Rabu, 21 Januari 2009

Sebuah Tanya untuk Perdamaian Israel-Hamas?


Yogyakarta, IAA—Sudah banyak kalangan yang telah membahas persoalan pelik yang terjadi antara Israel-Hamas dan Palestina secara umum. Berlangsung sejak 27 Desember Israel terus melancarkan agresi militernya tidak hanya ke pusat-pusat pertahanan Hamas, melainkan juga pemukiman penduduk yang menewaskan sekitar 1300 jiwa lebih. Konflik ini mulai mereda setelah kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata yang telah diinstruksikan oleh Dewan Keamanan (DK) PBB dan negara-negara dunia lainnya seperti Mesir yang menjadi salah satu tim mediasi.
Pada haris Kamis malam (15/01), Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus telah mendiskusikan berkenaan dengan konflik yang tidak kunjung menemukan solusi yang benar-benar bermuara. Bertempat di Basecamp IAA DIY, diskusi dihadiri oleh sekitar 25 orang yang rata-rata mahasiswa menghasilkan berbagai perspektif kajian yang begitu alot. Kali ini, teman-teman merasa cukup antusias sebab tema yang dibincang bukan hanya sebatas hal yang dianggap up to date seperti diskusi sebelumnya, melainkan langsung menggugah dan mengetuk nurani kemanusiaan mereka. Konflik itu menyahat hati dan tidak prematur lagi untuk mendapat gugatan.


Salah satunya gugatan itu dikemukakan oleh Mohammad Al-Fayyadl selaku penyaji yang saat ini masih studi di Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Al-Fayyadl dengan ulasan yang cermat membidiknya dari kerangka historis bahwa pemicu munculnya pertentangan yang selalu berakhir dengan tangis dan pertumpahan darah ini, diakibatkan oleh conflict of interest. Konflik yang dimaksud adalah bermula dari problem pengukuhan identitas yang terlalu berlebihan. Menurutnya, seperti yang ditulis dalam esainya yang berjudul Identitas, Batas, dan Perang; Apa yang agung dalam “politik” menjadi problematik yang serius ketika kita bicara tentang Palestina, Israel, dan Yerussalem. Di negeri di mana agama, politik, ras, dan golongan besatu-padu dalam satu gumpalan sentimen yang kabur, dengan kata lain, “politik” bukan lagi tentang perebutan suara dan kepentingan—seperti kita di sini. Di sana, politik adalah soal identitas, soal harga diri, sekaligus juga soal emansipasi.
Koflik Israel dan Palestina memang bukanlah persoalan sederhana. Peperangan ini bisa menjadi salah satu konflik terpanjang dalam sejarah. Sudah ribuan bahkan jutaan jiwa manusia melayang hanya karena persoalan yang belum jelas ujung pangkalnya. Jiwa-jiwa tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa banyak yang terkonbankan sia-sia. Saking lamanya perseteruan ini berlangsung banyak orang tua-tua yang sudah ubanan sejak kecil telah menikmati bunyi deru rudal yang memekakkan telinga. Tidak jauh dari kemungkinan yang sama, anak-anak Palestina yang lugu pada konflik yang terjadi sampai detik ini merasakan kecemasan yang sama. Dalam persepsi mereka hidup adalah kekerasan, hidup adalah menyaksikan roket yang beterbangan dan perlawanan.
Dalam setiap peperangan pastilah menyisakan pengalaman yang tidak mengenakkan bagi siapa pun. Pengalaman anak-anak Palestina, konflik pada saat ini bisa jadi adalah tugas yang belum selesai yang diwariskan oleh tetua-tetua mereka sebelumnya. Pejuang yang gigih mengibarkan bendera perjuangan hampir bisa dipastikan pernah menjadi korban di masa lalunya, baik langsung maupun tidak langsung. Pengalaman yang tidak mengenakkan ini tidak akan pernah hilang dalam hidup seseorang, apalagi setiap hari dicekoki oleh stimulus yang sama. Hal ini akan terus berlangsung jika tidak ada upaya untuk mengubah “mental set” kedua kubu yang saling bertikai.
Al-Fayyadl sendiri menyangsikan akan timbulnya perdamaian antara Israel dan Palestina jika hanya mengandalkan political approach. “Walaupun nanti Palestina sudah berdaulat secara teritorial maupun secara tertulis telah damai, perdamaian pun tidak akan pernah terwujud sebagaimana mestinya selama politik identitas masih kental. Kita harus melakukan pendekatan lain yaitu lewat penanaman nilai baru bagi generasi kedua belah pihak tentang pentingnya hidup bersama, bisa lewat pendidikan maupun pendekatan kultural lainnya,” terang Al-fayyadl selang teman-teman yang mulai bergeliat untuk bertanya.
Hal berbeda diungkapkan oleh A. Badrus Sholihin, menurutnya konflik tersebut lebih pada politik instrumental dan juga terlibat dalam jejaring konspirasi AS. “Menurut saya Obama tidak angkat bicara sebab ia sadar bahwa rata-rata pemilih aktif dalam suksesinya menuju gedung putih adalah rakyat berkebangsaan Yahudi. Sedangkan alasan bangsa Yahudi diletakkan di samping kawasan Palestina oleh Inggris dan berada di tengah-tengah belahan Arab yakni sebagai pengontrol kawasan Arab. Terbukti banyak negara-negara Arab yang takluk pada Barat. Barat khawatir Arab-Islam akan kembali bangkit. Karena Arab memiliki kekayaan minyak dan punya potensi untuk kembali menguasai dunia. Oleh karena itu perlu ada penyeimbangan geopolitik agar penyelesaian konflik bisa terbangun,” imbuh mahasiswa Adab ini dengan lugas.
Bernando J. Sudjibto juga menampakkan rona antusias. “Saya mengandaikan tidak mungkin adanya penyeimbangan geopolitik. Arab sekarang sudah terlanjut menjadi bulan-bulanan Amerika. Sepertinya halnya Iran dan negara Arab lainnya, mereka sudah setengah hati untuk membantu saudara mereka di Palestina. Arab seringkali dimuka publik menyepakati perundingan akan tetapi prakteknya tidak ada,” papar Bje.
Konflik ini memang menyisakan perdepatan yang masih panjang. Hal ini bisa dilihat dari keresahan peserta diskusi yang lain. Termasuk pernyataan dari Muhammad Takdir Ilahi yang lebih kompleks pada ranah konflik horizontal. Selain itu yang menarik dari diskusi IAA DIY kali ini karena teman-teman dihadapkan pada suatu kondisi yang bimbang dan membingungkan, di samping waktu diskusi yang disediakan cukup longgar, terlebih lagi diperkaya dari berbagai analisa yang berdasarkan segudang fakta. Sebelum diskusi berlangsung teman-teman terlebih dahulu mengaji yaasin dan doa bersama bagi para korban meninggal selama berlangsung peperangan. (Nuzul-Litbang IAA DIY).

Tidak ada komentar: