Oleh : Imam Mahdie Avandy & Nuzulul Khair
Filsafat, ketika kata ini di sebutkan ada asumsi bahwa kata ini seram dan menakutkan, ada juga yang mengatakan Filsafat hanyalah permainan bahasa. Dari berbagai asumsi-asumsi sederhana tersebut kemudian terlintas dibenak orang bahwa Filsafat tidak mempunyai orientasi yang jelas, yakni tanpa Filsafatpun kita bisa menyelami agama, sosial, politik, dan ekonomi secara umum. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kemudian kita bisa membuat suatu studi komparatif antara Filsafat secara umum dan Filsafat Islam secara khusus yang saat ini masih menjadi commond enemy di dataran dunia pesantren, namun ada juga yang sudah mulai berani memasukkan kajian ilmu kalam atau filsafat pada kurikulum pesantren.
Ada yang mengatakan difergensi antara filsafat dan agama diantaranya adalah, Filsafat dimulai dari keraguan sedangkan agama dimulai dari keimanan atau kepercayaan, akan tetapi pada tulisan term of reference ini ingin diketengahkan asumsi yang demikian terjadi pada Filsafat Barat dan tidak berlaku pada Filsafat Islam secara khusus. Sebagaimana disebutkan oleh Haidar Bagir dalam “Buku saku Filsafat Islam”, minimal keimanan datang belakangan, setelah atau, paling cepat bersamaan dengan akal. Menurut paham ini Agama harus dipahami secara Rasional, hal ini yang terjadi pada Filsafat Islam. Dari perspektif ini kemudian timbul indikasi akal dan agama tidak ada polarisasi yang signifikan dan komunitarian yang sangat akut di antara keduanya.
Adalah Filsafat Islam, dengan tujuan memahami Agama harus diikuti dengan rasionalisasi dan universum, artinya keuniversalan manusia mengikuti apa yang kemudian dinamakan Wahyu (Al-Qur’an), dalam tradisi Filsafat Islam dan perkembangannya sangat berkaitan erat dengan fitra manusia itu sendiri.
Kita tidak berdebat tentang persoalan filsafat secara rigit, baik itu filsafat Barat maupun filsafat Islam, yang ingin diketengahkan dalam diskusi “Kedai Dialektika Alumni Annuqayah Yogyakarta” adalah bagaimana kemudian kita mendalektikakan persoalan filsafat atau ilmu kalam kaitannya dengan pesantren. Disadari atau tidak, kajian filsafat atau ilmu kalam di pesantren belakangan ini masih dianggap tabu, bukan karena persoalan filsafat atau ilmu kalam tersebut sulit untuk dipelajari, namun karena kesakralan pesantren yang menggapnya bahwa persoalan demikian akan memberikan virus bahkan dianggapnya haram dan orang yang mempelajarinya diklaim murtad atau bahkan kafir. Buku-buku atau kitab-kitab bacaan para santri sangat jarang yang bersinggungan langsung dengan itu, terutama di rak-rak perpustakaan pesantren.
Sejalan dengan perputaran waktu, dimana semua orang sudah mulai memahami betapa pentingnya belajar filsafat atau ilmu kalam. Tak sedikit alumni pesantren yang menekuni filsafat saat di bangku kuliah. Untuk itu, sejauhmana kemudian kita melihat relevansi metodologi pengajaran ilmu kalam atau filsafat di pesantren, khususnya di Pondok Pesantren Annuqayah yang belakangan ini telah diwacanakan tentang persoalan tersebut? Realitanya, di STIKA yang nota bene mahasiswanya berdomisili di pesantren sudah diajari yang namanya filsafat, bahkan di semester pertama. Waba’du…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar