Bicara tentang identitas memang membuat gerah. Tidak sedikit orang yang dikecewakan hanya sekedar karena sebuah identitas. Bahkan tidak jarang, persoalan identitas ini justru mengarah pada tindak kekerasan. Mengapa sesuatu yang “sepele” seperti identitas ini menjadi sangat rentan?
Tidak kurang seperti Amin Maalouf, seorang kelahiran Libanon yang kemudian pindah ke Prancis, yang merasa gerah dengan tindakan-tindakan yang mengatas-namakan identitas. Pengalamannya setelah hidup di Prancis selama 30 tahun mengajarkan kita bahwa sentimen identitas tidak pilih kasih; ia bisa menjangkiti masyarakat semodern Prancis. Bahkan berbahasa Arab pun pernah menjadi pemicu pengalaman buruk baginya dan orang-orang “seidentitas” dengannya, baik secara social maupun secara psikologis. Pengalamannya ini mendorong dia untuk mengatakan bahwa persoalan identitas itu seharusnya diperjelas dulu, sehingga orang akan —setidaknya— berhenti memangdangnya secara kaku.
Bagi Maalouf, sebagaimana tertuang dalam bukunya In the Name of Identity, identitas seseorang tidak pernah dimilikinya secara baku, tetap, dan linier. Ia selalu mengalami goncangan dan perubahan akibat dari proses sosial, antropologis, psikologis, atau bahkan ekonomis dan politis. Jadi, jawaban dari pertanyaan “siapakah aku?” selalu datang dari luar diri kita, dan kita hanya menerima dan membenarkannya. Pada saat tertentu, ketika kita menyalahkan dan menghindari jawaban itu, kita lalu menjadikannya si “bukan aku”. Begitulah watak identitas. Bahkan sebuah nama pun, yang sejak lahir ke mana-mana kita sandang, merupakan pemberian orang lain.
Masalah semacam identitas ini sebenarnya adalah masalah lama yang kemudian diberikan makna-makna baru oleh orang-orang semacam Amin Maalouf. Orang-orang semacam Maalouf ini adalah orang-orang dari negeri “terpendam” yang bermigrasi ke negara-negara yang lebih besar untuk tujuan tertentu. Edward Said dan Gayatri Spivak bisa digolongkan sebagai orang-orang seperti ini; orang-orang dengan identitas olahan dan acak, atau lebih pasnya hibrid.
Dan bisa dimaklumi kenapa ide-ide yang mereka lontarkan cukup bernuansa postkolonial, mengingat “negeri-negeri terpendam” mereka tengah mengalami keterjajahan gaya baru. Mereka mewakili para petualang yang bersuara dan menulis tentang negeri atau rumah mereka dari negeri seberang, sehingga tidak heran kalau bahasa mereka adalah bahasa negeri seberang, walaupun dengan logika yang baru tentunya: logika postmodern. Membahasakan negeri mereka dengan logika yang lama amatlah tidak mungkin karena justru logika itulah yang telah membenarkan penjajahan terhadap rumah mereka. Jangankan berbicara, dengan logika lama itu mereka malah sama sekali tidak dianggap sebagai manusia.
***
Kehibridaan semacam Maalouf —dan dua rekannya itu— inilah, menurut penulis, yang tengah dihadapi oleh para alumni Annuqayah, di Yogyakarta khususnya, dan di daerah-daerah lain umumnya. Di satu sisi mereka teridentifikasi sebagai anak desa yang mencoba belajar dan menantang hidup di kota. Tapi di sisi yang lain, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang desa sepenuhnya, mengingat ada beberapa hal yang sudah “terkikis” atau (dalam bahasa yang lebih netral) bertransformasi dari mereka.
Dengan kata lain, mereka mengalami kondisi hibrid, kondisi “kawin silang” dengan budaya di luar Annuqayah. Kondisi ini tidak merusak tatanan identitas yang sudah ada sebelumnya, melainkan mengalami pengayaan dengan cara sedemikian rupa. Sehingga, bisa kita amati bagaimana mereka mengalami pengayaan diri dalam banyak hal; ada yang suka menulis, berorganisasi, menggeluti dunia sastra, aktif di LSM, akademisi, politikus, dan ada sebagian yang berprofesi atau bekerja sambilan. Dalam aspek intelektual, tentu mereka juga mengalami pengayaan melalui kontak atau dialog mereka dengan wacana terkini.
Namun, kondisi hibrid semacam ini bukan malah menjadikan mereka makhluk yang sama sekali lain, karena “terkikis” bukan berarti berubah sepenuhnya. Apa yag terkikis dari mereka hanya sebagian dari diri mereka. Sehingga tidak mengherankan bila beberapa kegiatan yang mereka lakukan juga masih mencerminkan diri mereka yang sebagian itu. Tahlilan, Yasinan, mendo’akan masyayikh, dan lain-lain masih menjadi rutinitas dalam setiap pertemuan mereka. Bahkan tidak jarang, mereka yang suka menulis di media massa-media massa menyebutkan diri mereka sebagai alumnus Annuqayah. Ini membuktikan bahwa identitas mereka masih sebagian Annuqayah, dan ada rasa ingin menunjukkan ke orang luar bahwa mereka adalah Annuqayah.
Demikianlah, keberadaan para alumni itu bergelut dengan dunianya yang berubah-ubah, sehingga amat tidak mungkin menyatakan mereka sebagai seseorang yang esensial Annuqayah dan dilematis pula mengidentikkan mereka secara esensial sebagai non-Annuqayah, orang kota atau orang Yogyakarta. Dalam kondisi seperti itu, hukum identitas dan non-kontradiksi Aristotelian tidak berlaku lagi. Bahkan, dengan meradikalkan ketidak-berlakuan itu, Maalouf menyatakan justru hukum itu sendiri sesungguhnya tidak ada. Artinya, tidak pernah seseorang mengalami identitas yang tunggal dan tetap. Di samping itu, identitas itu sendiri juga tidaklah given, ada dengan sendirinya sejak kita lahir, melainkan terbentuk dalam kontak kita dengan dunia luar.
Membayangkan bahwa mereka sepenuhnya berubah sejak keberangkatan mereka ke Yogyakarta tentu adalah bayangan yang salah kaprah. Dan begitu pula sebaliknya, mengabaikan dialog dan negosiasi mereka dengan dunia Yogyakarta juga merupakan sikap yang kurang arif. Biar bagaimana pun, kontak mereka dengan dunia luar membutuhkan proses negosiasi dan pemaknaan yang tidak sederhana. Sehingga tidak mungkin kita mengingkari kenyataan bahwa proses itu juga berpengaruh terhadap pola pikir yang mereka miliki sebelumnya.
Jadi sebenarnya, ketika kita memahami identitas dengan demikian maka sudah tidak perlu lagi kita mengkontraskan antara identitas yang dianggap Annuqayah dan identitas yang dianggap non-Annuqayah. Tidak ada lagi label semacam kota-desa, tradisional-modern, liberal-konservatif, dan lain-lain. Karena ternyata, kedua identitas itu tidak saja ada di dunia ini, tapi juga bisa berada dalam satu orang. Inilah pengayaan itu; sebuah proses di mana mereka tidak terbentuk hanya melalui penerimaan atau konsumsi saja terhadap dunia yang sekarang mereka geluti, melainkan juga ada peran yang dimainkan oleh mereka sebagai subjek. Ini di satu sisi.
Di sisi yang lain, memang perlu diciptakan sebuah keadaan di mana mereka merasa harus berkontribusi terhadap ke-Annuqayah-an mereka. Dan saya kira, inilah pentingnya sebuah perkumpulan untuk para alumni itu. Karena dengan perkumpulan semacam itu, akan terjadi pemupukan terhadap rasa ke-Annuqayah-an mereka, tanpa harus menafikan kontak mereka dengan dunial yang selain Annuqayah.
(Alumni Annuqayah, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar