Kamis, 08 Januari 2009

Di Pinggir Paris (Parangtritis)

Oleh: Iswatul Khairah*

Dua puluh tahun seperti tak terasa. Aku berada di pinggir pantai Paris lagi, akhir musim kemarau yang sama. Langit sore yang sama. Kemilau riak-riak air yang sama. Hanya kali ini ada tempat duduk yang berjejer rapi di kejauhan pantai. Dua puluh tahun yang lalu, ketika kami berlarian di pinggir pantai tanganku dalam genggamannya yang hangat–sore yang berlangit jingga itu–tempat duduk itu belum ada di sana. Tapi yang lainnya nyaris tak berubah. Kuda untuk ditumpangi para pengunjung, cafe, tempat dulu kami makan sambil tertawa juga masih ada (bahkan kursi kayu dekat pintu masukpun masih seperti dulu), kapal-kapal masih saling laju membelah permukaan pantai, para penjual rujak juga masih berjualan dengan gerobaknya, dan di sana-sini segerombolan Turis dari belahan dunia, masih sibuk dengan kamera digitalnya masing-masing. Semua warna, kultur, dan keanekaragaman mewarnai sepangjang pinggir pantai itu. seperti miniatur sebuah dunia kecil.

Setiap langkah yang kujejaki sejak keluar dari Shapir Square lalu menyusuri Malioboro dan naik bis kota menuju Paris bagai memutar kembali waktu.

Setapak demi setapak, usiaku kian menyusut, rona muka kembali mewarnai raut wajahku, dan debar-debar yang telah lama kulupakan kembali menari di jantungku. Lalu aku kembali melihat dia yang menjadi awal debaran itu-rambut ikal, mata bulat, aroma tubuhnya, suaranya, sentuhannya, ciumannya...

“Maukah kamu menjadi pacarku?” waktu itu tiba-tiba ia bertanya ditengah-tengah kami berjalan di sepanjang pantai Paris. Ia pasti sedang bercanda. Aku menoleh dan melihat ia tersenyum. Umurku enam belas tahun waktu itu. Itu hari-hari terakhirku di Jogja. Besok lusa aku akan ke Bandung mengikuti Ayah yang pindah tugas. Tanpa berhenti melangkah dan tanpa berpikir, aku tertawa dan menjawab, “Ia!”.

Setelah itu kami menjadi sepasang kekasih paling bahagia di Paris, di Jogja, bahkan di sekuruh jagad raya sore itu.

Aku belum pernah bertemu dengan pemuda seperti dia sebelumnya. Umurnya delapan belas tahun, seorang pelajar. Dan penulis. “Aku menulis untuk memberi tahu orang lain tentang apa yang aku pikirkan dan tidak untuk aku nikmati sendiri”. Begitu yang dikatakannya ketika kami pertama kali berkenalan di rumah seorang teman- dua minggu sebelum kepergianku.

Ketika ia meminta nomor teleponku, aku bilang padanya bahwa aku akan pindah. Mungkin tak kembali. Tapi ia tak peduli. Malam itu juga, ia menelepon tepat ketika aku mulai mengepak barang-barangku ke dalam koper “Kamu punya waktu untuk bertemu denganku sebelum berangkat?” tanyanya di akhir percakapan. Aku tahu jatuh cinta padanya hanya akan membawa masalah, tapi aku menjawab, “Baiklah, aku akan menemuimu”.

Dan benar, aku jatuh cinta padanya. Aku tak tahu kapan. Mungkin ketika aku melihatnya sedang berdiri menungguku di depan rumah, atau ketika ia pertama kali menggenggam tanganku ketika kami menyeberang jalan sehabis pulang sekolah, atau ketika ia menunjukkan buku sketsa tulisannya yang penuh dengan coretan, atau ketika ia memainkan gitar untukku, atau ketika ia menciumku selepas dari Paris “Aku mencintaimu”. Ucapnya. Tapi tanpa katapun, ia sudah tahu jawabanku.

Tuhan, aku ingin berteriak, mengapa baru sekarang aku dipertemukan dengannya? Sedangkan kami satu sekolah selama tiga tahun, tapi tak pernah kutemui ia. Tuhan tak menjawab, Ia hanya mengirimkan langit sore paling indah yang pernah aku lihat di sepanjang hidup pada hari terakhirku bersamanya. Langit jingga seperti dalam dongeng Barbie, kesukaanku. Ketika temaram mulai turun menyelimuti kota, kami berhenti di Cafe untuk duduk dan minum.
Di ufuk barat, langit merah muda itu pelan-pelan memudar sampai akhirnya yang tersisa hanyalah sapuan kelabu di langit.

“Kamu betul-betul akan pergi besok?” tanyanya sekali lagi.
Aku mengangguk. Tapi aku tahu sebagian hatiku ikut mati bersama selesainya hari itu.

***
Ia sudah menungguku di depan Cafe di Paris.


Aku tak percaya ternyata aku bisa langsung mengenalinya lagi dengan mudah. Setelah sekian tahun lewat dan disemua jubelan manusia, ia tetap menjadi satu-satunya titik fokus penglihatanku. Dan ia nyaris tak berubah setelah dua puluh tahun. Hanya lebih sedikit ada guratan kedewasaan di wajahnya. Rambutnya dipotong lebih pendek.

“Hai” ia tersenyum ketika melihatku berjalan ke arahnya. Ia masih setampan dulu. Wanginyapun masih sama. Masa lalu dan masa kini seolah tumpang tindih dalam kuwantum waktu yang berantakan. Air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Dan seperti dulu, ia masih tetap diam ketika melihatku menangis.

“Sudah lama sekali sejak terakhir aku melihatmu” aku ingin tertawa dan menangis sekaligus.”Apa kabar?”

“Baik”, katanya. Dua puluh tahun seolah terangkum kembali dalam satu kata yang singkat itu.”Bagaimana kalau kita bicara di dalam sambil minum jus alpukat kesukaanmu?” Ia berjalan mendahuluiku untuk membukakan pintu. Aku ingat dulu ia tak suka minum jus.

***
Dua puluh tahun lalu ketika kami berpisah di Terminal Jogja, ia berjanji akan datang ke Bandung. Menemuiku.

“Kapan?”

“Segera”

Aku menuliskan alamatku di Bandung di atas selembar tissue yang sempat kuambil di toilet tapi tidak terlalu berharap. Ia mengantarku sampai ke gerbang chek in dan aku menangis karena mengira tak akan pernah melihatnya lagi. Nyatanya ia benar-benar datang ke Bandung pada liburan sekolah. Kami menghabiskan waktu dengan nonton. Ia tidak begitu suka Bandung.

“Mengapa kamu tidak ikut kembali ke Jogja saja denganku?” tanyanya seperti biasa tanpa mempedulikan keadaanku.

Tapi aku memikirkan Ayah dan Ibu. Mereka tidak terlalu suka padanya. Karena ia berbeda agama. Mama bahkan tidak mengizinkan aku membawanya ke acara ulang tahun Chika, ponaanku. “ Kamu jadi bahan pergunjingan di keluarga besar kita?” tanya Ibu hati-hati. Sebetulnya aku tidak keberatan. Tapi Ibu jelas tidak suka. Akhirnya aku mengalah dan meninggalkannya di Bandung sendirian.

“Mereka tidak menyukaiku karena agama kita berbeda kan?” Tanyanya.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Mungkin orang tuamu juga tidak akan suka kalau mereka tahu kamu berkencan denganku”.

“Ibuku boleh bicara apa saja tentang kamu tapi pada akhirnya ia harus menghormati pilihanku”.

“Itu kamu, itu di sana. Di sini lain. Aku tak mungkin membantah mereka seperti itu”.

Ia merengut, “Kamu berubah, tidak seperti yang ku kenal dulu. Apa yang bisa aku lakukan selama kamu tidak ada?”

Tapi pada akhirnya ia datang ke Bandung. “Aku kira kau tidak suka kota ini”, kataku ketika menjemputnya di Station. “Memang. Tapi aku suka kamu”, ia menjawab persis seperti yang ku inginkan.

***
Kami duduk di tempat yang sama dan aku memesan minuman yang sama di Cafe itu seperti terakhir aku di Jogja dua puluh tahun yang lalu. Jus alpukat memang paling enak. Tapi ia benar-benar minum jus sekarang.

“Aku kaget sekali waktu kamu tiba-tiba menelpon kemarin dan mengajakku menemuimu di sini”. Katanya. “Aku pikir kamu tidak akan pernah kembali ke Jogja lagi”.

“Aku menemani suamiku. Ia sedang menjadi pembicara konferensi pergerakan mahasiswa di salah satu Universitas di Jogja”.

“Jadi kamu menikah. Sudah berapa lama?”

“Tiga tahun”

“Punya anak berapa?”

“Satu. Perempuan”.

“Di mana dia sekarang?”

“Aku tinggal. Ia sedang tidur saat aku pergi tadi”

“Aku ingin melihatnya. Apakah ia mirip denganmu?”

“Kata orang ia lebih mirip Ayahnya dari pada denganku. Entahlah aku tak begitu paham tentang hal itu”. Kataku sambil tersenyum.

Ia ikut tersenyum, “Aku bahagia semua berjalan lancar dalam hidupmu”

By the way, bagaimana denganmu, masih tetap nulis?”
ia menggeleng. “Aku berhenti. Kurasa aku telah kehilangan inspirasi untuk menulis. Mungkin ini ada hubungannya denganmu. Atau mungkin karna aku takut...”

“Takut?”

“Ya, karena banyak sekali penulis besar ternyata menderita gangguan mental. Sylvia Plath contohnya. Ini sebuah fenomena universal lintas budaya bahwa penulis di manapun kebanyakan tidak bahagia”

“Tidak semua penulis mengalami hal itu”.

“Memang tidak. Biasanya mereka yang benar-benar jenius. Aku tidak tahu apakah para penulis itu gila karena mereka terlalu banyak menulis atau sebaliknya. Justru mereka menulis sebuah karya yang luar biasa karena mereka gila.”

Aku tertawa, “Dua-duanya sama sekali bukan pilihan yang bagus. Apakah karena itu kamu memilih berhenti menulis?”

“Aku hanya ingin lebih bahagia.” Ia tersenyum. “Ya, kita sama-sama sudah banyak berubah”. Dia benar tapi aku benci mengakuinya.

“Kota ini juga berubah,” kataku, ”dua puluh tahun yang lalu, tempat duduk itu tidak ada di sini”.

“Itu hanya sebuah bentuk kepedulian masyarakat sekitar pada pengunjung, selebihnya untuk memperindah Paris”.

“Apakah kamu selalu ke sini?”

Ia tertawa, “Aku? Tentu saja tidak. Itu sangat kekanak-kanakan. Hanya turis dan pelancong yang menikmati panorama Paris.”

“Aku ingin sekali lagi menikmatinya,” kataku pelan.

“Apa?”

“Sekarang, anggap saja aku turis.”

Ia tertawa, “Baiklah, kalau kamu mau, tentu saja aku akan menemanimu.”

Kami meninggalkan Cafe. Ia menggenggam tanganku, membawaku bergabung dengan turis.

Jantungku hampir berhenti berdetak dan lututku gemetar. Jadi seperti inilah rasanya genggaman tangannya. Seperti inilah berjalan menyusuri pantai Paris dua puluh tahun yang lalu. Seperti inilah rasanya cinta yang pernah kumiliki. Aku sudah lupa bahwa cinta itu ternyata begitu indah.

***
Dulu, waktu aku masih terlalu naif, aku berpikir cinta bisa mengatasi segalanya. Tapi ternyata aku salah. Cinta saja tidak cukup. Selain jarak yang memisahkan aku dan dia, ada jarak yang terlalu sulit untuk di seberangi. Bahkan oleh sayap-sayap cinta.

“Bagaimana ia bisa masuk ke dalam keluarga kita? Ia benar-benar berbeda.”

“Kalau kamu pindah, siapa yang akan mengurus Ayah dan Ibumu?”

“Apa kamu juga akan berpindah agama?”

“Kami bukan melarang atau sok pintar. Tapi karena kami sayang kamu.”

Dan aku benci mengakui bahwa mereka benar. Semuanya benar.

“Ini tidak akan berhasil.” Kataku beberapa bulan setelah kedatangannya ke Bandung.

“Kalau begitu, sebaiknya kita putus,” jawabnya. “Tapi tolong ingat, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.”

Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan luka di hatiku sebelum akhirnya aku siap membuka cinta yang lain, walau tidak pernah sama dengan yang pernah terjejak di Paris.

***
“Aku harus pulang.” Kataku sambil melihat jam tangan. “ Sebentar lagi suamiku akan pulang dari konferensi. Aku tak mau ia khawatir.”

“Aku akan menemanimu menunggu bis. Sampai kapan kamu di Jogja?”

“Besok aku akan kembali ke Bandung”

Ia tersenyum, “Sepertinya kita memang di takdirkan untuk selalu bertemu pada saat-saat terakhir.”

“Sebenarnya aku sudah di Jogja sejak lima hari yang lalu. Aku ingin menghubungimu tapi aku baru mempunyai keberanian melakukannya kemarin. Aku takut walau aku sendiri tidak tahu apa yang aku takutkan.”

Aku berbohong!

“Tidak apa-apa,” katanya. “Sebetulnya aku juga sedikit tegang waktu aku menemuimu tadi. Hampir saja aku memutuskan tidak datang.”

“Sampai begitu?” Aku tertawa. “Aku tidak seperti hantu kan?” Ia ikut tersenyum.

“Aku akan naik bis dari sana,” ia berhenti dan memandangku.

“Jaga dirimu baik-baik. Salam buat suami dan anakmu.”

“Pasti. Bagaimana dengan dirimu? Sebetulnya aku mau menanyakannya sejak tadi. Apakah kamu juga sudah menikah sekarang?”
ia menggeleng.

“Tidak?”

“Tidak. Karena kamulah satu-satunya perempuan yang pernah aku cinta. Aku tidak pernah mencintai orang lain selain kamu.”

Aku terpana.ada sakit yang tiba-tiba menyayat dari hati. Sakit sekali. Seperti tikaman. “Maukah kamu menjadi pacarku?” tanyanya waktu itu. “ Ya!” aku menjawab sambil tertawa. Lalu kami berlari-lari seperti kebanyakan anak muda yang sedang jatuh cinta dan aku tahu aku tidak akan pernah mencintai orang lain seperti aku mencintainya.

Andaikan...

Andaikan kami pernah memberi kesempatan pada cinta itu.

Aku nyaris tidak mendengar ucapan selamat tinggalnya ketika ia memelukku erat-erat sebelum berjalan menjauh dari bis. Aku ingin berlari mengejarnya tapi aku sudah terlambat dua puluh tahun dan kakiku tak kuasa bergerak.

Di barat, langit jingga perlahan mulai memudar.

(Alumni Annuqayah 2007)

Tidak ada komentar: