profesional melalui pendidikan anggota dari awal tahun dan sebagainya.

3. Realisasi Program
a. Mengadakan dialog interaktif dan kajian-kajian strategis. Ex. Diskusi, dll.
b. Pembacaan isu-isu komtemporer.
c. Menganalisa, mengsistematis, mendiagnosa dan menentukan solusi yang solutif dan spesifik dalam isu-isu komtemporer.
d. Pengelolaan dan pembinaan anggota yang berkesinambungan.
e. Mengadakan pelatihan-pelatihan yang refresentatif dari IAA.

Komisi III : Komisi Pers & Informasi (PerMasi)

Target Program
Terciptanya anggota-anggota yang mampu mengolah ulang dan menganalisis terhadap terus berkembangnya media informasi sehingga menjadi wacana yang siap dikonsumsi oleh publik.

Bentuk Program
a. Membuat pusat informasi yang berkaitan dengan data, dokumentasi, wacana terakan dan isu-isu lokal maupun global.
b. Membuat dan merencanakan media-media informasi bagi pengembnangan akses informasi warga terutama yang berkaitan dengan isu-isu dunia pendidikan dan pesantren.
c. Memberi respons yang taktis dan strategis melalui media jurnalistik.
d. Mengorganisir isu-isu hasil kesepakatan dengan media jurnalistik.

Realisasi Program
a. Membuat Web-Site IAA Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai media informasi dan komunikasi antara pengurus dengan anggota dan alumni Pondok Pesantren Annuqayah yang ada di Daerah lain maupun yang masih berdomisili di Annuqayah serta masyarakat pada umumnya.
b. Penerbitan Buletin, Jurnal dan media-media lainnya yang dibutuhkan.

Komisi IV : Komisi Penelitian & Pengembangan (LitBang)

1. Target Program
Demi terselenggaranya proses organisasi yang normal dan terarah untuk melakukan transformasi gagasan dan segala bentuk perjuangan lainnya.

2. Bentuk Program
a. Akses informasi dan mengelola isu-isu strategis yang berkembang yang sesuai dengan kebutuhan IAA.
b. Akses dan pengembangan jaringan dan informasi organisasi.
c. Melakukan kerja pembacaan dan controlling pada wilayah pesantren dan dunia pendidikan dan melihat ruang-ruang yang bisa dimasuki oleh nalar perjuangan IAA.
d. Membuat rekomendasi-rekomendasi taktis dan strategis untuk keperluan IAA.
e. Menjalin hubungan yang harmonis antar beberapa organisasi yang lain.

3. Realisasi Program
a. Membuat Data Base IAA yang valid dan jujur tentang segala aspek yang dimiliki oleh IAA DIY.
b. Melakukan penelitian-penelitian yang menyangkut kepesantrenan untuk kemudian dikembangkan menjadi gagasan bersama anggota.
c. Mengagendakan adanya radikalisasi konsentrasi. Ex. Workshop, seminar dll.
d. Menciptakan kantong-kantong atau centralisasi gagasan yang dibutuhkan.
Komisi V : Komisi Sosial Keagamaan & Kemasyarakatan (SosGaMa)

1. Target Program
Terbentuknya anggota yang sadar akan pentingnya penyebaran nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam dan mampu memikul amanah untuk mengembangkan masyarakat menuju masyarakat yang adil, damai dan sejahtera, terutama yang menyangkut hal-hal internal anggota Ikatan Alumni Annuqayah.

2. Bentuk Program
a. Melakukan ritual-ritual keagamaan yang dapat mengakomodir dan terciptanya intraksi sosial yang akut antar anggota IAA agar terjalin harmonisasi komunikasi yang baik.
b. Melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau pendampingan secara gradual dan terarah terhadap masyarakat sebagai aktualisasi semangat kemasyarakatan, khususnya di intern IAA.
c. Melakukan kerja-kerja konsolidasi dan merapatkan barisan.
d. Melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh pesantren khususnya pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah.

3. Realisasi Program
a. Mengadakan training dan pelatihan yang berkelanjutan dengan skill keagamaan dan kemasyarakatan.
b. Memprogramkan ritual-ritual kegamaan. Ex. Yasinan, tahlilan, dll.


D. PENUTUP

Segenap ikhtiar kolektif yang dilakukan oleh Tim Konseptor dalam Draft Raker IAA 2007 ini sekirannya dapat digunakan sebagai bahan rujukan ruh berfikir sekaligus sebagai pemancing kreatifitas dan kekritisan intelektual anggota Raker IAA 2007.
Tim Konseptor mengharapkan, segala sesuatu yang telah dilakukan untuk Raker IAA 2007 dapat memiliki nilai kemanfaatan secara komprehensif bagi teraktualisasinya semagat perjuangan IAA guna menatap dan menyongsong isi arah masa depan. Semoga!

Yogyakarta, 25 Maret 2007

Ttd.



IMAM MAHDI AVANDY
Ketua Umum IAA DIY

Misteri Pelepasan Timor-Timur

[Jawa Pos, Minggu, 24 Agustus 2008]

Judul Buku : Pembantaian Timor-Timur, Horor Masyarakat Internasional
Pengarang : Joseph Nevins
Penerbit : Galang Press, Jogjakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xxiii + 375 Halaman

Munculnya ide pelepasan Timor-Timur (Timtim) berawal dari dua opsi yang diajukan Presiden B.J. Habibi melalui referendum pada 27 Januari 1999. Opsi pertama memberi otonomi khusus kepada Timtim, dan kedua pemisahan Timtim dari Indonesia. Rakyat Timtim memilih opsi kedua, karena dinilai sebagai pilihan terbaik setelah mereka merasa disakiti selama 24 tahun oleh Indonesia.

Pada referendum 30 Agustus 1999, Timtim menyatakan merdeka dari Indonesia, hasil referendum diumumkan, dan rakyat Timtim lepas dari kuasa Indonesia. Begitu rakyat Timtim menyatakan keberaniaannya melepaskan diri dari belenggu Indonesia, kekerasan terjadi di mana-mana. Kelompok militer muncul di mana-mana, bikin onar, dan membantai orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan.

Pada masa itu, Timtim kembali ke ''titik nol'', kosong seperti tidak punya sejarah, nyawa manusia banyak tercincang layaknya ayam yang mau dipanggang. Baru tiga tahun kemudian, tepatnya pada 20 Mei 2002, Timtim resmi manjadi negara merdeka, dan mengubah namanya menjadi Timor Leste dengan bahasa resmi Portugal. Dengan meresmikan sebagai negara sendiri, kemerdekaannya diharapkan mampu memberi pencerahan baru terhadap masyarakat Timtim. Namun, kemerdekaan tidak semegah yang dibayangkan sewaktu mempertahankan dengan kucuran darah. Kemerdekaannya justru dirasakan oleh orang-orang di luar Timtim yang sengaja menyeting rakyat Timtim hidup dalam konflik.

Dengan status sebagai ''negara muda'' yang stabilitas politik dan ekonominya masih sangat rentan konflik kepentingan, Timtim terombang-ambing menentukan arah masa depannya. Terlebih bila dikaitkan dengan tragedi masa lalu yang penuh darah dan pembantaian.

Buku ini mencoba memotret gejolak politik kepentingan yang terjadi sepanjang 1999 dan setelah Timtim menentukan hari kemerdekaannya. Kejahatan kemanusiaan yang pernah melenyapkan tanah Lorosae sampai saat ini masih bergentayangan dengan berbagai bentuk. Joseph Nevins, penulis buku ini, memaparkan secara gamblang kekacauan yang terjadi sebagai saksi dari insiden-insiden kekerasan pada 1999.

Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor-Timur yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) melaporkan adanya persekongkolan yang menjadi dasar bagi aksi kekerasan yang kemudian terjadi secara sistematis dan meluas. Antara lain adalah gelontaran dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pemda dan alokasi anggaran rutin pembangunan daerah dan dana jaring pengaman sosial (JPS) untuk membiayai pembentukan dan perekrutan anggota pamswkasrsa. Bukan hanya itu, TNI terbukti juga memasok berbagai persenjataan kepada milisi. Mulai jenis SKS, N-16, Mauser/G-34, granat, pistol, termasuk sejumlah senapan rakitan (hlm. xx)

Dalam catatan Joseph, pada September 1999 TNI dan milisi melakukan sejumlah pembunuhan, pembakaran rumah-rumah, pengusiran secara paksa terhadap warga Timtim yang memilih untuk merdeka dalam referendum yang dilaksanakan PBB. Setelah seperempat abad dalam pendudukan Indonesia, sekitar 1.000 sampai 2.000 warga sipil Timtim terbunuh hanya dalam beberapa bulan sebelum dan beberapa hari sesudah referendum 1999. Sekitar 500.000 orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan lari mengungsi.

Namun, kasus yang paling menonjol dan sampai saat ini masih memberi embrio terjadinya konflik baru, antara lain pembantaian di Gereja Liguica, pembunuhan warga Kailako di Bobonaro, penghadangan rombongan Manuel Gama, eksekusi penduduk sipir di Boronaro, dan penyerangan rumah Manuel Carrascalao. Juga kerusuhan di Dili, penyerangan diosis Dili, penyerangan rumah Uskup Belo, pembakaran rumah penduduk di Maliana, penyerangan kompleks gereja di Suai, dan pembunuhan di Polres Maliana. Termasuk pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes serta pembunuhan rombongan rohaniawan di Lospalos (hlm. xxii)

Joseph merekam sendiri tindak kekejaman yang tidak manusiawi secara langsung di Timtim. Dia berada di tengah kekacauan dan amuk massa pada 1999 itu. Bagi dia, semua tragedi menjadi sebuah pertanyaan dan gugatan reflektif ihwal carut-marut kemanusiaan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia.

Bagi Joseph, buku ini menjadi sebuah media kritik dan evaluasi di tengah berbagai tragedi mengenaskan dunia yang terus terjadi tanpa henti. Penulis sadar bahwa tragedi yang terjadi di Timtim tidak bisa dipotret seutuhnya, secara sempurna, tetapi dia melihat bahwa tragedi itu harus disuarakan, agar menjadi keprihatian masyarakat dunia.

Di tengah maraknya tindak kekerasan, buku ini menjadi bahan renungan tersendiri bagi Indonesia. Meski Timtim sudah tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia, sejarah tidak akan pernah melupakan bahwa Indonesia pernah mengobrak-abrik rakyat Timor-Timur.

Buku ini mungkin akan memerahkan telinga para petinggi TNI dan Polri, karena banyak informasi yang menelanjangi sepak-terjang tentara dan polisi selama bertugas di sana. Kejahatan kemanusiaan adalah derita bagi semua orang, dan semua orang bisa merasakan perihnya. (*)

Ainur Rasyid, Alumnus PP. Annuqayah 2006

Jumat, 02 Januari 2009

Gudeg, Simbol Demokrasi Yogyakarta

Rabu, 17 Desember 2008 10:36 WIB

Oleh Muhammad Ali Fakih AR

Sebagai makanan khas Yogyakarta, gudeg tentunya menyimpan makna substansial yang merupakan kristalisasi dari sentimen sifat dan sikap masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Dalam arti yang lebih umum bahwa simbolisme kultural selalu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial di mana simbol itu muncul dan terpelihara.

Sebagai bentuk apresiasi atas simbolisme Yogyakarta, tulisan ini tidak akan mengurai gudeg dalam aspeknya sebagai makanan atau kekhasannya sebagai khazanah kultural Yogyakarta, tetapi lebih kepada dimensi moral-etis masyarakat Yogyakarta yang barangkali tidak akan pernah terniscaya tanpa keberadaannya.

Warung makan merupakan bentuk institusi informal. Secara filosofis, ia adalah tempat di mana hasrat dan kehendak manusiawi menjadi tak terbantahkan secara sosial. Secara umum, warung makan merupakan ruang publik terjadinya kontrak antara pembeli sebagai warga masyarakat dalam berbagai lapisan ciri dan kekhasan dengan penjual sebagai pemegang kekuasaan yang dalam hal ini memiliki otoritas ruang. Secara khusus, ruang makan sering kali menjadi cerminan suatu sistem relasi sosial masyarakat tradisi tercipta dan berjalan secara dinamis.

Kaitannya dengan sistem demokrasi, eksistensi gudeg sebenarnya memiliki makna yang cukup erat dalam perannya sebagai simbolisme sosio-kultural suatu masyarakat tradisi. Dalam bahasa Yahya Muhaimin (Akhmad Zaini Abar (ed, 1965), rasionalitas demokrasi yang berarti satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan hidup anggota masyarakat, memelihara kepentingan-kepentingan mereka, dan juga mengatur ketertiban hidup bermasyarakat mereka sangat tecermin dari tradisi sistem "beli nasi" di warung makan gudeg.

Dalam tradisi "beli nasi gudeg" dan inilah sisi fundamental yang membedakan dengan tradisi "beli nasi" di warung-warung lainnya semua pembeli diberi kebebasan oleh penjual untuk menghidangkan sendiri nasi dan lauk sesuai porsi masing-masing. Di sini, penjual tak ubahnya sebagai penyedia fasilitas di satu pihak dan memiliki otoritas untuk menentukan dan meminta bayaran kepada pembeli di pihak lain. Di luar koridor itu, ia tidak menuntut secara paksa ruang-gerak kebebasan pembeli. Hanya saja, di samping koridor tersebut, baik penjual maupun pembeli sama-sama mengemban kesadaran akan kondusifnya moral-etis dalam jual-beli.
Barangkali pengambilan sikap pembebasan pembeli semacam ini selaras dengan konsep etika pembebasannya Soedjatmoko (1980), bahwa dalam demokrasi pembangunan, individu mesti keluar dari ketidakberdayaan, ketergantungan, rasa cemas atau "dari keharusan mempertanyakan apakah tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi".

Pembebasan "ngambil nasi dan lauk sendiri" ini erat kaitannya dengan terminologi hak-hak individu yang merupakan entry point demokrasi dalam sebuah institusi negara yang berdiri di atas parameter struktur sosial, yakni nominal parameter dan graduated parameter (Peter M Blau, 1977). Yang pertama mengenai pembagian warga masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki konotasi perbedaan jenjang (ras, suku-bangsa, agama, dan sejenisnya), sementara yang kedua berkenaan dengan distribusi anggota masyarakat ke dalam tertib status berjenjang (pendapatan, kekayaan, kekuasaan, dan semacamnya).

Dua parameter struktur sosial ini akan menciptakan sebuah bentuk "interseksi", yaitu diferensiasi sosial yang tercipta atas berbagai "perbedaan" keanggotaan di dalam suatu kelompok yang dipertemukan dalam "kesamaan" hak. Hal ini terlihat jelas dalam "tradisi beli nasi gudeg", di mana penjual memberikan kesamaan hak bagi semua pembeli tanpa melihat status sosial yang melatarbelakanginya. Tidak sama halnya dengan "tradisi beli nasi" di warung-warung lain, di mana demokrasi hanya dimaknai dengan kesamaan "porsi".
Pembebasan

Pembebasan pembeli mengindikasikan sebuah otonomi dalam pengertian Kant bahwa semua bakat alamiah dari setiap makhluk ditakdirkan berkembang sepenuh-penuhnya menuju tujuan kodratnya sehingga ia berjiwa mandiri dalam kemampuan dan kematangannya memakai kebebasan untuk suatu tujuan. Secara implisit, pengertian Ignas Kleden (2001) tentang kebebasan (freedom from) dan otonomi (freedom for) dapat ditarik dalam makna sistem demokratisasi "beli nasi gudeg" ini. Freedom from dapat dimaknai sebagai kebebasan pembeli dari otoritas penjual, sementara freedom for merupakan sikap otonom pembeli dalam tujuan dasarnya: "kenyang dengan porsi tertentu".

Meskipun dalam sistem demokrasi kepentingan umum senantiasa mutlak mesti diupayakan dan dijaga, bukan berarti pihak penguasa seandainya penjual nasi gudeg kita bayangkan sebagai pemegang kekuasaan harus menggugurkan otoritasnya. Otoritas penguasa tetap harus ada, namun dalam koridor hanya sebagai pengemban hukum dan penyelaras kebijakan saja. Menurut R Bendix (ed, 1968), ketegasan penguasa secara kualitatif dapat mengaktualisasikan hukum secara tegas dan tepat, decisive, eksekutif, dan commanding, serta terbuka.
Konsep tentang penguasa semacam ini kiranya teraktualisasi dalam tradisi "sistem beli nasi gudeg", ketika penjual, misalnya, boleh menuntut bayaran dari pembeli yang sudah makan sesuai dengan standar biasanya dan tidak curang, menentukan harga dan memberikan kebijakan- kebijakan lain yang dalam batasan tidak menekan kebebasan dan hak otonomi pembeli.

Sementara itu, apa yang telah menjadi unsur sejarah bentuk kekuasaan patrimonial di Yogyakarta dapat diangkat sesuai dengan konten pembicaraan ini. Konsep kekuasaan paternalistik ini, seperti yang tecermin dari tradisi masyarakat Yogyakarta, mengindikasikan sikap kolegialitas, hangat, akrab, dan tenang. Hal ini disebabkan warga masyarakat dengan mudah memercayakan kepentingannya kepada pemegang kekuasaan, dan pihak penguasa merasa harus memerhatikan dan melindungi kepentingan anggota masyarakat. Oleh karena itu, di dalam kehidupan seperti ini, antara warga masyarakat dan pemegang kekuasaan secara alamiah berada dalam kondisi yang lebih harmonis bila dibandingkan dengan masyarakat Barat yang cenderung menggunakan konsep demokrasi liberal.

Muhammad Ali Fakih AR, alumni Annuqayah 2005

Turnamen Futsal

Dalam rangka menyangbuat kedatangan Tahun Baru Hijriah 1430 H. dan Tahun Baru 2009 serta memupuk tali silaturrahmi dan komunikasi antar organisasi/paguyuban alumni pondok pesantren di Yogyakarta, Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan pegelaran ‘Turnamen Bersama’, yang dikemas dengan pertandingan Futsal, kali ini bertanding IAA melawan PANJY (Paguyuban Alumni Nurul Jadid Yogyakarta), sistem Home Away. Pertama bertanding pada tanggal 25 Desember 2008, yang bertempat di Next Biliyard and Futsal. Skor first leg Annuqayah ditekuk 11-5dan di second leg 9-6. Pertandingan kedua dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 2009, bertempat di Gaol Futsal Jalan Wahid Hasyim No. 6 Nologaten (Wisoro Baru) Condongcatur Sleman Yogyakarta.