Oleh : Ahmad Badrus Sholihin
Terus terang, saya sempat kebingungan ketika redaktur buletin As-Syarqawi meminta saya menulis sebuah opini tentang eksistensi alumni Annuqayah. Ada dua hal yang membuat saya ragu-ragu. Pertama, saya kekurangan referensi, atau lebih tepatnya miskin data tentang alumni Annuqayah. Hal ini disebabkan jarangnya komunikasi dengan teman-teman alumni di lain daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, dll. Bahkan, beberapa alumnus di Jogja pun sudah seperti hilang dari peredaran. Sedangkan database di IAA pusat sampai saat ini belum terakses, entah karena kemalasan saya atau karena database itu sendiri memang belum disusun. Kedua, persoalan obyektifitas. Sebab, dengan miskinnya data maka satu-satunya referensi adalah pengalaman saya. Dan, saya selalu miris setiap kali berurusan dengan yang namanya subyektifitas.
Namun, akhirnya saya ambil juga risiko ini. Lagi pula mungkin lewat tulisan ini saya bisa mengekspresikan kerinduan saya kepada Annuqayah, lebih khusus lagi para kyai yang senantiasa saya harapkan kesaksiannya kelak di akhirat, supaya saya eakoh pernah menjadi santri dan mengaji di pesantren yang sangat saya cintai. Dan, untuk mengatasi kebingungan saya di awal tadi, saya memilih untuk mengisahkan kembali cerita seorang alumnus Annuqayah beberapa tahun lalu, yang saya kenal tetapi tidak akan saya sebutkan namanya. Anggap saja sahibul hikayat adalah anonim. Berikut kisahnya :
Malam itu, lama aku merenung. Sesingkat inikah masa tinggalku di Annuqayah? Tak terasa tiga tahun sudah aku lalui. Berbagai kisah hidup sempat tertangkap indera, tapi banyak yang tak sempat aku cerna dengan baik dan akhirnya banyak juga yang terlupakan. Meski lamat-lamat, aku coba menyimak doa yang sedang dibaca Kyai Basyir. Toh, suara doa itu masih kalah juga oleh gemuruh perasaan campur aduk di hatiku. Ini malam perpisahanku dengan Annuqayah. Ini pula mungkin saat terakhir Sang Kyai mendoakan aku dan beberapa kawanku dengan status santri. Setelah ini kami akan berubah menjadi alumni.
Ya, bebarapa waktu yang lalu aku dan beberapa kawan memantapkan diri untuk meneruskan kuliah di luar. Ada yang memilih Surabaya, yang lain memilih Jakarta dan Malang, sedangkan aku dan beberapa orang memilih Jogja. Tapi, justru di malam terakhir ini aku merasakan keraguan, mungkin kawan-kawan yang lain juga. Sudah benarkah pilihanku untuk meninggalkan Annuqayah? Apakah kemilaunya tantangan dan godaan Jogja yang menggelora benar-benar lebih baik dari kedamaian dan ketenangan yang selama ini telah kunikmati di Annuqayah? Oh, alangkah teduhnya wejangan Kyai malam ini. Alangkah besarnya rasa sayang beliau kepada kami. Beliau tidak melarang, bahkan mendukung dan mendoakan setiap santri yang ingin merambah pengalaman baru di luar. Dan doa terakhir beliau selalu kuingat sampai saat ini. Ingin rasanya aku menangis waktu itu, namun ego-ku sebagai laki-laki mendorong kembali air yang sudah hampir tumpah dari kelopak mataku.
Waktu pun berlalu, searah dengan hiruk pikuk Jogja yang semakin hari semakin sesak dan pengap saja. Tak semua anganku dulu benar-benar kutemukan di kota ini. Ternyata di manapun di dunia ini tak ada tempat yang menawarkan harapan sama persis dengan kenyataan yang ada. Dulu, aku membayangkan Jogja benar-benar sebuah surga ilmu, tempat para pencari dengan mudah dan sebebas-bebasnya mereguk sebanyak-banyaknya, bahkan sampai muntah-muntah, anggur ilmu, sungai susu pengetahuan dan memetik buah-buah kearifan yang tak terbatas.
Ternyata, Jogja lebih identik dengan pasar ilmu. Para pencari ilmu berperan sebagai pedagang sekaligus pembeli. Masing-masing dituntut untuk menjadi manusia-manusia individualis jika ingin memenangkan persaingan. Di banyak tempat, ilmu diperdagangkan dengan sistem lelang, hanya penawar tetinggi yang berhak memilikinya. Di pasar, sangat susah menemukan orang suci. Kekuatan doa kalah dari kekuatan uang. Barakah benar-benar menjadi barang langka. Dan aku, sebagai pendatang dengan modal pas-pasan, harus menerima kenyataan pahit bahwa aku tertinggal jauh di belakang.
Jogja juga bukan tanah suci yang terlindungi dari tangan-tangan usil setan penggoda. Kemajuan teknologi telah benar-benar menyatu dengan keseharian para pencari ilmu. Berjuta manfaat bercampur aduk dengan berjuta mudarat. Dan lagi-lagi aku gagap. Sebab, selama di Annuqayah (dulu) aku sangat terlindung dari tv dan ekses-ekses negatif internet. Di Jogja semua informasi masuk tanpa tersaring. Satu informasi belum kucerna dengan baik, beribu-ribu informasi lain telah berdesakan menjebol katup syaraf di otakku. Di Annuqayah (dulu) informasi hanya datang dari koran yang dipajang di mading dan dibaca beramai-ramai. Sangat sulit bagiku sekarang untuk fokus kepada satu prioritas. Sebab, pilihan yang tersedia terlalu banyak, sedangkan risiko kesalahan prioritas sangat besar probabilitasnya. Jika aku memutuskan untuk diam dan tak memilih apapun, aku akan menjadi mayat hidup. Jika aku salah dalam menentukan pilihan, aku akan tersesat dan semakin menjauh dari tujuanku semula. Betapa amannya aku di Annuqayah (dulu). Pilihan, prioritas, dan jalan yang bisa kutempuh menuju tujuan begitu lempang dan sangat jelas rambu-rambunya.
Hal lain yang benar-benar menjadi masalah utama bagiku adalah soal kebebasan. Di Annuqayah (dulu) aku, atas nama kebebasan, sering memberontak terhadap peraturan yang disusun pengurus, bahkan kyai, yang aku anggap membatasi kebebasan. Tapi sekarang, betapa rindunya aku akan tali kekang itu. Kebebasan yang kudapatkan di Jogja lebih sering menggelisahkan dari pada menyenangkanku. Kebebasan itu lama kelamaan menjelma hantu yang terus menggoda, dan pada tahap tertentu menjadi berhala yang membelenggu.
Kebebasan yang paling meresahkanku adalah soal interaksi laki-laki dan perempuan. Di Annuqayah (dulu) aku menyimpulkan perempuan sebagai makhluk yang penuh paradoks. Dia adalah simbol keindahan sekaligus larangan; cinta sekaligus birahi; inspirasi sekaligus godaan; lemah gemulai sekaligus diktator yang otoriter. Peraturan pesantren menetapkan bahwa berpacaran dan segala bentuk hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan selain bekal atau binih adalah bentuk pelanggaran paling berat. Sebab, selain menjurus kepada zina, hubungan ini bisa menjadi penghambat pendakian para santri dalam menuntut ilmu.
Dulu, aku sering penasaran, kenapa kalau pacaran dilarang tetapi praktek homoseksualitas dibiarkan bebas? Sebenarnya apa yang ditentang peraturan itu? Apakah dorongan seksual atau hubungan cinta di luar norma masyarakat? Buktinya, peraturan begitu longgar memberi kesempatan sepasang bekal bertemu di pos keamanan santri puteri. Tetapi aku diam saja dan mematuhi peraturan itu apa adanya. Mungkin karena waktu itu aku begitu introvert terhadap perempuan. Pernah aku tergoda untuk menyalurkan syahwat kepada seorang muyek yang kata beberapa teman termasuk kwalitas terbaik. Muyek itu pun sudah setuju dengan imbalan yang aku tawarkan. Namun, pada saat-saat akan memulai, tiba-tiba hasratku lenyap. Sampai saat ini aku tetap berpandangan bahwa inilah tradisi paling bodoh dan tidak manusiawi yang pernah dilahirkan oleh pesantren.
Di Jogja aku mulai mengenal perempuan. Semakin hari semakin dekat dan pandanganku tentangnya mulai bergeser. Setahun kemudian aku mencoba berpacaran. Bukannya puas, aku malah semakin kehausan. Setiap beberapa bulan aku berganti pacar. Aku membayangkan diriku seekor burung yang baru dilepas dari sangkar. Aku kini bebas menentukan sendiri apa yang akan aku lakukan. Toh, aku masih berjalan di atas norma. Tentunya norma yang masuk akal menurutku dan sejalan dengan rasionalitas dan pandangan kritis yang aku anut sekarang. Bagiku, perempuan bukan setan. Dia adalah simbol keindahan sekaligus pelengkap bagi laki-laki. Kehadirannya justru akan melengkapi ke-aku-anku. Dia juga bukan penghambat jalan keilmuwan yang kutempuh. Sebab, dia justru menjadi sumber inspirasi dan teman seperjalanan yang asyik dan tak membosankan. Sampai saat ini, kami masih manusia dan memegang erat-erat kemanusiaan kami. Tak pernah sedetik pun kami membiarkan setan mengubah kami menjadi hewan. Karena bagiku, cinta adalah simbol kesucian.
Akan tetapi, tetap saja ada yang kurasakan hilang dari diriku. Seringkali aku merasa suntuk dan gelisah memikirkan keberadaanku di kota ini. Apa yang selama ini kudapatkan, mulai dari hiruk pikuk wacana, nilai akademik, dunia jurnalistik, relasi, kebebasan, perempuan, demonstrasi jalanan, pengakuan publik, ke-liberal-an, komunitas-komunitas baru, sampai pengalaman berkesenian dan kesusastraan, terasa hambar. Seringkali aku kebingungan mencari pegangan untuk memberi makna dan nilai pada semua itu. Namun, justru menjadikannya sekadar tempelan yang tidak menjiwa dan meraga. Aku seperti kehilangan identitas, dan tidak tahu cara menemukannya kembali. Masa depan seakan mengabur, dan semakin jauh dari jangkauan cita-citaku.
Dalam kondisi demikian, ingatanku terbang ke masa lalu. Aku benar-benar merindukan saat-saat di Annuqayah (dulu) di mana waktuku hanya dipacu oleh ibadah dan ngamri barakah. Aku rindu berjamaah pas di belakang kyai. Aku rindu pengajian ihya ulumiddin dan tafsir jalalain. Aku rindu bentakan kyai setiap kali aku salah membaca kitab suci. Aku rindu ziarah ke makam Kyai Syarqawi, Kyai Ilyas, Kyai Sajjad, Kyai Amir, Kyai ‘Ashim. Aku rindu tahajjud dan mengaji yasin dini hari. Aku rindu menanak nasi di kastol dan gurihnya terong bakar. Aku rindu mandi di jedding raksasa dan berendam di sumber Daleman. Aku rindu setiap detik, menit, jam, waktu yang pernah aku alami sebagai santri.
Ingin rasanya aku menjadi santri lagi. Tetapi, di Jogja tidak aku temukan pesantren yang bisa mengisi kekosongan Annuqayah di hatiku. Selain itu, pola hidup dan berbagai kebiasaan baru telah meresap sedemikian rupa, sehingga pandanganku tentang pesantren juga berubah. Lalu, aku berjumpa dengan sebuah tulisan Gus Dur tentang pola relasi kyai-santri di dalam tradisi pesantren. Aku pun menjadi tenang dan keputusasaanku perlahan-lahan hilang. Sebab, kata Gus Dur, di dunia pesantren tidak pernah dikenal istilah mantan santri atau mantan kyai. Hubungan kyai-santri adalah hubungan yang akan terus melekat sampai akhirat kelak. Seorang santri, ketika sudah keluar dari pondok, entah untuk tujuan studi atau terjun ke masyarakat, akan terus mengemban amanah kesantriannya dan menyandang nama kyai sebagai gurunya. Meskipun seandainya setelah itu tidak pernah terjadi kontak fisik, secara batin sang kyai sebenarnya terus menyertainya lewat doa dan barakah yang terus mengalir. Begitu juga sang santri bisa dikatakan sudah sowan jika setiap saat memegang teguh ajaran kyainya dan tidak lupa berkirim al-fatihah dan doa. Jika sang santri sampai akhir hayatnya tetap berpegang teguh kepada ajaran kyainya, di akhirat kelak dia akan berkumpul di satu tempat bersama sang kyai.
Jadi, aku sekarang masih santri di antara puluhan ribu santri Annuqayah yang tersebar di berbagai penjuru tanah air ini. Aku yakin, jika mengingat betapa sayangnya kyai kepada para santrinya, doa dan barakah kyai masih mengalir dalam diriku. Meskipun dalam beberapa hal aku telah melenceng dari ajaran kyai. Meskipun beberapa teman meledekku dengan sebutan santri liberal dan kyai mengharamkannya. Meskipun, sampai saat ini aku belum mampu mewujudkan harapan kyai. Aku juga yakin kyai akan memaafkan berbagai keteledoran dan pelanggaranku, sebagaimana beliau lakukan dulu.
Garansi yang aku miliki adalah saat terakhir beliau melepas kepergian kami. Beliau memerintahkan kami untuk terus menuntut ilmu dan jangan pernah berhenti berproses. Rambu-rambu yang harus tetap dijadikan patokan adalah ahlussunnah wal jama’ah. Jadi, apapun yang aku alami saat ini adalah bagian dari proses. Sebuah riyadlah dalam thariqah yang panjang menjalankan amanat kyai menuju ridla dari Yang Maha Suci. Bagiku, sekali menjadi santri, status ini akan terus melekat abadi. Dalam kamusku, kata alumni sudah lama aku hapus. Alumnus atau alumni hanyalah status formal untuk membedakan santri yang masih di pondok dengan yang sudah keluar. Sampai saat ini peganganku hanya satu, yaitu doa terakhir yang dititipkan kyai kepada dan untuk kami, dan sampai saat ini masih aku baca setiap selesai shalat. (Aku pernah mengalami masa-masa ketika shalat terasa tidak memberi dampak apa-apa, sehingga untuk beberapa waktu aku tidak shalat. Sekarang masa-masa itu telah berlalu, yang anehnya, bersamaan dengan semakin banyaknya orang mengecap aku muslim liberal). Dulu, kyai membaca doa ini berulang-ulang sampai tiga kali, dengan begitu khusyu’ dan suara yang bergetar :
Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana
wa hab lana min ladunka rahmah
innaka anta al-wahhab
Tuhanku, janganlah Kau simpangkan hatiku setelah Kau memberiku petunjuk
Dan anugerahkanlah RahmatMu kepadaku
Sesungguhnya Kau Maha Pemberi.
Jogja, 11 Ramadlan 1428 H
(Alumni Annuqayah 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar