(Artikel karya Saudara Fawaid ini mendapatkan penghargaan juara 3 dalam LKTI PTIN/PTIS se-Indonesia yang diadakan oleh UIN Syarif Jakarta, Juni 2010. Bagi teman-teman dan pembaca yang konsern dengan isu seperti dalam artikel ini diperlilahkan dibaca dan diunduh dengan meminta izin terlebih dulu kepada administrator. Semoga bermanfaat. Selamat membaca. Redaksi)
Prolog
Prolog
Quran dan Sunnah merupakan sumber pokok hukum Islam yang mengakomudir segala aktifitas manusia. Secara teoritis, kontekstualisasi hukum Islam telah banyak terekam dalam lintas peradaban manusia, baik klasik maupun kontemporer. Namun demikian, upaya untuk menerjemahkan kembali nilai-nilai Islam masih terlihat titik kelemahannya secara fundamental. Dengan begitu, hukum islam yang merupakan salah satu cabang (furu’) daripada syari’at menjadi rencana sistematis untuk mengangkat dan mendialogkannya secara komunal dengan aspek-aspek terpenting dalam logika keislaman.
Di sisi lain, ada sebagian umat islam yang mencoba menonjolkan hukum Islam sebagai entitas yang unik, terpisah dari peradaban lain—termasuk di dalamnya local wisdom—dan menutup ruang untuk ditafsir ulang. Hal tersebut mengakibatkan hukum Islam terkesan sangat mengerikan, jumud, statis dan eksklusif. Padalah jika melihat perjalanan panjang hukum Islam dari masa Nabi, Sahabat, Tabi’in hingga sekarang, hukum Islam lahir untuk menjawab problematika masyarakat pada masanya.
Tidak salah jika kemudian Umar bin Khatab tidak menggunakan hukum potong tangan sesuai dengan bunyi teks al-Quran ketika menghukum seorang pencuri, atau Imam as-Syafi’ie dengan Qoul al-Qadim dan Qoul al-Jadid, atau imam-imam lainnya yang seringkali berbeda baik dalam tatanan konsep maupun produk hukum. Perbedaan tersebut tiada lain hanyalah untuk mensinkronkan hukum Islam dengan ruang dan waktu yang sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat di mana mereka hidup.
Di sinilah letak nilai-nilai kemanuisaan hukum Islam (The Humanitarian of Islamic Law), semua selalu terbuka untuk mendapatkan sentuhan baru dalam penafsiran, bahkan terhadap ayat-ayat khass dan qath’iy sekalipun jangkauan proses penalaran (Ijtihad) harus tetap memberikan sentuhan tafsir. Hal ini sebagai bukti dari adanya slogan al- islam shaleh fi kulli zaman wa makan, bahwa Islam akan senantiasa mampu menciptakan sebuah solusi bagi problem masyarakat dimanapun dan kapanpun.
Oleh sebab itu, bagaimana mungkin hukum Islam akan dapat menjawab persoalan-persoalan kontemporer jika ruang untuk berijtihad terpasung oleh sumber hukum Islam yang ditulis beberapa abad yang lampau tanpa adanya proses kontekstualisasi maksud syari’ dengan kondisi sosial dimana problem masyarakat itu tumbuh dan berkembang.
Kendati demikian, problematika aktual dalam wacana sosial menuai kritik penalaran tekstualitas hukum Islam yang nampaknya dinilai masih adhoc dan parsial. Akumulasi sistem hukum Islam keluar dari mekanisme asal yang semula terekam secara pasti di mayoritas negeri muslim. Kejanggalan yang bersifat struktural maupun kultural secara faktual membatasi ruang gerak hukum Islam asal yang sandaran tekstualitasnya masih berbentuk wujud klasikal. Selain itu, terdapat arah dukungan untuk memanifestasikan konsepsi Islam yang dipandang dapat terealisir tujuan hukum Islam yang sebenarnya. Teknik logika penerapan sosial pada gilirannya mereduksi kemampuan hukum dalam merespos secara positif terhadap polemik sosial tersebut yang tengah berlangsung dan relatif berkembang.
Hukum Islam, dalam perangkat metodologi ulama’ klasik merepresentasikan sebagai produk pemikiran (ijtihad) yang di dalamnya bersumber suatu hukum yang mengkoordinir aktivitas manusia (‘amaliyah) dengan bukti-bukti yang komperhensif (dalalah al-tafshiliyah). Dengan ini, hukum Islam telah membatasi dirinya sebagai suatu hukum yang pasti dan bersumber dari Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasul (Al-Hadits). Namun, benarkah hukum Islam telah merespons aspek-aspek mendasar dalam aktivitas manusia?
Disinilah, kita akan melihat bagaimana hukum Islam selayaknya dibarengi dengan sentuhan kritis terhadap wilayah-wilayah metodologis (manhaj) dan implementasinya (istinbath ) dalam tataran sosial. Problem yang mendasar ini sebenarnya membawa dan menampilkan pemikiran kreatif dan produktif para ulama kontemporer. Sejurus dengan pemahaman ini, kisaran hukum Islam terus disejajarkan dengan sikap fleksibelnya yang nyata dan daya pemahaman yang disesuaikan dengan keberadaan kondisi umat manusia.
Ritme Percaturan Hukum Islam di Indonessia
Hukum Islam pada dasarnya merupakan manifestasi penerapan hukum (istinbath al-ahkam) yang berbicara tentang eksoteris keagamaan yang bersifat praktis-aplikatif. Sebelum pembukuan dan transformasi hukum Islam dilakukan, penetapan hukum secara pasti (qath’iy) telah ditetapkan oleh (baca; dengan) firman Allah dan sabda Nabi. Dalam perkembangannya, aktivitas pencarian solusi hukum belum menemukan corak keragaman yang pluralistik dan dominan dalam menerapkan konsep reaktualisasi hukum. Karena sumber hukum terus menggunakan prinsip-prinsip sosial secara utuh dan global.
Upaya aktualisasi dalam istinbath hukum Islam, disadari atau tidak, telah menempuh kurun waktu relatif lama. Kesadaran ini pada awalnya memunculkan sindrom dalam merepresentasikan kualitas suatu produk hukum, dimana banyak hukum baru dianggap legitimatif jika didasarkan pada hasil ijtihad ulama klasik, terlebih pada produk hukumnya. Sementara, upaya mengemas kajian hukum secara rasional dengan menggunakan perangkat metodologis, modern dan aktual menyebabkan tendensi untuk mengakomodir pemahaman hukum Islam itu lebih lanjut. Sehingga tak salah, dewasa ini tumbuh pelbagai khilafiyah (perbedaan) baru di kalangan umat Islam. Pada satu sisi, terdapat ulama yang menyimbolkan variabel hukum Islam yang mengkorelasikan dengan nilai-nilai modernitas. Namun, di sisi lain, fakta kesejarahan yang menyentuh pada pemberlakuan hukum asal ulama klasik justru masih banyak direfleksikan oleh masyoritas umat muslim sebagai sumber referensi autentik (maraji’ al-ashliyah). Bahkan, ada pula kelompok yang meneriakkan keharusan untuk menyandarkan hukum Islam terhadap Quran dan Sunnah secara tekstualitas.
Percaturan kuasa makna antara ketiga kelompok di atas secara faktual masih menjadi alternatif dalam membebankan hukum Islam sebagai cabang syariah yang harus direaktualisasikan. Solusi yuridis yang diambil dalam pemaknaan hukum Islam dieksplanasikan dengan memunculkan kontrol wacana. Sehingga, penafsiran (interpretasi) hukum Islam lebih condong pada formula personalitas belaka, dengan tanpa mendominasi ketetapan hukum asal yang pada konsekuensinya, mangaburkan pandangan terhadap hukum Islam itu sendiri. Lebih dari itu, simbol hukum Islam yang adaptif tersebut, mengupayakan terpecahnya pluralitas metodologi istinbath hukum yang pada gilirannya merefleksikan disintegralitas ilmiah antar umat muslim.
Kalangan modernis lebih bersikap apriori terhadap perspektif hukum klasik. Keinginan untuk memberlakukan hukum Islam dengan mengangkat pada pengamalan realitas sosial, menegasikan aspek kontekstualisasi dari pemahaman dan konstitusi hukum Islam. Timbulnya problem dehumanisasi materialistik dan kurangnya sinergi keadilan pada ranah implementasinya bersejajar dengan deskripsi pemahaman mereka yang kabur dan ambigu.
Demikian halnya dengan kalangan tradisional yang terkesan memaksakan sebuah produk pemikiran hukum pada suatu masa tertentu dan pada seorang tokoh tertentu. Hal ini berimplikasi pada ketidak produktifan hukum Islam dalam menjangkau tuntutan masyarakat dengan pelbagai problem yang berbeda, ruang yang berbeda dan dimensi yang berbeda pula. Pemahaman seperti ini sejurus kemudian menimbulkan sebuah keyakinan bahwa memang ada upaya menghentikan laju ijtihad sebagai pengaruh zaman pertengahan, bersamaan dengan adanya statemen pintu ijtihad tertutup—walaupun tidak ada kepastian tentang siapa yang menyatakan statemen tertutupnya pintu ijtihad tersebut. Seolah-olah, superioritas hukum Islam menjadi hegemoni ulama’ yang mengatasnamakan perwakilan seluruh umat Islam. Implikasi terburuk dari pemahaman ini menyebabkan maraknya taqlid buta dan fanatisme terhadap sutu mazhab tertentu dikalangan umat Islam.
Wal hal, jika, kembali lagi bercermin kepada sejarah munculnya mazhab-mazhab dalam hukum Islam yang menjadi pijakan setiap umat Islam sekarang ini justu melibatkan interaksi-dialektis antara mazhab satu dengan yang lain. Tidak jarang terjadi kritik yang pada gilirannya memunculkan konsep dan hasil berbeda walaupun antara mereka masih ada relasi guru-murid. Jika para Imam Mazhab bisa, kenapa kita tidak?
Sementara di sisi lain, kelompok yang menginginkan kembali kepada Quran dan Sunnah tidak kalah dalam mengambil peran dalam percaturan wacana hukum Islam ini. Mereka beranggapan bahwa umat Islam dewasa ini telah jauh meninggalkan sumber hukum Islam (Quran dan Sunnah), sehingga mereka menyerukan untuk kembali menjadikan Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif hukum Islam yang menutup ruang untuk ditafsir ulang. Kelompok ini seakan tidak peduli pada “Islam yang hidup” di masa kini maupun dalam sejarah.
Memang, tidak dapat dipungkiri dan semua umat Islam meyakini bahwa Quran dan Sunnah menempati posisi otoritatif yang sangat tinggi dalam keyakinan Islam. Keduanya merupakan sumber tak terbatas bagi pemikiran tentang etika, moral, hukum, dan kearifan. Namun, jika didekati dengan komitmen intelektual dan moral yang keliru, parsial dan mengabaikan konteks, hal tersebut akan berkontribusi bagi proses kejumudan intelektual dan etis—untuk tidak menyebutnya kemunduran dan kebusukan.
Setiap masa mempunyai sejarah masing-maisng. Kita tidak boleh terus dibayang-bayangi dengan retorika sejarah yang memang boleh sesuai pada zamannya tersendiri. Kita belajar dari proses hidup Umar bin Khatab yang bisa tampil berbeda. “Umar sangat praktis, realistis, fleksibel dan humanis dalam memecahkan masalah-masalah hukum.” Dari sanalah kita harus berusaha untuk menciptakan konsep baru yang lebih menyentuh kemashlahan umat dari pada sekedar terjebak dengan normatifitas dan tekstualiatas belaka.
Nikah Siri: Manjangkau yang Terabaikan
Fenomena nikah siri merupakan sebuah dilema yang sebenarnya sudah lama terjadi di masyarakat. Ada beragam pemaknaan tentang nikah siri, akan tetapi yang cenderung menjadi pemahaman umum, bahwa nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa mencatatkan diri ke lembaga pencatatan sipil. Dalih yang seringkali dijadikan prisai dalam persoalan ini adalah bahwa dalam Islam dianggap tidak ada satu teks Quran atau Sunnah yang menyinggung persoalan ini. Dalam pemahaman mayoritas umat Islam di Indonesia bahwa pernikahan cukup dengan adanya syarat-syarat yang tertera dalam kitab-kitab “klasik” (fiqh). Mereka tidak mau mencoba untuk keluar dari bingkai yang sebenarnya sangat tergantung dengan tekanan ruang dan waktu.
Ketika ada draf undang-undangan yang mencoba mengancam pidana terhadap pelaku nikah siri, mayoritas umat Islam bergotong-royong meneriakkan penolakan terhadap RUU tersebut. Menurut penulis, RUU tersebut tidak akan pernah muncul ke permukaan jika penduduk Indonesia mau patuh terhadap undang-undang tentang keharusan pencatatan perkawinan sebagaimana dalam UU No. 2 tahun 1946. Disebutkan di dalamnya bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban.
Penjelasan pasal 1 ayat (1) UU tersebut bahwa maksud pasal ini agar nikah, talak dan rujuk agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, semisal kelahiran, pernikahan, kematian dan sebagainya. Di sisi lain karena pernikahan erat kaitannya dengan kewarisan.
Di sinilah hukum Islam yang berpredikat sebagai designer terhadap tatanan sosial umat Islam yang mengisi ruang mayor di Indonesia harus mengambil peran. Sebab, walaupun hukum positif Indonesia bukanlah hukum Islam, hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum yang kemudian bertranformasi menjadi nilai etik (moral) yang mengkontrol aplikasi hukum nasional.
Nikah siri dalam tinjauan hukum Islam memang tidak tercantum dalam ayat Quran ataupun Sunnah Nabi secara tekstual. Di sinilah letak eklektisitas hukum Islam yang memberikan ruang terbuka untuk penalaran, demi terciptanya kesejatian hukum Islam itu sendiri yakni sholeh fi kulli zaman wa makan. Jika fenomena nikah siri terlarut dalam permainan “narasi besar,” hukum Islam tidak akan pernah bisa menjangkau nilai-nilai substansial yang mampu member solusi terhadap kegelisahan umat manusia dalam pelbagai dimensi.
Jika kita membincang lebih dalam teks-teks Quran dan Sunnah yang terkait dengan perintah pencatatan nikah, dalam Quran ada surat al-Baqarah: 282 yang secara tidak langsung memerintahkan untuk mencatat pelbagai bentuk transaksi.
$yg•ƒArinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..
Sekilas ayat tersebut memang tidak ada kalimat perintah tentang pencatatan nikah, melainkan lebih kepada mu’amalah secara umum. Namun demikian, jika kita kaji lebih komprehensif, penulis menemukan sebuah asumsi bahwa mu’amalah sebagai bagian yang lebih umum dari proses interaksi manusia dengan yang lain, secara otomatis mencakup persoalan pernikahan. Jika mu’amalah saja diperintahkan untuk dicatat apalagi pernikahan. Pencatatan tersebut tiada lain adalah sebagai bukti keabsahan ataupun legalitas dari proses interaksi dengan sesama.
Dalam Hadis Fi’liyah riwayat Bukhari dan Muslim di sebutkan:
Artinya: Dari Anas ia berkata: Rasulullah mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk istri-istrinya dan untuk Zainab.
Sementara dalam literatur Hadis lain yang merupakan hadis Qouliyah disebutkan:
Artinya: Beritakanlah pernikahan itu dan tempatkanlah di Masjid. Meriahkanlah dengan rebana.
Kedua Hadis tersebut secara tekstual memang tidak menjelaskan tentang pencatatan pekawinan. Namun, jika kita kaji struktur Islam Arab, pada waktu itu sangatlah sederhana dan secara territorial masih sempit. Kedua Hadis di atas sebenarnya sudah mengkonstruksi pemahaman pernikahan masyarakat sebelum Islam yang cenderung mengadakan pernikahan tanpa memberikan pemberitaan terhadap orang-orang sekelilingnya. Islam datang memperbaiki paradigma masyarakat yang seolah mengisolasi interaksi sosial. Dengan demikian, Hadis tersebut mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat agar memaklumatkan sebuah pernikahan untuk menghindari stigma negatif dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Jika melihat era kekinian, dimana umat Islam sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, penulis berasumsi perlu adanya pemaknaan ulang terhadap kata-kata aulim dan a’linu. Sebab, disadari atau tidak, dengan berkembangnya teghnologi-komunikasi yang menjadikan bumi ini menjadi begitu sempit, ruang untuk menyesuaikan pamaknaan pun harus dilakukan demi tercakupnya nilai-nilai universalitas Islam.
Dengan demikian, tidak cukup sekedar memberitakan secara lisan kepada tetangga atau hanya dengan menyembelih seekor kambing untuk membuktikan legalitas pernikahan ketika semisal bepergian ke luar daerah dimana tidak ada satu orang pun yang mengenal kita. Bukti tertulispun diperlukan sebagai dasar legalitas autentik dari hubungan kekeluargaan.
Di sinilah signifikansi sebuah data tertulis atau tulisan dalam perjalanan sejarah yang tak akan pernah terlupakan. Hanya dengan data tertulis kita akan tahu sesuatu yang belum diketahui. Searah dengan pesan Quran dalam surat al-Alaq: 4-5:
“
Artinya; yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam [tulisan]. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Sederhananya, sebuah sejarah di masa lalu tidak akan pernah sampai di tangan manusia dalam lipatan waktu yang berabad-abad. Quranpun tidak akan ada jaminan sampai ke tangan kita seperti yang kita rasakan, jika tidak ada upaya penulisan (pencatatan). Dengan demikian, adanya pencatatan sangatlah signifikan sebagai bukti tentang outentisitas “keber-ada-an”. Demikian halnya dengan pencatatan pernikah sebagai bagian terpenting di era globalisasi ini yang memang bertujuan menjaga diri dari kesewenang-wenangan orang yang tiak bertanggung jawab.
Inilah tantangan umat Islam dewasa ini untuk berani keluar dari bingkai narasi besar, agar supaya hukum Islam tetap menjadi ruh hukum univesal tanpa terjebak dengan ekstrimitas diberlakukannya “syariah Islam” di altar bumi nusantara ini. Di sinilah perlunya menghidupkan “narasi kecil” hukum Islam yang selama ini terabaikan oleh umat Islam di Indonesia. Narasi kecil inilah yang akan menjadi perbaikan dari dalam terhadap individu dengan menitik-beratkan pada pembangunan moralitas kesadaran hukum.
Aquinas mengasumsikan bahwa dinamika hukum tergantung pada moralitas masyarakat dimana hukum itu tumbuh-berkembang. Moralitas masyarakat dalam hal ini tidak hanya masyarakat akar-rumput. Lebih dari itu, cakupan masyarakat dalam menopang penegakan hukum melibatkan para penegak hukum, baik polisi, advokat, jaksa serta seluruh elemen. Sebab, sebuah reformasi tidak akan lahir hanya dari satu aspek. Dalam hal ini minimal ada tiga (3) dimensi yang harus mendapatkan sentuhan reformasi moralitas demi terciptanya kesadaran untuk hormat-patuh terhadap hukum yang berlaku; substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum.
Ketika dimensi tersebut dapat menjangkau nilai moralitas, penulis yakin bahwa wibawa hukum di Indonesia yang menurut Satjipto Rahardjo, secara psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang ada di bawah hukum itu sendiri untuk menghormai hukum itu sendiri. Dalam hal ini, wibawa hukum tidaklah terletak dalam kekuasaan pemerintah yang menciptakannya, melainkan lahir dari moralitas masyarakat yang peka terhadap kondisi sosial yang sehat.
Membingkai Nikah Siri dengan Pendekatan Maqashid Syariah
Prof. Yudian Wahyudi mengasumsikan bahwa Maqashid Syariah, sebagai bagian dari ushul fikih, sebenarnya lebih merupakan metode dari pada doktrin (apalagi Slogan!). Dengan pendekatan inilah hukum Islam menjadi tampak praktis, realistis, elastis, fleksibel dan humanis dalam menjangkau ranah paling sensitif dari problematika manusia modern yang demikian komplek.
Maqashid syariah tiada lain merupakan metode untuk melacak tujuan syari’ (Allah) dalam memberikan justifikasi terhadap permasalahan kemaslahatan manusia secara universal. Dalam hal ini maqashid syariah mencakup tiga skala prioritas berbeda tapi saling melengkapi dalam menjawab tuntutan zaman: al-dharuriyyah, al-hajiyyah dan al-tahsiniyyah. Al-dharuriyyah merupakan prioritas paling pokok yang harus dipenuhi, dimana akan berakibat fatal tanpa terpenuhinya, mencakup penerapan Hukum Islam dalam lintas kemaslahatan berberdeda:
Pertama, penjagaan agama (hifdz al-din). Terjaminnya hak atas tegaknya agama dan kebebasan beragama harus menjadi keharusan bagi umat manusia. Karena dengan agama inilah, yang dapat membedakan manusia dengan hewan. Bagaimana Islam telah meletakkan dasar pemahaman kepada manusia dalam kebebasan beragama, sesuai dengan firman Allah Swt.: laa ikraaha fi al-din qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi (tiada paksaan untuk masuk ke suatu agama….)
Kedua, terjaminnya perlindungan hak hidup (hifdz al-nafs). Kasus-kasus pelanggaran HAM di atas otoritas kekuasaan dan birokrasi sudah banyak dipublikasikan di media massa. Selain kasus GAM dan TNI, kasus Timor Leste juga menjadi keprihatinan sendiri bagi masyarakat yang telah banyak menelan korban sipil tak berdosa, terlantarnya anak-anak yatim piatu, dan terjangkitanya busung lapar, ataupun hak-hak asasi manusia lain seperti hak bekerja, hak berpendapat, hak berfikir, seperi kasus Ahmadiyah, Al-Qiyadah dan sebagainya.
Dengan terjadinya kasus tersebut, aplikasi mashlahah terutama perlindungan hak hidup harus benar-benar direalisasikan oleh pemerintah. Termasuk dalam katagori pemeliharaan jiwa adalah perlindungan kehormatan, perlindungan kemanusiaan, larangan menuduh zina (penghinaan), dan hal-hal lain yang terkait dengan martabat kemanusiaan.
Ketiga, terjaminnya hak atas pengembangan akal dan pemikiran (hifdz al-‘aql). Prinsip ini mencoba melindungi pemeliharaan hak atas kebebasan berfikir, berpendapat, dan sebagainya. Islam melalui konsep mashlahah ini mampu memelihara akal sebagai salah satu hal yang penting di tubuh manusia yang ditunjukkan dengan adanya perubahan masa jahiliyah ke masa keemasan. Dengan demikian, pemerintah Indonesia seharusnya mempertimbangkan katagori mashlahah ini dalam struktur yuridis dalam rangka menjaga kelangsungan akal manusia yang sehat.
Keempat, terjaminnya perlindungan hak atas kepemilikan harta benda (hifdz al-mal). Tidak jarang ditemukan akhir-akhir ini adanya perampokan, eksploitasi sumber daya alam semisal hutan, dan kasus yang paling sistemik sekalipun; korupsi dan makelar kasus (markus). Dilema tersebut merupakan problema kebangsaan yang harus diapresiasi oleh pemerintah. Dengan memasukkan konsep mashlahah dalam berbagai keputusan dan kebijakan hukum, pemerintah dapat dengan mudah mencari problem solving akurat dalam menjamin adanya hak kepemilikan harta benda tersebut. Melalui firman Allah, dalam Q.S 7:56; Q.S. 28: 77; Q.S. 2:60; Q.S. 7:74; Q.S. 29:36 dan sebagainya, telah mewajibkan umat manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan dan alam.
Allah juga memberi hak kepada manusia untuk memiliki harta yang sah dan halal. Karena, Allah sendiri yang nantinya akan meminta pertanggung jawaban kepada seluruh umat manusia yang mempunyai harta benda sekecil apapun (Q.S. 2:107; Q.S. 3:189; Q.S. 57:7,10, dan sebagainya), yang semuanya itu merefleksikan pembinaan dan pencapaian kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Kelima, terjaminnya hak atas pengembangan jenis dan keturunan (hifdz al-nasb/nasl). Kasus aborsi dan kekerasan rumah tangga yang tidak sesuai dengan syari’at Islam saat ini sudah banyak terjadi di mana-mana. Kasus tersebut setidaknya harus menjadi pandangan utuh dari pemerintah yang nota bene mempunyai tanggung jawab terhadap perlindungan tersebut.
Demikian halnya fenomena nikah siri yang salah satu aspeknya banyak berdampak negatif dalam hiruk-pikuk kehidupan masyrakat. Berbagai masalah yang timbul akibat nikah siri yang diantaranya suami dengan mudah melakukan poligami, tidak memberi nafkah bulanan pada istri, laki-laki dapat mudah menyangkal dari anak yang telah dilahirkan dengan perempuan yang dinikah secara siri, jika terjadi perceraian penyelesaian harta bersama menjadi tidak jelas.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh harian Jawa Pos, menunjukkan 90,9 persen dari 430 responden menyatakan bahwa perempuan dan anak berada pada posisi yang lemah dan tidak berdaya untuk menuntut haknya. Sebanyak 2,87 persen responden lainya mengemukakan perempuan dan anak dirugikan karena statusnya tidak jelas dan anak yang dilahirkan sulit mendapatkan pengakuan dari ayahnya, karena tidak ada bukti hitam diatas putih dari pernikahan tersebut. Sisanya, 25,3 persen responden menganggap bahwa anak dari orang tua yang melakukan nikah siri rawan untuk ditinggal begitu saja atau di telantarkan dan perempuan kesulitan untuk menuntut hakhaknya.
Melalui maqashid syariah dengan berbagai elemen penting di dalamnya, hukum Islam mampu memberikan penyadaran akan bahaya nikah siri yang jelas mengancam tatanan kemapan struktur sosial. Pemerintah setidaknya mempunyai pandangan luas tentang pelarangan nikah dengan menekankan hukuman yang lebih berat kepada si pelaku, dan menjamin kelangsungan hidup bagi si korban. Hal ini dibutuhkan, agar pemanfaatan konsep mashlahah dalam struktur kenegeraan dapat berjalan dengan baik. Karena, bagaimanapun persoalan-persoalan mansia modern tidak dapat dipecahkan hanya oleh dakwah-dakwah keagamaan, tapi juga dibantu oleh pemerintah sebagai ulil amr. Dengan demikian, RUU Nikah Siri harus disahkan!
Epilog
Transformasi sistem nilai dalam praktek hukum Islam masih perlu untuk dikaji secara kontekstual. Dengan tidak menutup formula hukum formal, merekonstruksi pemahaman modern terhadap fleksibelitas hukum, serta perlunya menghidupkan narasi kecil hukum Islam yang selama ini terabaikan. Sehingga kita akan menemukan pengertian, implementasi hukum yang adaptif dan tetap elastis pada zaman modern saat ini yang banyak tersentuh dengan problematika sosial yang lebih menyentuh ruang kesejahteraan umat.
Kunci hukum Islam yang pada awal disadari atau tidak mengaimini konsep “al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhdu bi al-jadid al-aslah” harus berubah haluan prinsip ”al-nadr ‘ala al-qodim al-salih wa al-ijad bi al-ajdad al-anfa’ wal-ahlah”. Dengan prinsip ini, penulis berharap penuh terhadap tumbuhnya hukum-hukum baru yang lebih dinamis, yang dapat menjawab pelbagai persoalan umat dari semua kalangan.
Dengan demikian, hukum Islam akan tampak lebih berarti guna apabila ia dibiarkan hidup berkembang bebas di masyarakat, menjadi etika, moral, sarana kontrol, dan pembebasan, serta emansipasi sosial, dan bukan sekedar halal-haram. Sehingga, yang tercipta adalah hukum yang memang menyejarterakan umat manusia dan tidak terjebak dengan faktor legal-formal, terlebih self-interest yang dapat mencoreng wibawa hukum Islam itu sendiri.
Akhirnya, apologia prolibro suo, tiada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempunaan. Dengan demikian, penulis mengharap kritis-saran dari para pembaca yang budiman demi lebih baiknya tulisan-tulisan selanjutnya.
Oleh: Fawaidurrahman
BIBLIOGRAFI
Buku:
Abidin, Slamet & Aminuddin. Fiqih Munakahat. Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999.
Agger, Ben. Teori Kritik Sosial: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.
Ali, Muhammad. Teologi Plural-Multikulturalisme. Jakarta: Kompas, 2003.
As-Sikhawi, Syamsuddin Muhammad. Al-Maqosid al-Hasanah. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987.
El Fadl, Khaled Abou. Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, trj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006.
Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. UK: The Islamic Texts Society. Cet. III, 2003.
Najib, Agus Moh. dkk.. Gerakan Wahabi di Indonesia: Dialog dan Kritik. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
Nasution, Khoirudin. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2009.
Raharjo, Sadjipto. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni 1999.
Ujan, Andrea Ata. Filsafat Hukum: Membela Hukum, Membela Keadian. Yogyakarta, Kanusius, 2009.
Wahyudi, Yudian. Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, cet. IV. 2007.
_______________. Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Persantren Nawesea Press, cet. III, 2007.
_______________. The Slogan “Back to the Qur’an and the Sunna” as Ideal Solutions to the Decline of Islam in the Modern Age. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Bairut: Dar al-Fikr, 1985.
Zahro, Ahmad. Tradisi Intelektual NU. Yogyakarya: LkiS, 2004.
Lain-lain:
Jawa Pos, 22 September 2000
1 komentar:
sayang sekali fotenotenya gak ikut...
Posting Komentar