Jumat, 02 Januari 2009

Gudeg, Simbol Demokrasi Yogyakarta

Rabu, 17 Desember 2008 10:36 WIB

Oleh Muhammad Ali Fakih AR

Sebagai makanan khas Yogyakarta, gudeg tentunya menyimpan makna substansial yang merupakan kristalisasi dari sentimen sifat dan sikap masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Dalam arti yang lebih umum bahwa simbolisme kultural selalu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial di mana simbol itu muncul dan terpelihara.

Sebagai bentuk apresiasi atas simbolisme Yogyakarta, tulisan ini tidak akan mengurai gudeg dalam aspeknya sebagai makanan atau kekhasannya sebagai khazanah kultural Yogyakarta, tetapi lebih kepada dimensi moral-etis masyarakat Yogyakarta yang barangkali tidak akan pernah terniscaya tanpa keberadaannya.

Warung makan merupakan bentuk institusi informal. Secara filosofis, ia adalah tempat di mana hasrat dan kehendak manusiawi menjadi tak terbantahkan secara sosial. Secara umum, warung makan merupakan ruang publik terjadinya kontrak antara pembeli sebagai warga masyarakat dalam berbagai lapisan ciri dan kekhasan dengan penjual sebagai pemegang kekuasaan yang dalam hal ini memiliki otoritas ruang. Secara khusus, ruang makan sering kali menjadi cerminan suatu sistem relasi sosial masyarakat tradisi tercipta dan berjalan secara dinamis.

Kaitannya dengan sistem demokrasi, eksistensi gudeg sebenarnya memiliki makna yang cukup erat dalam perannya sebagai simbolisme sosio-kultural suatu masyarakat tradisi. Dalam bahasa Yahya Muhaimin (Akhmad Zaini Abar (ed, 1965), rasionalitas demokrasi yang berarti satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan hidup anggota masyarakat, memelihara kepentingan-kepentingan mereka, dan juga mengatur ketertiban hidup bermasyarakat mereka sangat tecermin dari tradisi sistem "beli nasi" di warung makan gudeg.

Dalam tradisi "beli nasi gudeg" dan inilah sisi fundamental yang membedakan dengan tradisi "beli nasi" di warung-warung lainnya semua pembeli diberi kebebasan oleh penjual untuk menghidangkan sendiri nasi dan lauk sesuai porsi masing-masing. Di sini, penjual tak ubahnya sebagai penyedia fasilitas di satu pihak dan memiliki otoritas untuk menentukan dan meminta bayaran kepada pembeli di pihak lain. Di luar koridor itu, ia tidak menuntut secara paksa ruang-gerak kebebasan pembeli. Hanya saja, di samping koridor tersebut, baik penjual maupun pembeli sama-sama mengemban kesadaran akan kondusifnya moral-etis dalam jual-beli.
Barangkali pengambilan sikap pembebasan pembeli semacam ini selaras dengan konsep etika pembebasannya Soedjatmoko (1980), bahwa dalam demokrasi pembangunan, individu mesti keluar dari ketidakberdayaan, ketergantungan, rasa cemas atau "dari keharusan mempertanyakan apakah tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi".

Pembebasan "ngambil nasi dan lauk sendiri" ini erat kaitannya dengan terminologi hak-hak individu yang merupakan entry point demokrasi dalam sebuah institusi negara yang berdiri di atas parameter struktur sosial, yakni nominal parameter dan graduated parameter (Peter M Blau, 1977). Yang pertama mengenai pembagian warga masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki konotasi perbedaan jenjang (ras, suku-bangsa, agama, dan sejenisnya), sementara yang kedua berkenaan dengan distribusi anggota masyarakat ke dalam tertib status berjenjang (pendapatan, kekayaan, kekuasaan, dan semacamnya).

Dua parameter struktur sosial ini akan menciptakan sebuah bentuk "interseksi", yaitu diferensiasi sosial yang tercipta atas berbagai "perbedaan" keanggotaan di dalam suatu kelompok yang dipertemukan dalam "kesamaan" hak. Hal ini terlihat jelas dalam "tradisi beli nasi gudeg", di mana penjual memberikan kesamaan hak bagi semua pembeli tanpa melihat status sosial yang melatarbelakanginya. Tidak sama halnya dengan "tradisi beli nasi" di warung-warung lain, di mana demokrasi hanya dimaknai dengan kesamaan "porsi".
Pembebasan

Pembebasan pembeli mengindikasikan sebuah otonomi dalam pengertian Kant bahwa semua bakat alamiah dari setiap makhluk ditakdirkan berkembang sepenuh-penuhnya menuju tujuan kodratnya sehingga ia berjiwa mandiri dalam kemampuan dan kematangannya memakai kebebasan untuk suatu tujuan. Secara implisit, pengertian Ignas Kleden (2001) tentang kebebasan (freedom from) dan otonomi (freedom for) dapat ditarik dalam makna sistem demokratisasi "beli nasi gudeg" ini. Freedom from dapat dimaknai sebagai kebebasan pembeli dari otoritas penjual, sementara freedom for merupakan sikap otonom pembeli dalam tujuan dasarnya: "kenyang dengan porsi tertentu".

Meskipun dalam sistem demokrasi kepentingan umum senantiasa mutlak mesti diupayakan dan dijaga, bukan berarti pihak penguasa seandainya penjual nasi gudeg kita bayangkan sebagai pemegang kekuasaan harus menggugurkan otoritasnya. Otoritas penguasa tetap harus ada, namun dalam koridor hanya sebagai pengemban hukum dan penyelaras kebijakan saja. Menurut R Bendix (ed, 1968), ketegasan penguasa secara kualitatif dapat mengaktualisasikan hukum secara tegas dan tepat, decisive, eksekutif, dan commanding, serta terbuka.
Konsep tentang penguasa semacam ini kiranya teraktualisasi dalam tradisi "sistem beli nasi gudeg", ketika penjual, misalnya, boleh menuntut bayaran dari pembeli yang sudah makan sesuai dengan standar biasanya dan tidak curang, menentukan harga dan memberikan kebijakan- kebijakan lain yang dalam batasan tidak menekan kebebasan dan hak otonomi pembeli.

Sementara itu, apa yang telah menjadi unsur sejarah bentuk kekuasaan patrimonial di Yogyakarta dapat diangkat sesuai dengan konten pembicaraan ini. Konsep kekuasaan paternalistik ini, seperti yang tecermin dari tradisi masyarakat Yogyakarta, mengindikasikan sikap kolegialitas, hangat, akrab, dan tenang. Hal ini disebabkan warga masyarakat dengan mudah memercayakan kepentingannya kepada pemegang kekuasaan, dan pihak penguasa merasa harus memerhatikan dan melindungi kepentingan anggota masyarakat. Oleh karena itu, di dalam kehidupan seperti ini, antara warga masyarakat dan pemegang kekuasaan secara alamiah berada dalam kondisi yang lebih harmonis bila dibandingkan dengan masyarakat Barat yang cenderung menggunakan konsep demokrasi liberal.

Muhammad Ali Fakih AR, alumni Annuqayah 2005

Tidak ada komentar: