Senin, 19 Januari 2009

Identitas, Batas, dan Perang

Oleh Muhammad Al-Fayyadl*)

Tiap kali mendengar Palestina kembali bergolak, ingatan saya menerawang kembali ke sebuah sore di tahun 1997, ketika saya, di sebuah perpustakaan yang pengap di sekolah menengah pertama dulu, membaca selembar puisi karya Mahmoud Darwish, penyair Palestina. Puisi itu saya temukan dalam sebuah edisi lapak jurnal Index On sensorship, sebuah jurnal yang memuat karya-karya pengarang eksil dari seluruh dunia. Saya lupa judulnya. Tapi, sore itu saya tercekam sendirian. Sebagaimana hari ini, banyak orang-orang tercekam.

Darwish bercerita tentang kepedihan para pengungsi Palestina. Saya lupa detail-detail dalam tulisannya, tapi dengan jelas,terbayang banyak hal di sana; tentang orang-orang terusir, tentang negeri yang hilang, dan sebuah bangsa yang masih gelap menghadapi masa depannya.



Palestina memang sebuah ironi di zaman modern ini. Ketika negara-negara di seluruh dunia telah mengumumkan deklarasi kemerdekaannya, juga ketika kemerdekaan telah menjadi hak yang dijamin oleh konstitusi internasional, Palestina tak kunjung menikmati itu semua. Negara ini masih terengah-terengah mengejar impiannya untuk merdeka di tengah dunia yang terbelah antara simpati dan benci, antara peduli dan ambisi.

Palestina menjadi perkecualian dari “politik” modern yang mengutamakan asas rasionalitas, demokrasi, dan apa yang disebut sebagai kebebasan. Di Negara ini, rasionalitas masih berhimpitan dengan emosi; demokrasi tertekan karena perselisihan selalu berujung dengan senjata, dankebebasan belum sempat tercecap karena orang masih berjuang memenuhi kebutuhan makan dan minum.

Apa yang agung dalam “politik” menjadi problematik yang serius ketika kita bicara tentang Palestina, Israel, dan Yerussalem. Di negeri di mana agama, politik, ras, dan golongan besatu-padu dalam satu gumpalan sentimen yang kabur, dengan kata lain, “politik” bukan lagi tentang perebutan suara dan kepentingan—seperti kita di sini. Di sana, politik adalah soal identitas, soal harga diri, sekaligus juga soal emasipasi.

***

Di Tanah Yerussalem, semua pergolakan itu bermula dari rasa kalah dan kekecewaan akan yang asing.

Kira-kira ratusan tahun lebih sebelum Masehi, kerajaan-kerajaan Yahudi di Timur Tengah berdiri dengan megahnya. Imperium mereka diperhitungkan sebagai satu di antara yang terbesar saat itu selain Romawi dan Persia. Namun, 135 Masehi, semua kebesaran itu lambat laun mulai goyah. Imperium Yahudi satu persatu takluk, dan persis pada tahun itu juga, Romawi mengusir umat Yahudi dari Yerussalem dan menawan mereka menjadi budak. Kalah dan terdesak, tak ada pilihan lain bagi mereka selain menjadi pariah. Sejarah diaspora—keterceraiberaian umat Yahudi dari tanah asalnya—barangkali dimulai dari sati itu.

Romawi menamai jajahan barunya “Palestina”, Tujuh abad lebih mereka berkuasa, sampai di abad ke-17 Masehi, sebuah bangsa baru yang datang dengan agama “baru”, bangsa Arab dengan Islam-nya, menyerang Palestina dan merebutnya dari tangan Romawi. Mulai saat itu, ada tiga identitas yang muncul; “Yahudi”, “Kristen”, dan “Arab-Islam”. Ada Yahudi, yang semula berkuasa namun digeser oleh Romawi yang Kristen; kemudian Romawi yang berkuasa namun digeser oleh Arab-Islam.

Pada gilirannya kemudian, kita pun tahu apa yang bergolak di sana. Paus Urbanus II mengumumkan titahnya dari Clermont untuk merebut Yerussalem dari tangan kaum Muslim. Dan pada awal milenium pertama, 1095 Masehi, Perang Salib pun dimulai.

Sebuah perang yang panjang dan melelahkan, selama lebih 200 tahun lamanya, dengan korban dan tumbal yang tak terhitung banyaknya, Perang Salib tak mampu sepenuhnya meruntuhkan kekuasaan Arab di tanah Yerussalem. Tanah ini, bak piala bergilir, jatuh dari satu kerajaan Arab ke kerajaan Arab lainnya, sampai pada awal abad ke-15 menjadi provinsi penuh di bawah otoritas Turki Utsmani.

Di masa yang panjang itu ada satu kelompok yang absen dari panggung, dan hanya menjadi bagian kecil yang selalu dipandang remeh dan tak penting; Yahudi. Umat ini dilihat hanyalah sekelompok minoritas kecil yang terlalu lemah. Sementara, di atas panggung, dua imperium besar—“Kristen” dan “Islam”—bertarung, dan Yahudi hanyalah aktor bayangan yang kadang perlu ada, dan lebih sering dianggap tak perlu.

Namun berabad-abad, rasa kalah itu tak pernah menghilang. Seperti menunggu sang Juru Selamat yang diyakini akan tiba di kahir zaman, kaum Yahudi terus menunggu, menunggu, dan menunggu, sampai ada masanya, ketika sekelompok orang mencoba memasukkan sentiment politik dalam keyakinan agama mereka. Sekelompok orang Yahudi menggagas suatu ideologi yang mereka sebut “Zionisme”.

Sedikit retorita, sedikit mitos tentang leluhur, dan sedikit kerinduan untuk kembali ke kampong halaman, membuat ideologi ini memicu harapan baru bagi umat Yahudi. Tapi, harapan itu bukan harapan biasa. Di dalamnya terselip juga sentiment kepemilihan dan hak; menurut Zionisme, umat Yahudi berhak memiliki negara sendiri. Dan negara itu adalah tanah Israel.
Holocaust, pembantaian umat Yahudi secara gila-gilaan oleh Nazi, beberapa taun setelah ide Zionisme muncul, membuat sentiment itu dalam sekejap meluas di Eropa dan Timur Tengah, dan membangkitkan simpati pada negara-negara yang membenci Nazi. Puluhan ribu Yahudi dari Eropa Timur dan Yaman bermigrasi menuju Palestina dan menuntut suatu teritori yang sah.
Bagi Amerika, yag bersama sekutu memerangi Nazi, tuntutan kaum Yahudi sangat beralasan; mereka telah terlalu lama menderita, saatnya kini mereka mendapatkan hak mereka.

Gerakan Zinonisme, dipersenjatai peralatan militer yang modern, memperkeras tuntutan itu dalam agersi-agresi penuh kekerasan yang sasarannya adalah warga Arab di Palestina. Sejak itulah hingga kini, perang, di sela-sela gencatan senjata, terus berkecamuk. Berbagai kelompok dan faksi, baik yang militant maupun moderat, muncl dan menambah rumit jalan menuju perdamaian.

***

Politik dimulai dari identitas, dan di Tanah Yerussalem, identitas itu membentuk batas yang tegas. Ada kami yang “Yahudi” dan mereka yang “Muslim”. Ada kami yang “asli” dan mereka yang “pendatang”. Ada kami yang “berhak” dan mereka yang “tak berhak”.

Dan batas itu benar-benar bukan fiksi atau sekedar imajinasi dalam pikiran: di Palestina, sejak 1947, Israel telah membangun batas-batas teritorialnya, dan menjaganya dengan menara dan sepasukan serdadu. Sebuah peta yang dibuat oleh seorang anonym, dan belakangan disebarluaskan di internet, menunjukkan, warga Palestina serjak 1947, telah kehilangan hamper dua pertiga wilayahnya karena pendudukan Israel. Dan penggerusan wilayah it uterus berlangsung entah sampai kapan.

Lalu, siapa yang benar dan siapa yang salah? Siapa yang adil dan siapa yang zalim? Siapa yang baik dan siapa yang keji? Dan siapa korban dan siapa pelaku?—pertanyaa-pertanyaan ini tak mudah dijawab dengan tegas, karena di Israel, ada Yahudi yang ingin berdamai, sebagaimana di Palestina, ada Muslim yang ingin berperang. Tak semua Yahudi dapat dicap zalim, sebagaimana tak semua orang Muslim di Palestina juga dapat dicap zalim.

Di tanah Yerussalem, tak ada satu identitas yang pasti salah dan pasti benar. Dalam sebuah perang dan situasi konflik yang terus-menerus dihantui benturan identitas, apa yang dibutuhkan di sana sebenarnya lebih dari sekadar dialog dan negosiasi. Yang dibutuhkan,lebih dari sekedar perundingan politik di atas meja dan sekian negosiasi yang melelahkan dan selama ini terbukti gagal, barangkali adalah upaya baru untuk merelatifkan semua identitas yang ada.
Kita butuh suatu “politik” yang lain dalam konteks Palestina-Israel, yakni “politik pasca-identitas”, suatu pendekatan yang melihat kelompok lain bukan dari kacamata prasangka dan ancaman terhadap diri sendiri, tapi manusia yang berhak dihargai karena kemanusiaannya, dan bukan karena identitasnya.
Perang Palestina dan Israel sarat dengan muatan identitas agama, ras, dan golongan. Andai semua itu dapat sejenak dilupakan, dan andai mereka mau memulai hidup baru tanpa mementingkan berbagai identitas itu, perdamaian akan turun di bumi Yerussalem.***

*) Alumni Annuqayah Tahun 2002

[Disampaikan pada diskusi mingguan Ikatan Alumni Annuqayah, 15 Januari 2008]

Tidak ada komentar: