(Sumber: Media Indonesia, Kamis, 18 Oktober 2007 07:25 WIB)
TERHITUNG sejak 1901, terdapat ritual tahunan penganugerahan hadiah Nobel untuk perdamaian yang terus mengalir hingga sekarang. Anugerah itu diberikan sebagai penghargaan atas jasa para ilmuwan/tokoh bagi kemanusiaan. Penghargaan itu diberikan setiap 12 Oktober.
Tidak seperti penghargaan Nobel untuk bidang lain, Nobel Perdamaian merupakan entitas yang paling progresif untuk diikuti perkembangannya, khususnya tahun ini. Karena, posisinya berkaitan erat dengan persoalan kemanusiaan universal dan mempunyai sisi yang signifikan bagi kesinambungan kehidupan manusia yang merindukan kedamaian di muka bumi.
Jika mengamati perkembangan Nobel Perdamaian secara mendalam, posisinya punya masa depan yang lebih kompleks. Setidaknya jika disandingkan dengan penganugerahan di bidang disiplin lain, seperti kedokteran, fisika, dan sastra, yang secara rutin juga diadakan pada waktu yang sama. Peranan Nobel Perdamaian di satu sisi telah mengupayakan misi kemanusiaan yang diimpikan Albert Nobel, sang inspirator lahirnya hadiah paling gengsi dan termahal di dunia dari sebuah negara yang menjadi kiblat dan konvensi perdamaian internasional, yaitu Norwegia.
Problem kemanusiaan adalah persoalan universal. Segala sesuatu yang menyokong tercapainya kehidupan yang dinamis di muka bumi semestinya mendapat anugerah yang bisa menggerakkan kontinuitas dan kesinambungan kemanusiaan universal. Anugerah Nobel -dalam segala disiplin- telah menunjukkan kecenderungan dan konsistensi di ranah ini. Argumen yang dikemukakan para komite penganugerahan Nobel selalu memprioritaskan dan mengapresiasi para calon penerima Nobel yang mempunyai titik singgung ihwal humanisme dan kesinambungan kehidupan manusia secara universal.
Karena itu, persoalan kemanusiaan yang kompleks dan evolutif akan senantiasa menantang para komite Nobel yang berwenang untuk memantau para tokoh yang kompeten di bidang masing-masing dan relevansinya dengan kehidupan kemanusiaan sebagai sumbangan yang tidak berkesudahan. Fakta itu dapat ditemukan dalam fenomena Nobel Perdamaian kali ini.
Selama ini, harus diakui, Nobel Perdamaian hanya untuk kalangan terbatas, seperti para negarawan, pejuang hak asasi manusia (HAM), dan aktivis pejuang perdamaian. Munculnya nama Al Gore, pejuang lingkungan dari Amerika Serikat, sebagai kandidat peraih Nobel Perdamaian 2007 tidaklah mengejutkan.
Yang menarik, munculnya kandidat dari kalangan pejuang lingkungan semakin membuka keran 'kesadaran kemanusiaan' yang selama ini menghantui tentang kategori peraih Nobel, khususnya untuk kemanusiaan. Al Gore pun semakin terkenal karena telah meningkatkan kesadaran soal ancaman pemanasan global (global warming) dengan kampanye melalui buku-buku dan film dokumenternya, An Inconvenient Truth, yang mendapat anugerah Oscar tahun ini.
Satu hal yang telah mengangkat posisi dan martabat Gore di kancah internasional adalah 'kampanye akbar'-nya atau perang yang diteriakkan terhadap iklim yang semakin tidak bisa diprediksi. Kasus climate crisis ini diperjuangkan Gore dengan tekun lewat seminar maupun tulisan-tulisannya di berbagai media massa, seperti yang terekam di situs resminya www.algore.com.
Dengan tekad 'bergerak bersama' tentang perang iklim, seperti disediakan di situs resminya itu, Gore menyediakan semacam kolom yang meminta para pengunjung situs komit dan ikut menyokong kampanye tersebut. Bagi yang ikut dalam sign seadanya itu, situs Gore akan membagi semua berita yang menyangkut tema climate crisis. Melalui media itu, kita akan lebih tahu persoalan yang bermanuver di pentas internasional.
Fenomena Al Gore
Mencuatnya sosok Gore ke pentas pencalonan untuk Nobel Perdamaian memberikan warna lain yang menyita banyak perhatian. Ia mendapat suara dari dua anggota parlemen Norwegia, yaitu Stein Toennesson, Direktur Lembaga Riset Perdamaian Internasional (PRIO), Oslo, dan Jan Egeland, Ketua Lembaga Urusan Internasional Norwegia. Keduanya sepakat memunculkan Gore menjadi peraih anugerah Nobel Perdamaian 2007 karena masalah lingkungan yang semakin kacau dan mengancam persoalan kemanusiaan.
Persoalan lingkungan, khususnya masalah pemanasan global, yang dalam satu dasawarsa terakhir mencuat sebagai isu internasional, merupakan problem yang potensial dan signifikan bagi kemanusiaan. Persoalan manusia dan kemanusiaan bergantung pada kondisi lingkungan tempat berpijak. Lingkungan merupakan masalah prinsipiil yang tidak bisa disepelekan. Mungkin kesadaran semacam itu yang akhirnya mengetuk relung kesadaran para pengelola Nobel untuk perdamaian kali ini.
Kemenangan Gore otomatis membuat paradigma penyelamatan lingkungan, apa pun jenisnya, akan mengajarkan banyak hal kepada dunia, terutama negara kita. Indonesia adalah salah satu negara yang harus belajar banyak dalam konteks ini, yakni melihat betapa memalukan realitas lingkungan yang beberapa tahun terakhir semakin tidak terperikan seperti deforestasi, pembalakan liar, dan tatanan pembangunan kota yang tidak cerdas serta menambah kekacauan kondisi lingkungan.
Bagi Indonesia, Gore akan menjadi sosok yang fenomenal. Secara tersurat, realitas itu akan menyentak kesadaran pemerintah maupun masyarakat bangsa ini tentang bagaimana memikirkan kembali kondisi lingkungan yang telah menopang kehidupan manusia. Karena kedinamisan, perdamaian, dan kesejahteraan hidup manusia bergantung erat pada kondisi lingkungannya. Pada lingkungan (alam) yang kacau dan tragis manusia super tidak mungkin muncul!
Saya yakin kemenangan Gore tidak akan mengurangi kehormatan Komite Nobel yang telah berani memperlebar persoalan 'perdamaian' yang tidak hanya berkutat kepada pejuang HAM dan aktivis kemanusiaan. Munculnya pejuang lingkungan sebagai peraih Nobel Perdamaian justru akan memantapkan perjuangan kemanusiaan yang lebih universal itu. Gore memang berbeda dengan peraih Nobel Perdamaian tahun sebelumnya, Muhammad Yunus, seorang 'ekonom rakyat' asal Bangladesh dengan Bank Grameen-nya telah mengangkat jutaan rakyat dari jurang kemiskinan yang mendera mayoritas bangsa itu.
Namun, yang perlu dicatat dalam konteks kemanusiaan, posisi Gore lebih universal. Ia mengupayakan langkah konkret demi menyelamatkan dunia manusia. Ia bukan pejuang sektor kecil di daerah tertentu, seperti yang banyak ditunjukkan para aktivis perdamaian sebelumnya. Tetapi, Gore telah menunjukkan semangat kemanusiaan universal itu demi tercapainya kedamaian bersama di muka bumi.
(Bje Soejibto, Alumni Annuqayah 2004)
rumah proses, karya-karya penting, dan berita seputar alumni annuqayah yogyakarta
Senin, 22 Desember 2008
Spirit Kurban di Tengah Maraknya Korupsi
(Sumber, Suara Karya, Selasa, 9 Desember 2008)
Ketika Nabi Ibrahim as mendapatkan perintah dari Allah Swt untuk menyembelih putra kesayangannya sebagai bagian dari perintah kurban, Ibrahim sama sekali tak gentar dan waswas dibuatnya. Ia tetap mematuhi perintah agung dari Tuhan-nya itu tanpa sedikit pun membantah. Ibrahim tak pernah melakukan negosiasi dalam bentuk apa pun agar perintah itu dicabut atau setidaknya diganti dengan perintah lainnya yang lebih ringan.
Ibrahim dan Ismail sama-sama menerima dengan ikhlas perintah Tuhan. Tak ada kekhawatiran di antara bapak dan anak yang sudah sedemikian saling mencintai itu. Dan, ketika Ismail sudah berbaring dan tinggal menunggu waktu dirinya disembelih, Allah ternyata membuat keputusan lain: mengganti Ismail dengan seekor domba. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(-nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (Q.S. Ash-Shaffaat: 103-107).
Demikianlah kisah pengorbanan salah seorang nabi Allah yang cukup menegangkan. Allah betul-betul menguji tingkat kesabaran dan keikhlasan Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi. Totalitas kepasrahannya menggambarkan kepada kita ihwal penghambaan sejati di mana ketika Tuhan berkehendak sesuatu, manusia tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi dan pasrah terhadap kehendak-Nya.
Itulah dimensi ilahiah yang harus kita pelajari dari kisah Ibrahim dan Ismail. Egoisme kemanusiaan harus kita hancurkan untuk sampai pada Tuhan. Manusia yang senantiasa menjalankan ritus-ritus keagamaan tetapi tidak didasari oleh keikhlasan yang total, berarti benih-benih egoisme kemanusiaannya masih mendominasi. Dalam kondisi seperti ini, jelas hubungan antara Sang Khalik dan makhluk masih terbatasi oleh tabir yang sangat tebal.
Selain dimensi ilahiah, kisah tersebut juga mengandung dimensi sosial, yang lewat peristiwa itulah perintah berkurban menjadi titik awal yang harus dilaksanakan. Perintah kurban menyiratkan pentingnya kepedulian sosial direalisasikan. Sebab, kepedulian menjadi inti dan dasar terbangunnya harmonisme sosial. Karena itu, berkurban berarti juga menghancurkan sifat individualistis yang ada pada diri manusia.
Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Indonesia, menggugah kembali spirit kepedulian tidak hanya penting, tapi juga sangat relevan. Hal ini setidaknya tercermin dari kasus korupsi yang kian merajalela. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak jumlahnya pejabat pemerintah yang terkena skandal korupsi. Jika Yusril Ihza Mahendra lebih menyoroti sistem yang menurut dia berperan penting terhadap pelakunya untuk berbuat korup, saya justru berpendapat pada watak individu-individu itulah benih-benih korupsi berasal yang kemudian mengakar dan terus menjalar.
Korupsi, dengan demikian, menjadi cerminan sederhana ihwal watak individualistis manusia. Seorang koruptor jelas tidak memiliki kepedulian sosial karena ia sendiri secara tidak langsung telah memasungnya. Berbuat korup di tengah kondisi bangsa yang tak menentu akibat terpaan krisis multidimensi memiliki muatan dosa sosial yang lebih besar. Sebab, krisis yang seharusnya diatasi justru diperparah dengan mengeruk uang negara.
Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, kasus korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mungkin mereka khawatir ihwal konsekuensi politiknya, yakni rusaknya citra dan karier politik di mata rakyat. Tetapi, pada era reformasi yang lebih demokratis ini, kasus korupsi sudah sedemikian canggih dilakukan. Bahkan, korupsi dilakukan secara berjemaah. Begitu rapi mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Celakanya, ketika salah satu di antara mereka terungkap dengan jelas, tak ada ekspresi rasa malu apa pun.
Itulah potret bangsa kita yang lebih sibuk merumuskan agenda-agenda kebangsaan yang bersifat konsepsional-formal daripada merumuskan langkah riil dalam memberantas kasus korupsi. Bangsa ini memang lebih mengutamakan sesuatu yang formal daripada yang substansial. Korupsi seharusnya menjadi agenda utama karena hal ini menyangkut kesejahteraan sosial. Bangsa ini memang butuh manusia-manusia yang memiliki tingkat kepedulian tinggi; mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan dirinya sendiri. Dan, kasus korupsi setidaknya menjadi cermin betapa harapan akan datangnya kepedulian itu bertepuk sebelah tangan.
Perjalanan bangsa Indonesia memang belum sepenuhnya berakhir. Tetapi, jika kasus korupsi masih mewarnai dinamika politik dari rezim ke rezim, titik kehancuran itu tinggal menunggu waktu. Tetapi, sebagai generasi bangsa, kita tidak boleh pesimistis dengan realitas yang terjadi. Sepahit dan segetir apa pun kita tetap berharap akan ada suatu pencerahan di kemudian hari, di mana bangsa ini terbebas dari skandal korupsi yang memalukan itu.
Dengan demikian, melalui momentum Idul Adha atau yang disebut juga dengan Idul Kurban inilah kepedulian sosial penting diteguhkan. Sebaliknya, korupsi yang merupakan bagian dari sifat individualistis dan berpotensi melahirkan musibah sosial harus kita hancurkan. Inilah salah satu hikmah yang harus kita petik di balik diperintahkannya kurban. Jika kepedulian sudah menjadi sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, korupsi dengan sendirinya akan mati. Semoga.***
(Yusrianto Elga, Alumni Annuqayah 2005)
Ketika Nabi Ibrahim as mendapatkan perintah dari Allah Swt untuk menyembelih putra kesayangannya sebagai bagian dari perintah kurban, Ibrahim sama sekali tak gentar dan waswas dibuatnya. Ia tetap mematuhi perintah agung dari Tuhan-nya itu tanpa sedikit pun membantah. Ibrahim tak pernah melakukan negosiasi dalam bentuk apa pun agar perintah itu dicabut atau setidaknya diganti dengan perintah lainnya yang lebih ringan.
Ibrahim dan Ismail sama-sama menerima dengan ikhlas perintah Tuhan. Tak ada kekhawatiran di antara bapak dan anak yang sudah sedemikian saling mencintai itu. Dan, ketika Ismail sudah berbaring dan tinggal menunggu waktu dirinya disembelih, Allah ternyata membuat keputusan lain: mengganti Ismail dengan seekor domba. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(-nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (Q.S. Ash-Shaffaat: 103-107).
Demikianlah kisah pengorbanan salah seorang nabi Allah yang cukup menegangkan. Allah betul-betul menguji tingkat kesabaran dan keikhlasan Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi. Totalitas kepasrahannya menggambarkan kepada kita ihwal penghambaan sejati di mana ketika Tuhan berkehendak sesuatu, manusia tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi dan pasrah terhadap kehendak-Nya.
Itulah dimensi ilahiah yang harus kita pelajari dari kisah Ibrahim dan Ismail. Egoisme kemanusiaan harus kita hancurkan untuk sampai pada Tuhan. Manusia yang senantiasa menjalankan ritus-ritus keagamaan tetapi tidak didasari oleh keikhlasan yang total, berarti benih-benih egoisme kemanusiaannya masih mendominasi. Dalam kondisi seperti ini, jelas hubungan antara Sang Khalik dan makhluk masih terbatasi oleh tabir yang sangat tebal.
Selain dimensi ilahiah, kisah tersebut juga mengandung dimensi sosial, yang lewat peristiwa itulah perintah berkurban menjadi titik awal yang harus dilaksanakan. Perintah kurban menyiratkan pentingnya kepedulian sosial direalisasikan. Sebab, kepedulian menjadi inti dan dasar terbangunnya harmonisme sosial. Karena itu, berkurban berarti juga menghancurkan sifat individualistis yang ada pada diri manusia.
Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Indonesia, menggugah kembali spirit kepedulian tidak hanya penting, tapi juga sangat relevan. Hal ini setidaknya tercermin dari kasus korupsi yang kian merajalela. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak jumlahnya pejabat pemerintah yang terkena skandal korupsi. Jika Yusril Ihza Mahendra lebih menyoroti sistem yang menurut dia berperan penting terhadap pelakunya untuk berbuat korup, saya justru berpendapat pada watak individu-individu itulah benih-benih korupsi berasal yang kemudian mengakar dan terus menjalar.
Korupsi, dengan demikian, menjadi cerminan sederhana ihwal watak individualistis manusia. Seorang koruptor jelas tidak memiliki kepedulian sosial karena ia sendiri secara tidak langsung telah memasungnya. Berbuat korup di tengah kondisi bangsa yang tak menentu akibat terpaan krisis multidimensi memiliki muatan dosa sosial yang lebih besar. Sebab, krisis yang seharusnya diatasi justru diperparah dengan mengeruk uang negara.
Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, kasus korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mungkin mereka khawatir ihwal konsekuensi politiknya, yakni rusaknya citra dan karier politik di mata rakyat. Tetapi, pada era reformasi yang lebih demokratis ini, kasus korupsi sudah sedemikian canggih dilakukan. Bahkan, korupsi dilakukan secara berjemaah. Begitu rapi mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Celakanya, ketika salah satu di antara mereka terungkap dengan jelas, tak ada ekspresi rasa malu apa pun.
Itulah potret bangsa kita yang lebih sibuk merumuskan agenda-agenda kebangsaan yang bersifat konsepsional-formal daripada merumuskan langkah riil dalam memberantas kasus korupsi. Bangsa ini memang lebih mengutamakan sesuatu yang formal daripada yang substansial. Korupsi seharusnya menjadi agenda utama karena hal ini menyangkut kesejahteraan sosial. Bangsa ini memang butuh manusia-manusia yang memiliki tingkat kepedulian tinggi; mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan dirinya sendiri. Dan, kasus korupsi setidaknya menjadi cermin betapa harapan akan datangnya kepedulian itu bertepuk sebelah tangan.
Perjalanan bangsa Indonesia memang belum sepenuhnya berakhir. Tetapi, jika kasus korupsi masih mewarnai dinamika politik dari rezim ke rezim, titik kehancuran itu tinggal menunggu waktu. Tetapi, sebagai generasi bangsa, kita tidak boleh pesimistis dengan realitas yang terjadi. Sepahit dan segetir apa pun kita tetap berharap akan ada suatu pencerahan di kemudian hari, di mana bangsa ini terbebas dari skandal korupsi yang memalukan itu.
Dengan demikian, melalui momentum Idul Adha atau yang disebut juga dengan Idul Kurban inilah kepedulian sosial penting diteguhkan. Sebaliknya, korupsi yang merupakan bagian dari sifat individualistis dan berpotensi melahirkan musibah sosial harus kita hancurkan. Inilah salah satu hikmah yang harus kita petik di balik diperintahkannya kurban. Jika kepedulian sudah menjadi sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, korupsi dengan sendirinya akan mati. Semoga.***
(Yusrianto Elga, Alumni Annuqayah 2005)
Integritas dan Jalan Hidup Intelektual
(Sumber: Jawa Pos, 2 November 2008)
Menjadi intelektual di zaman yang penuh dengan godaan anti-intelektualisme tidaklah mudah. Menjadi intelektual berarti terlibat dalam persoalan-persoalan yang melingkupi lingkungan sekitar tanpa kehilangan integritas dan keotentikan. Persoalannya kemudian, mungkinkah mengambil posisi yang demikian saat ini?
Gempuran budaya populer yang dibawa oleh teknologi dan perkembangan audio-visual membawa konsekuensi yang tak terelakkan bagi pergeseran dunia pemikiran dewasa ini. Pengaruh budaya populer yang mengutamakan ''komunikativitas'' (communicativeness), yaitu tersampaikannya ide-ide menjadi lebih komunikatif di mata orang kebanyakan, telah mengubah cara seorang intelektual mengutarakan gagasannya. Dulu, kita terpikat dengan pemikiran-pemikiran intelektual yang mengutamakan abstraksi, yang mendalam dan sarat dengan muatan ide. Tetapi kini, kondisi yang berbeda membawa pemandangan yang berbeda pula, di mana seorang intelektual harus banyak menyesuaikan pemikirannya dengan tuntutan orang kebanyakan. Ia harus mengemas ide-idenya menjadi lebih atraktif dan komunikatif di hadapan orang lain.
Tuntutan eksternal untuk menjadi lebih komunikatif, lebih menarik, dan ''menghibur'', membawa akibat-akibat yang, pelan tapi pasti, membuat peran-peran intelektual kian merosot dari hari ke hari. Banyak intelektual yang hidup tanpa intelektualisme dalam pemikirannya. Para intelektual menjadi mudah tidak percaya diri jika ia harus menyampaikan gagasannya secara langsung kepada publik. Ia akan lebih merasa nyaman, merasa lebih ''enjoy'' (meminjam ungkapan sebuah iklan), jika ia mengemas terlebih dulu pemikirannya dalam bentuk-bentuk yang populer dan mudah dicerna.
Kemerosotan yang terjadi adalah terdistorsinya kebebasan kreatif seorang intelektual dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya. Setidak-tidaknya, ada satu hal yang terlihat kemudian, sebagai akibat dari kondisi tersebut, yaitu: begitu mudahnya dunia pemikiran dewasa ini terjatuh ke dalam sikap-sikap konformisme; sebuah sikap yang ditandai dengan pengiyaan secara tidak kreatif atas opini umum.
Buku, sebuah dokumen tertulis tentang pemikiran seseorang, barangkali bisa dianggap barometer dalam perjalanan seorang intelektual. Mengamati buku dan karya-karya intelektual yang dihasilkan dalam beberapa waktu belakangan ini, bisa diamati bersama betapa terpesonanya dunia pemikiran pada apa yang disebut dengan lazim sebagai ''trend''. ''Trend'' adalah ungkapan lain dari kepopuleran sebuah ide di mata publik kebanyakan. Sejauh mana sebuah karya dapat menyesuaikan diri dengan trend yang ada, tergantung dari sejauh mana karya tersebut mampu menampilkan dirinya secara renyah dan komunikatif bagi audiens. Dan, semakin ia trendy, semakin sebuah pemikiran dapat konformis (baca: selaras-sejalan) dengan keinginan publiknya, maka semakin ia populer dan ''sukses''.
''Popularisme'', konformisme, dan kegandrungan pada hal-hal yang menjadi buah bibir masyarakat pada umumnya dapat dirasakan secara kuat dalam bidang-bidang yang dulunya melahirkan eksperimen-eksperimen serius dalam dunia pemikiran; bidang-bidang keilmuan yang sebelumnya banyak memunculkan perdebatan-perdebatan yang mendalam, yang merangsang pemikiran generasi berikutnya; bidang-bidang pemikiran yang dahulu digarap dengan konsistensi pemikiran yang tangguh dan ulet. Bidang kebudayaan, misalnya, di Indonesia telah melahirkan seorang generasi intelektual seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang mengkaji dengan mendalam bentuk-bentuk kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan tradisi dan modernitas. Bukan sosok Takdir yang paling penting dalam hal ini, tetapi peran yang dia ambil dalam perdebatan itu yang membuatnya layak dihargai. Takdir, dalam beberapa karyanya, mungkin menunjukkan kualitas yang tidak sebaik apa yang digagasnya. Puisi-puisinya tidak sekuat pemikiran kebudayaannya; novel-novelnya tidak sekuat pemikirannya tentang sastra; dan seterusnya. Bukan karya Takdir itu sendiri yang penting untuk mendapat sorotan dalam konteks ini, melainkan apa yang terbentuk dari karya-karya itu, paradigma pemikiran yang konsisten disuarakan dari dalamnya (meskipun kita perlu meneliti juga inkonsistensinya), dan pertanyaan-pertanyaan menantang yang muncul dari interpretasi atas karya-karya itu.
Pemikiran di bidang keagamaan juga semakin langka memperlihatkan gairah akan kemendalaman dan kultur kajian yang sungguh-sungguh. Agak sulit mencari perdebatan yang mendalam seperti terlihat dari kajian tentang Islam dan sekularisme dalam pemikiran Nurcholish Madjid dan Natsir; tentang Islam dan budaya lokal dalam pemikiran Gus Dur muda; tentang agama dan modernisasi serta pembangunan dalam pemikiran Soedjatmoko. Seperti halnya dalam kasus Takdir di atas, bukan sosok pribadi Nurcholish atau Natsir, atau Soedjatmoko, yang menarik untuk diperbincangkan, melainkan yang terpenting adalah peran yang mereka ambil, posisi, dan sikap yang mereka perjuangkan, yang kemudian menentukan signifikansi pemikiran mereka dalam percaturan intelektual saat itu. Nurcholish menunjukkan beberapa pengulangan dalam karya-karyanya yang belakangan sehingga tidak sepenuhnya baru; Natsir tidak terlalu produktif di akhir-akhir hidupnya; Gus Dur kehilangan sentuhannya sebagai ilmuwan di usia tua karena kesibukannya dalam politik; atau Soedjatmoko yang terlalu berhati-hati dalam mengungkapkan gagasan. Bukan sosok atau karya satu-dua mereka yang terpenting, tetapi paradigma yang terbentuk dalam perjalanan intelektual mereka saat itu.
Paradigma yang baru, yang muncul dari kegelisahan akan situasi, merupakan sesuatu yang berharga yang langka ditemukan saat ini. Dalam bidang kebudayaan, kita lebih banyak menghasilkan karya sastra daripada kajian sastra; lebih banyak novel daripada telaah dan pemikiran sungguh-sungguh tentang novel; lebih banyak kumpulan cerita daripada jurnal sastra; lebih banyak selebritis daripada para pemikir sastra; dan barangkali lebih banyak gosip dan isu tentang konflik antar-berbagai komunitas sastra daripada pemikiran yang tulus dan jernih tentang masalah sastra tertentu. Hal yang agak serupa juga terlihat dalam ranah pemikiran keagamaan: kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang penuh dengan rangsangan untuk membenci, provokasi, atau semacamnya daripada karya yang meletakkan agama untuk dikaji. Atau sebaliknya, kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang praktis, ringan, atau populer; daripada buku pemikiran agama.
Dua bidang di atas baru sekelumit contoh dari kompleksitas dunia pemikiran dewasa ini. Dalam keduanya terlihat gejala, dunia pemikiran begitu cepat kehilangan pesonanya akan kemendalaman. Gejala yang, barangkali, boleh disebut sebagai ''simplified-mindedness'', sebuah pola berpikir yang terlalu menyederhanakan.
Saat ini, perluasan pola pikir ekonomi (economy-minded), yang melihat segala sesuatu sebagai produk yang harus dijual, juga menjadi tantangan dunia pemikiran. Sebuah buku, di alam yang berpola pikir demikian, akan dilihat semata-mata sebagai produk yang keberhasilannya diukur dari laku-tidaknya buku tersebut. Keberhasilan buku itu tidak dilihat dari kualitas ide di dalamnya, melainkan dari seberapa banyak oplah buku itu laris. Intelektualisme kontemporer menjadikan pemikiran sebagai bisnis, dan bisnis sebagai pemikiran.
Jalan hidup seorang intelektual saat ini benar-benar di ambang kegamangan. Hanya ada satu pilihan baginya: menjadi seorang intelektual sejati yang mau bergulat dengan kegelisahan dan keterasingannya, dan mau memperjuangkan idenya. Atau menjadi intelektual tanpa intelektualisme, yang selalu kompromistis dan konformis dengan keadaan. (*)
(Muhammad Al-Fayyadl, Alumni Annuqayah 2002)
Menjadi intelektual di zaman yang penuh dengan godaan anti-intelektualisme tidaklah mudah. Menjadi intelektual berarti terlibat dalam persoalan-persoalan yang melingkupi lingkungan sekitar tanpa kehilangan integritas dan keotentikan. Persoalannya kemudian, mungkinkah mengambil posisi yang demikian saat ini?
Gempuran budaya populer yang dibawa oleh teknologi dan perkembangan audio-visual membawa konsekuensi yang tak terelakkan bagi pergeseran dunia pemikiran dewasa ini. Pengaruh budaya populer yang mengutamakan ''komunikativitas'' (communicativeness), yaitu tersampaikannya ide-ide menjadi lebih komunikatif di mata orang kebanyakan, telah mengubah cara seorang intelektual mengutarakan gagasannya. Dulu, kita terpikat dengan pemikiran-pemikiran intelektual yang mengutamakan abstraksi, yang mendalam dan sarat dengan muatan ide. Tetapi kini, kondisi yang berbeda membawa pemandangan yang berbeda pula, di mana seorang intelektual harus banyak menyesuaikan pemikirannya dengan tuntutan orang kebanyakan. Ia harus mengemas ide-idenya menjadi lebih atraktif dan komunikatif di hadapan orang lain.
Tuntutan eksternal untuk menjadi lebih komunikatif, lebih menarik, dan ''menghibur'', membawa akibat-akibat yang, pelan tapi pasti, membuat peran-peran intelektual kian merosot dari hari ke hari. Banyak intelektual yang hidup tanpa intelektualisme dalam pemikirannya. Para intelektual menjadi mudah tidak percaya diri jika ia harus menyampaikan gagasannya secara langsung kepada publik. Ia akan lebih merasa nyaman, merasa lebih ''enjoy'' (meminjam ungkapan sebuah iklan), jika ia mengemas terlebih dulu pemikirannya dalam bentuk-bentuk yang populer dan mudah dicerna.
Kemerosotan yang terjadi adalah terdistorsinya kebebasan kreatif seorang intelektual dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya. Setidak-tidaknya, ada satu hal yang terlihat kemudian, sebagai akibat dari kondisi tersebut, yaitu: begitu mudahnya dunia pemikiran dewasa ini terjatuh ke dalam sikap-sikap konformisme; sebuah sikap yang ditandai dengan pengiyaan secara tidak kreatif atas opini umum.
Buku, sebuah dokumen tertulis tentang pemikiran seseorang, barangkali bisa dianggap barometer dalam perjalanan seorang intelektual. Mengamati buku dan karya-karya intelektual yang dihasilkan dalam beberapa waktu belakangan ini, bisa diamati bersama betapa terpesonanya dunia pemikiran pada apa yang disebut dengan lazim sebagai ''trend''. ''Trend'' adalah ungkapan lain dari kepopuleran sebuah ide di mata publik kebanyakan. Sejauh mana sebuah karya dapat menyesuaikan diri dengan trend yang ada, tergantung dari sejauh mana karya tersebut mampu menampilkan dirinya secara renyah dan komunikatif bagi audiens. Dan, semakin ia trendy, semakin sebuah pemikiran dapat konformis (baca: selaras-sejalan) dengan keinginan publiknya, maka semakin ia populer dan ''sukses''.
''Popularisme'', konformisme, dan kegandrungan pada hal-hal yang menjadi buah bibir masyarakat pada umumnya dapat dirasakan secara kuat dalam bidang-bidang yang dulunya melahirkan eksperimen-eksperimen serius dalam dunia pemikiran; bidang-bidang keilmuan yang sebelumnya banyak memunculkan perdebatan-perdebatan yang mendalam, yang merangsang pemikiran generasi berikutnya; bidang-bidang pemikiran yang dahulu digarap dengan konsistensi pemikiran yang tangguh dan ulet. Bidang kebudayaan, misalnya, di Indonesia telah melahirkan seorang generasi intelektual seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang mengkaji dengan mendalam bentuk-bentuk kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan tradisi dan modernitas. Bukan sosok Takdir yang paling penting dalam hal ini, tetapi peran yang dia ambil dalam perdebatan itu yang membuatnya layak dihargai. Takdir, dalam beberapa karyanya, mungkin menunjukkan kualitas yang tidak sebaik apa yang digagasnya. Puisi-puisinya tidak sekuat pemikiran kebudayaannya; novel-novelnya tidak sekuat pemikirannya tentang sastra; dan seterusnya. Bukan karya Takdir itu sendiri yang penting untuk mendapat sorotan dalam konteks ini, melainkan apa yang terbentuk dari karya-karya itu, paradigma pemikiran yang konsisten disuarakan dari dalamnya (meskipun kita perlu meneliti juga inkonsistensinya), dan pertanyaan-pertanyaan menantang yang muncul dari interpretasi atas karya-karya itu.
Pemikiran di bidang keagamaan juga semakin langka memperlihatkan gairah akan kemendalaman dan kultur kajian yang sungguh-sungguh. Agak sulit mencari perdebatan yang mendalam seperti terlihat dari kajian tentang Islam dan sekularisme dalam pemikiran Nurcholish Madjid dan Natsir; tentang Islam dan budaya lokal dalam pemikiran Gus Dur muda; tentang agama dan modernisasi serta pembangunan dalam pemikiran Soedjatmoko. Seperti halnya dalam kasus Takdir di atas, bukan sosok pribadi Nurcholish atau Natsir, atau Soedjatmoko, yang menarik untuk diperbincangkan, melainkan yang terpenting adalah peran yang mereka ambil, posisi, dan sikap yang mereka perjuangkan, yang kemudian menentukan signifikansi pemikiran mereka dalam percaturan intelektual saat itu. Nurcholish menunjukkan beberapa pengulangan dalam karya-karyanya yang belakangan sehingga tidak sepenuhnya baru; Natsir tidak terlalu produktif di akhir-akhir hidupnya; Gus Dur kehilangan sentuhannya sebagai ilmuwan di usia tua karena kesibukannya dalam politik; atau Soedjatmoko yang terlalu berhati-hati dalam mengungkapkan gagasan. Bukan sosok atau karya satu-dua mereka yang terpenting, tetapi paradigma yang terbentuk dalam perjalanan intelektual mereka saat itu.
Paradigma yang baru, yang muncul dari kegelisahan akan situasi, merupakan sesuatu yang berharga yang langka ditemukan saat ini. Dalam bidang kebudayaan, kita lebih banyak menghasilkan karya sastra daripada kajian sastra; lebih banyak novel daripada telaah dan pemikiran sungguh-sungguh tentang novel; lebih banyak kumpulan cerita daripada jurnal sastra; lebih banyak selebritis daripada para pemikir sastra; dan barangkali lebih banyak gosip dan isu tentang konflik antar-berbagai komunitas sastra daripada pemikiran yang tulus dan jernih tentang masalah sastra tertentu. Hal yang agak serupa juga terlihat dalam ranah pemikiran keagamaan: kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang penuh dengan rangsangan untuk membenci, provokasi, atau semacamnya daripada karya yang meletakkan agama untuk dikaji. Atau sebaliknya, kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang praktis, ringan, atau populer; daripada buku pemikiran agama.
Dua bidang di atas baru sekelumit contoh dari kompleksitas dunia pemikiran dewasa ini. Dalam keduanya terlihat gejala, dunia pemikiran begitu cepat kehilangan pesonanya akan kemendalaman. Gejala yang, barangkali, boleh disebut sebagai ''simplified-mindedness'', sebuah pola berpikir yang terlalu menyederhanakan.
Saat ini, perluasan pola pikir ekonomi (economy-minded), yang melihat segala sesuatu sebagai produk yang harus dijual, juga menjadi tantangan dunia pemikiran. Sebuah buku, di alam yang berpola pikir demikian, akan dilihat semata-mata sebagai produk yang keberhasilannya diukur dari laku-tidaknya buku tersebut. Keberhasilan buku itu tidak dilihat dari kualitas ide di dalamnya, melainkan dari seberapa banyak oplah buku itu laris. Intelektualisme kontemporer menjadikan pemikiran sebagai bisnis, dan bisnis sebagai pemikiran.
Jalan hidup seorang intelektual saat ini benar-benar di ambang kegamangan. Hanya ada satu pilihan baginya: menjadi seorang intelektual sejati yang mau bergulat dengan kegelisahan dan keterasingannya, dan mau memperjuangkan idenya. Atau menjadi intelektual tanpa intelektualisme, yang selalu kompromistis dan konformis dengan keadaan. (*)
(Muhammad Al-Fayyadl, Alumni Annuqayah 2002)
as-Syarqawi Menyapa Anda...
Salam As-Syarqawi…
Assalamu’alaikum War. Wab
Di sana, pada labirin yang entah di mana akan bermuara, ada sebuah prasasti yang akan mengabadi bersama detak jarum jam yang meruntuhkan angka-angka. Dus, saat kita berucap ”Sayonara Annuqayah”, seolah bergunung-gunung amanat diselendangkan di bahu untuk dijaga, dirawat dan kelak akan dipertanggungjawabkan di peradilan-Nya.
Sahabat-sahabati yang dicintai Allah, di tengah-tengah gencarnya klaim miring terhadap alumi Annuqayah, khususnya yang ada di Jogja, “As-Syarqawi” kini hadir kembali dengan mengangkat diskusi tentang “Eksistensi Alumni Annuqayah dan sumbang sihnya terhadap Annuqayah. Sengaja, kami mengangkat tema tersebut dengan maksud untuk membuktikan bahwa kami akan selalu ada untuk Annuqayah, bahwa kami—walau sudah berucap sayonara—tetap merasa sebagai santri Annuqayah. Terlepas, para Kyai Annuqayah masih mengakui kami sebagai santri atau tidak.
Beberapa edisi sebelumnya, As-Syarqawi masih berupa tulisan-tulisan yang hanya termuat di blog/internet, pun pada waktu itu masih belum bernama As-Syarqawi, melainkan “NUN”, yang dirintis oleh Gus. M. Mustofa dan kawan-kawan. Namun, seiring dengan adanya berbagai hal, Ikatan Alumni Annuqayah Yogyakarta di bawah pimpinan Imam Mahdie Avandy, sepakat untuk merubah “Nun” menjadi “As-Syarqawi”, sebagai manifestasi dari rasa cinta-hormat kami kepada Kyai Syarqawi sang pendiri PP Annuqayah tercinta.
Besar harapan kami, agar kehadiran buletin ini dapat mewakili rasa cinta kami dan bahwa kami akan selalu ada untuk Annuqayah. Serta buletin ini diharpakan menjadi media silaturrahim yang akan terus mempererat jiwa persaudaraan dan menambah sikap kritis-inklusif dan humanis.
“As-Syarqawi” mengundang sahabat-sahabati, baik yang masih aktif di Annuqayah atau yang sudah menyandang predikat “Alumnia”, untuk bertukar pemikiran dan berdiskusi secara kreatif dalam edisi-edisi yang—insya Allah dan do’akan saja—akan terus terus terbit tiap sebulan sekali.
Team
Assalamu’alaikum War. Wab
Di sana, pada labirin yang entah di mana akan bermuara, ada sebuah prasasti yang akan mengabadi bersama detak jarum jam yang meruntuhkan angka-angka. Dus, saat kita berucap ”Sayonara Annuqayah”, seolah bergunung-gunung amanat diselendangkan di bahu untuk dijaga, dirawat dan kelak akan dipertanggungjawabkan di peradilan-Nya.
Sahabat-sahabati yang dicintai Allah, di tengah-tengah gencarnya klaim miring terhadap alumi Annuqayah, khususnya yang ada di Jogja, “As-Syarqawi” kini hadir kembali dengan mengangkat diskusi tentang “Eksistensi Alumni Annuqayah dan sumbang sihnya terhadap Annuqayah. Sengaja, kami mengangkat tema tersebut dengan maksud untuk membuktikan bahwa kami akan selalu ada untuk Annuqayah, bahwa kami—walau sudah berucap sayonara—tetap merasa sebagai santri Annuqayah. Terlepas, para Kyai Annuqayah masih mengakui kami sebagai santri atau tidak.
Beberapa edisi sebelumnya, As-Syarqawi masih berupa tulisan-tulisan yang hanya termuat di blog/internet, pun pada waktu itu masih belum bernama As-Syarqawi, melainkan “NUN”, yang dirintis oleh Gus. M. Mustofa dan kawan-kawan. Namun, seiring dengan adanya berbagai hal, Ikatan Alumni Annuqayah Yogyakarta di bawah pimpinan Imam Mahdie Avandy, sepakat untuk merubah “Nun” menjadi “As-Syarqawi”, sebagai manifestasi dari rasa cinta-hormat kami kepada Kyai Syarqawi sang pendiri PP Annuqayah tercinta.
Besar harapan kami, agar kehadiran buletin ini dapat mewakili rasa cinta kami dan bahwa kami akan selalu ada untuk Annuqayah. Serta buletin ini diharpakan menjadi media silaturrahim yang akan terus mempererat jiwa persaudaraan dan menambah sikap kritis-inklusif dan humanis.
“As-Syarqawi” mengundang sahabat-sahabati, baik yang masih aktif di Annuqayah atau yang sudah menyandang predikat “Alumnia”, untuk bertukar pemikiran dan berdiskusi secara kreatif dalam edisi-edisi yang—insya Allah dan do’akan saja—akan terus terus terbit tiap sebulan sekali.
Team
Ada Basecamp
Tahap Inisiasi
IAA merupakan salah satu “paguyuban intelektual dan sosial” yang di dalamnya terdiri dari para santri alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura, komunitasnya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya di kota Pelajar Yogyakarta. Salah satu wujud aksi sosial yang selama ini dilakukan adalah dengan proaktif dalam berbagai kegiatan yang berlevel akademik seperti berbaur dalam sejumlah Unit Kegiatan Mahasiswa, Organisasi Massa, Pergerakan Pemuda, dan sebagainya.
Semangat tersebut tidak terlepas dari nilai independensi dan pengalaman yang dimiliki teman-teman sewaktu masih dalam lingkungan pondok. Mereka bisa cepat beradaptasi dan memberikan kontribusi baik moril maupun materiil untuk kepentingan sosial dan akademik. Selang beberapa waktu berjalan, ternyata meningkatnya semangat tersebut tidak berbanding lurus dengan budaya kooperatif komunitas sendiri. Para alumni banyak yang terbuai dengan kesibukan masing-masing sehingga membuat paguyuban IAA terabaikan. Oleh karena itu, muncullah inisiatif yang cermat dari sebagian teman-teman untuk membuat basecamp sebagai wadah koordinasi yang ditetapkan dalam rapat kerja yang diselenggarakan di gedung Masjid Diponegoro Balai Kota Yogyakarta pada tanggal 19 April 2007.
Tujuan dari rencana pengadaan basecamp tersebut tidak terlepas dari kegelisahan teman-teman alumni yang hubungan emosionalnya mulai terasa renggang disebabkan banyak hal, di sisi lain tidak adanya wadah khusus dalam melaksanakan kegiatan rutin yang selama ini sudah dijalankan seperti diskusi mingguan dan tahlilan bersama. Semasa belum punya basecamp, teman-teman alumni menjadwalkan kegiatan secara kondisional baik tempat maupun waktunya seperti di kos dan tempat “ngopi”, namun hal ini dirasa kurang efektif. Dengan adanya basecamp diharapkan segala kegiatan rutin lebih efektif dan mendapat apresiasi dari semua teman-teman alumni.
Profil Basecamp
Basecamp IAA DIY resmi terbentuk pada tanggal 1 Juni 2008. Terletak di salah satu sudut pemukiman penduduk dan berdiri di antara kos-kosan mahasiswa. Proses pembentukannya bukan tidak mengalami hambatan, akan tetapi dengan berbagai proses panjang dan perjuangan. Apa sebab? Hal ini di latar belakangi oleh “keengganan” teman-teman alumni untuk hijrah dari kos lama atau dari tempat bermukim berupa basecamp lain yang dinilai sudah terasa mapan. Namun dengan berbagai pertimbangan yang bijak dan koordinasi yang maksimal akhirnya persoalan SDM tidak mengalami hambatan.
Pada taraf selanjutnya, teman-teman dibenturkan oleh problem dana. Tahapan ini memang tidak bisa dipungkiri sebab berdirinya basecamp ini murni dari swadaya teman-teman calon penghungni. Akan tetapi problem ini tidak kemudian menyurutkan semangat teman-teman untuk mengembangkan IAA D.I. Yogyakarta, yang salah satu modalitas vitalnya adalah dengan adanya basecamp. Pada akhirnya, tepat pada saat matahari hampir terbenam di ufuk barat teman-teman menemukan fiksasi tempat yang pas buat di jadikan basecamp, bangunan berlantai dua yang terdiri dari 12 kamar ini terletak di Gg. Ori 02 No. 6-F Papringan Catur Tunggal Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Berjarak sekitar 300 meter arah utara dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penghuni Basecamp
Pada tahun ajaran 2007-2008, penghuni basecamp masuk dalam kategori penghuni tetap dan pertama. Terdiri dari berbagai angkatan dan berbagai konsentrasi keilmuan. Adapun para penghuni basecamp IAA DIY disertai dengan jabatan masing-masing yang masih eksis hingga saat ini di antaranya:
Imam Mahdi Avandy
(Ketua Umum IAA DIY)
2005
Nuzulul Khair
Kepala Suku
2006
Imam Afifi Rokib
Kabag. Keamanan
2007
M. Takdir Ilahi
Kabag. Keuangan
2007
Siswadi
Kabag. Kebersihan
2007
M. Ali Mansur Sofyan
Kabag. Kesehatan
2007
Sofwan
Kabag. Perlengkapan
2007
Azizi Halim
Warga
2008
Zainal Abidin
Warga
2008
Anshori
Warga
2008
Ngayogyakarto, 22 Desember 2008
IAA merupakan salah satu “paguyuban intelektual dan sosial” yang di dalamnya terdiri dari para santri alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura, komunitasnya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya di kota Pelajar Yogyakarta. Salah satu wujud aksi sosial yang selama ini dilakukan adalah dengan proaktif dalam berbagai kegiatan yang berlevel akademik seperti berbaur dalam sejumlah Unit Kegiatan Mahasiswa, Organisasi Massa, Pergerakan Pemuda, dan sebagainya.
Semangat tersebut tidak terlepas dari nilai independensi dan pengalaman yang dimiliki teman-teman sewaktu masih dalam lingkungan pondok. Mereka bisa cepat beradaptasi dan memberikan kontribusi baik moril maupun materiil untuk kepentingan sosial dan akademik. Selang beberapa waktu berjalan, ternyata meningkatnya semangat tersebut tidak berbanding lurus dengan budaya kooperatif komunitas sendiri. Para alumni banyak yang terbuai dengan kesibukan masing-masing sehingga membuat paguyuban IAA terabaikan. Oleh karena itu, muncullah inisiatif yang cermat dari sebagian teman-teman untuk membuat basecamp sebagai wadah koordinasi yang ditetapkan dalam rapat kerja yang diselenggarakan di gedung Masjid Diponegoro Balai Kota Yogyakarta pada tanggal 19 April 2007.
Tujuan dari rencana pengadaan basecamp tersebut tidak terlepas dari kegelisahan teman-teman alumni yang hubungan emosionalnya mulai terasa renggang disebabkan banyak hal, di sisi lain tidak adanya wadah khusus dalam melaksanakan kegiatan rutin yang selama ini sudah dijalankan seperti diskusi mingguan dan tahlilan bersama. Semasa belum punya basecamp, teman-teman alumni menjadwalkan kegiatan secara kondisional baik tempat maupun waktunya seperti di kos dan tempat “ngopi”, namun hal ini dirasa kurang efektif. Dengan adanya basecamp diharapkan segala kegiatan rutin lebih efektif dan mendapat apresiasi dari semua teman-teman alumni.
Profil Basecamp
Basecamp IAA DIY resmi terbentuk pada tanggal 1 Juni 2008. Terletak di salah satu sudut pemukiman penduduk dan berdiri di antara kos-kosan mahasiswa. Proses pembentukannya bukan tidak mengalami hambatan, akan tetapi dengan berbagai proses panjang dan perjuangan. Apa sebab? Hal ini di latar belakangi oleh “keengganan” teman-teman alumni untuk hijrah dari kos lama atau dari tempat bermukim berupa basecamp lain yang dinilai sudah terasa mapan. Namun dengan berbagai pertimbangan yang bijak dan koordinasi yang maksimal akhirnya persoalan SDM tidak mengalami hambatan.
Pada taraf selanjutnya, teman-teman dibenturkan oleh problem dana. Tahapan ini memang tidak bisa dipungkiri sebab berdirinya basecamp ini murni dari swadaya teman-teman calon penghungni. Akan tetapi problem ini tidak kemudian menyurutkan semangat teman-teman untuk mengembangkan IAA D.I. Yogyakarta, yang salah satu modalitas vitalnya adalah dengan adanya basecamp. Pada akhirnya, tepat pada saat matahari hampir terbenam di ufuk barat teman-teman menemukan fiksasi tempat yang pas buat di jadikan basecamp, bangunan berlantai dua yang terdiri dari 12 kamar ini terletak di Gg. Ori 02 No. 6-F Papringan Catur Tunggal Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Berjarak sekitar 300 meter arah utara dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penghuni Basecamp
Pada tahun ajaran 2007-2008, penghuni basecamp masuk dalam kategori penghuni tetap dan pertama. Terdiri dari berbagai angkatan dan berbagai konsentrasi keilmuan. Adapun para penghuni basecamp IAA DIY disertai dengan jabatan masing-masing yang masih eksis hingga saat ini di antaranya:
Imam Mahdi Avandy
(Ketua Umum IAA DIY)
2005
Nuzulul Khair
Kepala Suku
2006
Imam Afifi Rokib
Kabag. Keamanan
2007
M. Takdir Ilahi
Kabag. Keuangan
2007
Siswadi
Kabag. Kebersihan
2007
M. Ali Mansur Sofyan
Kabag. Kesehatan
2007
Sofwan
Kabag. Perlengkapan
2007
Azizi Halim
Warga
2008
Zainal Abidin
Warga
2008
Anshori
Warga
2008
Ngayogyakarto, 22 Desember 2008
The Annuqayah Institute at Glance.....
The Annuqayah Institute merupakan sebuah lembaga independen di bawah naungan Organisasi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Istimewa Yogyakarta yang bergerak di bidang keilmuan, yang mencakup kajian-kajian ilmiah, kelompok penulis (media elektro, massa, dan audio), dan riset. Lembaga ini berdiri pada tahun 2007, tepatnya 19 April 2007, dari hasil Rapat Kerja Pengurus IAA DIY di Gedung Balai Kota, Masjid Diponegoro, Kota Yogyakarta yang bertujuan untuk mengaktualisasikan semua ide-ide besar di balik Organisasi IAA.
Lembaga yang lahir dari Departemen Pers dan Informasi ini, bagi sebagian warga IAA DIY, digunakan sebagai identitas tulisan mereka di media massa. Di samping itu, kajian-kajian kita semakin digerakkan sekaligus mengupayakan dunia tulis menulis di kalangan warga semakin ditingkatkan pula. Hal inilah yang setidaknya memberikan harapan lebih bagi IAA DIY, khususnya kedepannya, meskipun disana-sini masih seringkali mengalami kerepotan, tapi selalu diupayakan ada perbaikan dan peningkatan kualitas.
Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum IAA DIY, Imam Mahdi Avandy, bahwa The Annuqayah Institute memberikan impian dan terobosan baru dan sekaligus merupakan sebuah dinamika di tubuh organisasi IAA DIY sebagai geliat dan injeksi terhadap bakat dan keahlian warga. Di lain hal, The Annuqayah Institute juga merupakan sarana silaturami serta proses transfer pengetahuan.
Lahirnya The Annuqayah Institute yang kerap menjadi badan kajian, diskusi dan penelitian untuk kreativitas menulis di media massa. Dari sini lahir banyak penulis muda berbakat penerus generasi awal IAA Yogyakarta mulai sejak M. Maimun Syamsudin, Achmad Wahid, Faaizi El Kaelan, M. Mushthofa, Mohammad Al-Fayyadl, M. Yunus BS hingga M. Sanusi, Yusrianto Elga, Najanuddin Muhammad, Bernando J. Sujibto, Mohammad Fawaid, dan Nuzul Alif dan lain sebagainya. Dalam ranah kemampuan kreativitas menulis IAA, hampir terjadi di semua daerah, menjadi raja yang selalu mengusai media massa baik lokal atupun nasional. Hal itu terbukti dari karya mereka yang banyak tayang di jurnal, majalah ataupun koran.
Lembaga yang lahir dari Departemen Pers dan Informasi ini, bagi sebagian warga IAA DIY, digunakan sebagai identitas tulisan mereka di media massa. Di samping itu, kajian-kajian kita semakin digerakkan sekaligus mengupayakan dunia tulis menulis di kalangan warga semakin ditingkatkan pula. Hal inilah yang setidaknya memberikan harapan lebih bagi IAA DIY, khususnya kedepannya, meskipun disana-sini masih seringkali mengalami kerepotan, tapi selalu diupayakan ada perbaikan dan peningkatan kualitas.
Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum IAA DIY, Imam Mahdi Avandy, bahwa The Annuqayah Institute memberikan impian dan terobosan baru dan sekaligus merupakan sebuah dinamika di tubuh organisasi IAA DIY sebagai geliat dan injeksi terhadap bakat dan keahlian warga. Di lain hal, The Annuqayah Institute juga merupakan sarana silaturami serta proses transfer pengetahuan.
Lahirnya The Annuqayah Institute yang kerap menjadi badan kajian, diskusi dan penelitian untuk kreativitas menulis di media massa. Dari sini lahir banyak penulis muda berbakat penerus generasi awal IAA Yogyakarta mulai sejak M. Maimun Syamsudin, Achmad Wahid, Faaizi El Kaelan, M. Mushthofa, Mohammad Al-Fayyadl, M. Yunus BS hingga M. Sanusi, Yusrianto Elga, Najanuddin Muhammad, Bernando J. Sujibto, Mohammad Fawaid, dan Nuzul Alif dan lain sebagainya. Dalam ranah kemampuan kreativitas menulis IAA, hampir terjadi di semua daerah, menjadi raja yang selalu mengusai media massa baik lokal atupun nasional. Hal itu terbukti dari karya mereka yang banyak tayang di jurnal, majalah ataupun koran.
IAA Jogja dalam Pusaran Waktu ke Waktu
Suatu komunitas adalah wadah bagi kebersamaan dan kenyamaan bagi mereka yang mempunyai visi dan misi sama, dari tempat (tempaan) yang sama, merasakan proses yang sama, dan bahkan jalan dan tujuan hidup yang sama. Namun yang terakhir tentu jarang terjadi. Terlepas dari itu, sebuah ikatan adalah batas untuk pemersatu rasa (rindu, benci, dan sayang). Kualitas kebersamaan kadang diukur secara matematis dari loyalitas kepada komunitas, ikatan, dan wadah untuk berkumpul.
Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Istimewa Yogyakarta terbentuk dalam suasana seperti itu; merasakan nasib sama di rantau, menyambung rasa kebersamaan senasib dan seperjuangan yang sempat terjalin sejak di Pondok Pesantren Annuqayah. Ikatan alumni semacam ini tidak akan pernah aus oleh waktu. Jika pun akhirnya harus “tidak ada” dan tidak dilanjutkan oleh generasi berikutnya, ia akan menjadi lebih garang dan kerap menghantui pikiran—ruang komunitasnya pun bukan lagi di ruang publik (public sphere) verbal seperti organisasi, pertemuan, rapat dll. Namun, ia merambah ke pikiran mereka masing-masing, membentuk komunitas di ruang pikiran, semacam rasa rindu, kesunyian, dan kekhawatiran-kekhawatiran yang datang mendadak. Ia tentu lebih kuat dari sekedar komunitas terbayang (imaged community).
Di tahun 1987, alumni-alumni Annuqayah yang ada di Yogyakarta membentuk perkumpulan kultural, semacam peguyuban bersama—bagi media ngobrol, kongkow bareng, minum kopi, berkreasi, cerita-cerita—bermarkas di Losmen Hantu, daerah Gajah Wong, Gowok Yogyakarta. Dari fase ini banyak perkembangan di tubuh IAA Yogyakarta yang saling kait-mendukung terbentuknya sebuah wadah ikatan atau komunitas pada masa selanjutnya. Di awal tahun 1990-an, di tengah-tengah mati-surinya geliat IAA, sebuah terobosan diambil oleh Alumni Annuqayah untuk membuat bentuk riil wadah bersama itu, yaitu menjadi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) yang hingga sekarang masih berdenyar di dada kami masing-masing, Alumni Pondok Pesantren Annuqayah di Yogyakarta.
Meskipun dalam perjalanan mendapatkan pasang surut yang tajam, teman-teman IAA masih terus mengawal dan menggawangi perjalanan IAA yang telah menjadi badan organisasi ini. Tahun 1998, di tengah kondisi Negara yang chaos demi mengimpikan adanya sebuah reformasi IAA justru bangkit, dari organisasi yang hanya bermodalkan emosi-kultural menjadi organisasi yang mempunyai badan dan manajemen keorganisasian yang baik. Hal ini terbukti pada tahun 2002 ketika mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) dan Pemilihan Ketua Baru yang bertempat di Gedung Islamic Center, Babarsasi Yogyakarta, serta mengadakan rapat kerja sekaligus pengawalan kader yang cukup mumpuni. Namun pada awal tahun 2005 seiring dengan perombakan besar-besaran di tubuh organisasi IAA, yakni adanya sentralisasi kepengurusan yang berpusat di PP. Annuqayah dari hasil pertemuan lintas daerah di Malang Jawa Timur yang akhirnya mengadakan pertemua alumni di PP. Annuqayah dengan perbincangan yang alot dan panjang, salah satunya adalah mempreteli AD/ART IAA. Di daerah-daerah justru mengalami kemadekan termasuk di Jogja sendiri. Kurang lebih 1,5 tahun IAA DIY bisa dikatakan fakum.
Awal Tahun 2007 kemarin pembacaannya mulai serius dengan mengadakan konsolidasi-konsolidasi hingga akhirnya membentuk struktur kepengurusan, membahas program kerja (raker), hingga sepakat nge-camp bareng di area Pabringan, Depok, Sleman Yogyakarta. Sehingga pusat kegiatan IAA bisa bersumbu di sini. Perkembangan IAA selajutnya semakin masif. Mulai dari diskusi hingga badan kajian khusus mulai diperbincangkan oleh mereka demi berkontribusi kepada perkembangan zaman.
Kini, Alumni Annuqayah yang tersebar di Yogyakarta ada 118 orang dengan berbagai latar belakang profesi, angkatan dan pendidikan yang berbeda. Mulai dari dosen/guru, PNS, POLRI/TNI, Wiraswasta, mahasiswa/pelajar dan lain sebagainya. (Sumber: Data Litbang IAA DIY per-Desember 2008). Dan pada awal tahun 2008, IAA DIY mempunyai Baschamp yang berlokasi di Jl. Ori 2 No. 6/F Papringan Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta, berlantai 2 dengan 12 kamar dengan kategori penghuni tetap dan tidak tetap (warga IAA DIY keseluruhan). Tujuan dari Baschamp ini yang merupakan cita-cita awal pada waktu Raker IAA DIY periode 2007/2009 adalah sebagai wahana radikalisasi-konsentrasi warga IAA DIY dalam berbagai kegiatan dan kajian.
Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Daerah Istimewa Yogyakarta terbentuk dalam suasana seperti itu; merasakan nasib sama di rantau, menyambung rasa kebersamaan senasib dan seperjuangan yang sempat terjalin sejak di Pondok Pesantren Annuqayah. Ikatan alumni semacam ini tidak akan pernah aus oleh waktu. Jika pun akhirnya harus “tidak ada” dan tidak dilanjutkan oleh generasi berikutnya, ia akan menjadi lebih garang dan kerap menghantui pikiran—ruang komunitasnya pun bukan lagi di ruang publik (public sphere) verbal seperti organisasi, pertemuan, rapat dll. Namun, ia merambah ke pikiran mereka masing-masing, membentuk komunitas di ruang pikiran, semacam rasa rindu, kesunyian, dan kekhawatiran-kekhawatiran yang datang mendadak. Ia tentu lebih kuat dari sekedar komunitas terbayang (imaged community).
Di tahun 1987, alumni-alumni Annuqayah yang ada di Yogyakarta membentuk perkumpulan kultural, semacam peguyuban bersama—bagi media ngobrol, kongkow bareng, minum kopi, berkreasi, cerita-cerita—bermarkas di Losmen Hantu, daerah Gajah Wong, Gowok Yogyakarta. Dari fase ini banyak perkembangan di tubuh IAA Yogyakarta yang saling kait-mendukung terbentuknya sebuah wadah ikatan atau komunitas pada masa selanjutnya. Di awal tahun 1990-an, di tengah-tengah mati-surinya geliat IAA, sebuah terobosan diambil oleh Alumni Annuqayah untuk membuat bentuk riil wadah bersama itu, yaitu menjadi Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) yang hingga sekarang masih berdenyar di dada kami masing-masing, Alumni Pondok Pesantren Annuqayah di Yogyakarta.
Meskipun dalam perjalanan mendapatkan pasang surut yang tajam, teman-teman IAA masih terus mengawal dan menggawangi perjalanan IAA yang telah menjadi badan organisasi ini. Tahun 1998, di tengah kondisi Negara yang chaos demi mengimpikan adanya sebuah reformasi IAA justru bangkit, dari organisasi yang hanya bermodalkan emosi-kultural menjadi organisasi yang mempunyai badan dan manajemen keorganisasian yang baik. Hal ini terbukti pada tahun 2002 ketika mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) dan Pemilihan Ketua Baru yang bertempat di Gedung Islamic Center, Babarsasi Yogyakarta, serta mengadakan rapat kerja sekaligus pengawalan kader yang cukup mumpuni. Namun pada awal tahun 2005 seiring dengan perombakan besar-besaran di tubuh organisasi IAA, yakni adanya sentralisasi kepengurusan yang berpusat di PP. Annuqayah dari hasil pertemuan lintas daerah di Malang Jawa Timur yang akhirnya mengadakan pertemua alumni di PP. Annuqayah dengan perbincangan yang alot dan panjang, salah satunya adalah mempreteli AD/ART IAA. Di daerah-daerah justru mengalami kemadekan termasuk di Jogja sendiri. Kurang lebih 1,5 tahun IAA DIY bisa dikatakan fakum.
Awal Tahun 2007 kemarin pembacaannya mulai serius dengan mengadakan konsolidasi-konsolidasi hingga akhirnya membentuk struktur kepengurusan, membahas program kerja (raker), hingga sepakat nge-camp bareng di area Pabringan, Depok, Sleman Yogyakarta. Sehingga pusat kegiatan IAA bisa bersumbu di sini. Perkembangan IAA selajutnya semakin masif. Mulai dari diskusi hingga badan kajian khusus mulai diperbincangkan oleh mereka demi berkontribusi kepada perkembangan zaman.
Kini, Alumni Annuqayah yang tersebar di Yogyakarta ada 118 orang dengan berbagai latar belakang profesi, angkatan dan pendidikan yang berbeda. Mulai dari dosen/guru, PNS, POLRI/TNI, Wiraswasta, mahasiswa/pelajar dan lain sebagainya. (Sumber: Data Litbang IAA DIY per-Desember 2008). Dan pada awal tahun 2008, IAA DIY mempunyai Baschamp yang berlokasi di Jl. Ori 2 No. 6/F Papringan Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta, berlantai 2 dengan 12 kamar dengan kategori penghuni tetap dan tidak tetap (warga IAA DIY keseluruhan). Tujuan dari Baschamp ini yang merupakan cita-cita awal pada waktu Raker IAA DIY periode 2007/2009 adalah sebagai wahana radikalisasi-konsentrasi warga IAA DIY dalam berbagai kegiatan dan kajian.
Tawa Perempuan
(Sumber: Suara Pembaruan, 03 Nopember 2007)
Ruangan itu masih tampak lusuh. Sobekan kertas tak bertuan berserakan di pinggiran tong sampah, tak sempat menggapai lubangnya. Ada aroma sejuk dari hembusan napas dedah dedaunan di luar jendela, begitu membentur kulit tembok tak berkelambu. Lalu mendenting dan lama kelamaan bersendawa melabrak putaran jarum jam yang begitu lamban berdetak. Seseorang berjalan lamban menuju salah satu sisi gelap, mencari celah buat sekadar menghirup udara. Seberkas cahaya rembulan melindap ke dipan yang di atasnya berjejer alat rias kecantikan. Menyiratkan bahwa penghuninya adalah perempuan. Sesekali tatapan matanya menghadap ke langit-langit rumah, berputar ke sekeliling bertautan mata kiri dan mata kanan. Kali ini menepi ke gagang pintu diiringi kedipan alis matanya, tegang seakan mencoba membuka pintu yang memang sudah nyata tertutup rapat. Mata itu mulai lelah dan kembali merebah ke pelukan kelopaknya. Lampu neon di kamar itu meredup, pinggirannya menghitam menyulitkan kornea mata memandang isi kamar ukuran mini. Perempuan itu seorang diri, berteman lamunan sepanjang malam menjelang.
Kota di mana perempuan itu tinggal, memang sudah tampak sepi. Lalu lalang kendaraan kembali berjarak sekitar lima belas ketukan. Layaknya kota mati, hingga suara ombak di lautan terdengar desirannya sayup-sayup ke telinga. Malam kembali mendiskusikan maut dan menawarkan teh hangat bagi para pecandu. Bayang menjadi sekat-sekat yang melebur ke genangan air di aspal sepanjang bumi yang basah. Di sela-sela genangan itu ada sisa gelembung yang menjelma tawa perempuan malam. Setiap musim penghujan, gelembung akan meletup-letup histeris menyita perhatian orang-orang di sekitar. Termasuk para penjual kacang rebus yang sempat berjam-jam terbata.
"Ini salah satu pertanda keberkahan nasib kota ini", seru Pak Mustamin penjual kacang rebus pada beberapa abang becak yang mulai magang di area sederhana itu.
Semenjak dua tahun terakhir kota itu seperti terkena guna-guna. Kota yang dulunya makmur dan ramah pada orang-orang yang hendak melepas lelah, saat ini situasinya amat menyayat hati penduduk. Tak ada lagi keramahan, bencana datang beruntun, kelaparan merajalela, hingga menjadikan kota ini tidak lagi bertaring. Kenangan keceriaan bocah kecil yang bermain petak umpet, belajar mengaji, suara tawa tukang ojek menunggu penumpang pun tak lagi terbahasakan bahkan oleh sebait syair pujangga.
"Barangkali putri dewa hujan dibuang ke bumi karena telah melanggar titah," Somad menimpali. Ia adalah tukang becak termuda di lingkungannya. Somad putus sekolah setelah uang simpanan hasil mengayuh becak terkuras habis untuk prosesi pemakaman ayahnya, mati dibunuh ibunya sendiri. Sedangkan yang lain mendengarkan penjelasan Somad dengan saksama. Mereka akhirnya sepakat akan mengadakan upacara penghormatan tiap malam Jumat, mengelilingi genangan air bersuara tawa perempuan. Mereka pun berlalu satu-persatu menanggalkan gelap.
*
Perempuan itu masih di kamar, rambut terurai panjang. Ini adalah malam ketiga baginya mendekam diri. Pesona ayu masih jelas menggetarkan naluri seseorang yang memandang. Seorang lelaki, memandang matanya adalah bunuh diri yang berpahala. Tangannya yang lembut memegang lembaran kertas putih serupa folio, tapi lebih tebal dan lebih putih. Di kamar itu ada banyak koleksi buku berbagai judul, tapi yang berserakan di meja perempuan itu adalah tema-tema cinta tak kesampaian. Satu judul dengan judul-judul yang lain seakan menutup perasaannya sebagai manusia yang tidak lagi dalam koridor kekasih waktu. Pelukan tangannya pada pena, akan menggores cipratan sebuah noktah kelam kisah yang mulai menghilang ke antah berantah. Tapi sampai tiga malam berlalu tak ada satu pun coretan yang dijamahnya. Bukan karena lelah, tapi karena perempuan itu menunggu dedaunan, angin, air, gerimis, api, dan tanah menjelajah ke matanya menuju ke satu titik. Yakni kubangan kecil berisikan air tepat di depan rumahnya. Lalu bumi mengundang langit bersenggama hingga kubangan itu mencipta teriakan yang menyayat hati para penduduk.
Dalam kesendirian, perempuan itu teringat masa-masa saat bersama lelaki pujaan. Lelaki gagah dengan langkahnya begitu rapi selaras dengan wajah tampan selaksa tempias purnama. Setiap hari perempuan duduk di depan teras, lurus arah pagar agar gampang terlihat orang. Lelaki gagah pasti lewat di depan rumahnya. Khayalan perempuan terus mengalir terbawa kata-kata batin. Dan sampailah saat ia pada saat menegur lelaki dengan salam dan lambaian tangan penuh telisik. Hal itu berulang kali ia lakukan bahkan berbulan-bulan, namun tidak ada respon sama sekali dari lelaki gagah. Hanya tawa sinis dan kata-kata sesumbar keluar dari mulut tipisnya tepat ketika ia berjalan sampai di kubangan. Lelaki pun membelok ke kanan menuju bangunan dengan kubah biru dan menghilang bagai ditelan tempias lampu kota.
Orang-orang di sekitar rumahnya tahu bahwa lelaki itu adalah orang yang paling baik dan sabar di kotanya. Selalu mengumbar senyum dan membantu setiap orang yang tertimpa kesulitan, namun tidak padanya. Pada perempuan yang mendekam di kamar di siang hari, dan malamnya melukis liuk tubuhnya dengan kesunyian dan kegelapan. Pekerjaan lelaki gagah itu setiap hari adalah bolak-balik menuju bangunan berkubah biru sambil membawa selendang dan peci. Sebelum fajar, lelaki itu memanggil orang-orang untuk bangun. Setiap rumah penduduk diketuk satu-persatu dan menyuruh mereka untuk segera bergegas menuju bangunan berkubah biru. Lelaki gagah sering bilang, "bangunlah kalian agar kedamaian dan keberkahan senantiasa mengalir di kota ini".
Beberapa waktu pun berlalu, kota mulai damai dan kehidupan sejahtera. Penduduk tidak lagi membutuhkan lelaki gagah. Sambil diarak dan dicaci-maki lelaki gagah diusir dari kota itu karena suaranya dianggap mengganggu orang tua, anak kecil, dan semua penduduk yang masih tepekur di waktu fajar. Hanya perempuan di teras itu yang peduli pada kepergian lelaki gagah. Kepergian lelaki gagah membuat hati perempuan di teras murung beberapa waktu lamanya. Baginya, tanpa melihat lelaki gagah hidupnya tidak lagi berarti walau tegurannya tiap pagi tidak pernah dihiraukan. Suara burung berkicauan menambah galau hatinya kala itu. Kota pun gersang dan gedung tidak lagi memutih, dan bencana datang tiada henti bersamaan dengan kepergian lelaki gagah.
*
Sesajen dan dupa sudah dipersiapkan semenjak senja tidak lagi berarak. Tetamu yang kemungkinan menghadiri ritual itu tidaklah orang sembarangan, tapi hasil peranakan gua dan pedukuhan bahkan perdukunan. Termasuk Pak Mustamin dan Somad menyibukkan diri dengan keranda cokelat dipenuhi lilitan janur kuning dan di dalamnya kembang tujuh rupa. Perempuan di kamar memandangnya dengan tersipu malu. Ternyata semakin hari penduduk kota ini munafik pada ari-arinya, yang lebih punya perasaan dan mengerti langkahnya untuk beranjak.
Pak Romli yang dituakan mulai menyalakan dupa. Wajahnya komat-kamit membaca mantra.
"Ambil tongkat ini dan tancapkan di tengah-tengah kubangan", ucapnya pada orang-orang di sampingnya. Semua orang berebut hendak meraih tongkat berkepala ular berbahan cendana. Semua mata menatap lekat ke kubangan, laki-laki dan perempuan berjejer membentuk lingkaran. Orang pertama yang bisa menancapkan tongkat tepat di rusuk kubangan aspal akan mendapat keberkahan bagi keluarganya dan untuk kota yang telah mati.
Malam semakin larut, tapi suara teriakan histeris tak kunjung muncul. Desiran angin hanya lewat melewati celah-celah sempit lorong dari arah utara. Angin selatan masih tersandera. Suara kodok di persawahan menambah riuh perasaan penduduk menanti bunyi yang dinanti-nanti. Sejurus kemudian, angin berhenti melambai dedaunan. Samar-samar kubangan mulai meletup-letup dan suara histeris melengking ke udara. Gerombolan tangan mulai berebut menjamah satu-satunya tongkat di area itu. Semakin lama tongkat kian menjauh dan suara lengkingan semakin menjadi-jadi. Dan, crass...!, satu tubuh lunglai ke tanah bersimbah darah. Kemudian disusul teriakan tubuh itu dengan kesakitan yang mendalam. Suasana kian riuh-ricuh. Sesosok tubuh kembali terhempas ke aspal dengan darah mengucur dari batok kepalanya. Kali ini teriakannya lebih keras. Akhirnya tongkat itu merenggut nyawa orang-orang di sekitar kubangan. Rembulan melihat kejadian itu dengan tetesan air mata yang kemudian menjelma gerimis kemerahan.
Perlahan, perempuan keluar dari kamar mendatangi sekumpulan tubuh yang tidak lagi bernyawa. Di tangannya ada lembaran kertas putih dan beberapa botol kosong bekas minuman. Darah yang bersimbah di aspal di masukkan ke dalam botol dan disiramkan ke tongkat berkepala ular berbahan cendana. Kemudian dengan linangan air mata perempuan itu menancapkan tongkat ke tengah-tengah kubangan. Tawa perempuan tidak lagi terdengar dan di kubangan itu muncul wajah lelaki gagah. Bibirnya seakan berteriak dan mensabdakan; "ambillah kain penutup tubuh telanjangmu dan aku tunggu engkau di bangunan berkubah biru". ***
(Nuzul Alif, Alumni Annuqayah 2006)
Ruangan itu masih tampak lusuh. Sobekan kertas tak bertuan berserakan di pinggiran tong sampah, tak sempat menggapai lubangnya. Ada aroma sejuk dari hembusan napas dedah dedaunan di luar jendela, begitu membentur kulit tembok tak berkelambu. Lalu mendenting dan lama kelamaan bersendawa melabrak putaran jarum jam yang begitu lamban berdetak. Seseorang berjalan lamban menuju salah satu sisi gelap, mencari celah buat sekadar menghirup udara. Seberkas cahaya rembulan melindap ke dipan yang di atasnya berjejer alat rias kecantikan. Menyiratkan bahwa penghuninya adalah perempuan. Sesekali tatapan matanya menghadap ke langit-langit rumah, berputar ke sekeliling bertautan mata kiri dan mata kanan. Kali ini menepi ke gagang pintu diiringi kedipan alis matanya, tegang seakan mencoba membuka pintu yang memang sudah nyata tertutup rapat. Mata itu mulai lelah dan kembali merebah ke pelukan kelopaknya. Lampu neon di kamar itu meredup, pinggirannya menghitam menyulitkan kornea mata memandang isi kamar ukuran mini. Perempuan itu seorang diri, berteman lamunan sepanjang malam menjelang.
Kota di mana perempuan itu tinggal, memang sudah tampak sepi. Lalu lalang kendaraan kembali berjarak sekitar lima belas ketukan. Layaknya kota mati, hingga suara ombak di lautan terdengar desirannya sayup-sayup ke telinga. Malam kembali mendiskusikan maut dan menawarkan teh hangat bagi para pecandu. Bayang menjadi sekat-sekat yang melebur ke genangan air di aspal sepanjang bumi yang basah. Di sela-sela genangan itu ada sisa gelembung yang menjelma tawa perempuan malam. Setiap musim penghujan, gelembung akan meletup-letup histeris menyita perhatian orang-orang di sekitar. Termasuk para penjual kacang rebus yang sempat berjam-jam terbata.
"Ini salah satu pertanda keberkahan nasib kota ini", seru Pak Mustamin penjual kacang rebus pada beberapa abang becak yang mulai magang di area sederhana itu.
Semenjak dua tahun terakhir kota itu seperti terkena guna-guna. Kota yang dulunya makmur dan ramah pada orang-orang yang hendak melepas lelah, saat ini situasinya amat menyayat hati penduduk. Tak ada lagi keramahan, bencana datang beruntun, kelaparan merajalela, hingga menjadikan kota ini tidak lagi bertaring. Kenangan keceriaan bocah kecil yang bermain petak umpet, belajar mengaji, suara tawa tukang ojek menunggu penumpang pun tak lagi terbahasakan bahkan oleh sebait syair pujangga.
"Barangkali putri dewa hujan dibuang ke bumi karena telah melanggar titah," Somad menimpali. Ia adalah tukang becak termuda di lingkungannya. Somad putus sekolah setelah uang simpanan hasil mengayuh becak terkuras habis untuk prosesi pemakaman ayahnya, mati dibunuh ibunya sendiri. Sedangkan yang lain mendengarkan penjelasan Somad dengan saksama. Mereka akhirnya sepakat akan mengadakan upacara penghormatan tiap malam Jumat, mengelilingi genangan air bersuara tawa perempuan. Mereka pun berlalu satu-persatu menanggalkan gelap.
*
Perempuan itu masih di kamar, rambut terurai panjang. Ini adalah malam ketiga baginya mendekam diri. Pesona ayu masih jelas menggetarkan naluri seseorang yang memandang. Seorang lelaki, memandang matanya adalah bunuh diri yang berpahala. Tangannya yang lembut memegang lembaran kertas putih serupa folio, tapi lebih tebal dan lebih putih. Di kamar itu ada banyak koleksi buku berbagai judul, tapi yang berserakan di meja perempuan itu adalah tema-tema cinta tak kesampaian. Satu judul dengan judul-judul yang lain seakan menutup perasaannya sebagai manusia yang tidak lagi dalam koridor kekasih waktu. Pelukan tangannya pada pena, akan menggores cipratan sebuah noktah kelam kisah yang mulai menghilang ke antah berantah. Tapi sampai tiga malam berlalu tak ada satu pun coretan yang dijamahnya. Bukan karena lelah, tapi karena perempuan itu menunggu dedaunan, angin, air, gerimis, api, dan tanah menjelajah ke matanya menuju ke satu titik. Yakni kubangan kecil berisikan air tepat di depan rumahnya. Lalu bumi mengundang langit bersenggama hingga kubangan itu mencipta teriakan yang menyayat hati para penduduk.
Dalam kesendirian, perempuan itu teringat masa-masa saat bersama lelaki pujaan. Lelaki gagah dengan langkahnya begitu rapi selaras dengan wajah tampan selaksa tempias purnama. Setiap hari perempuan duduk di depan teras, lurus arah pagar agar gampang terlihat orang. Lelaki gagah pasti lewat di depan rumahnya. Khayalan perempuan terus mengalir terbawa kata-kata batin. Dan sampailah saat ia pada saat menegur lelaki dengan salam dan lambaian tangan penuh telisik. Hal itu berulang kali ia lakukan bahkan berbulan-bulan, namun tidak ada respon sama sekali dari lelaki gagah. Hanya tawa sinis dan kata-kata sesumbar keluar dari mulut tipisnya tepat ketika ia berjalan sampai di kubangan. Lelaki pun membelok ke kanan menuju bangunan dengan kubah biru dan menghilang bagai ditelan tempias lampu kota.
Orang-orang di sekitar rumahnya tahu bahwa lelaki itu adalah orang yang paling baik dan sabar di kotanya. Selalu mengumbar senyum dan membantu setiap orang yang tertimpa kesulitan, namun tidak padanya. Pada perempuan yang mendekam di kamar di siang hari, dan malamnya melukis liuk tubuhnya dengan kesunyian dan kegelapan. Pekerjaan lelaki gagah itu setiap hari adalah bolak-balik menuju bangunan berkubah biru sambil membawa selendang dan peci. Sebelum fajar, lelaki itu memanggil orang-orang untuk bangun. Setiap rumah penduduk diketuk satu-persatu dan menyuruh mereka untuk segera bergegas menuju bangunan berkubah biru. Lelaki gagah sering bilang, "bangunlah kalian agar kedamaian dan keberkahan senantiasa mengalir di kota ini".
Beberapa waktu pun berlalu, kota mulai damai dan kehidupan sejahtera. Penduduk tidak lagi membutuhkan lelaki gagah. Sambil diarak dan dicaci-maki lelaki gagah diusir dari kota itu karena suaranya dianggap mengganggu orang tua, anak kecil, dan semua penduduk yang masih tepekur di waktu fajar. Hanya perempuan di teras itu yang peduli pada kepergian lelaki gagah. Kepergian lelaki gagah membuat hati perempuan di teras murung beberapa waktu lamanya. Baginya, tanpa melihat lelaki gagah hidupnya tidak lagi berarti walau tegurannya tiap pagi tidak pernah dihiraukan. Suara burung berkicauan menambah galau hatinya kala itu. Kota pun gersang dan gedung tidak lagi memutih, dan bencana datang tiada henti bersamaan dengan kepergian lelaki gagah.
*
Sesajen dan dupa sudah dipersiapkan semenjak senja tidak lagi berarak. Tetamu yang kemungkinan menghadiri ritual itu tidaklah orang sembarangan, tapi hasil peranakan gua dan pedukuhan bahkan perdukunan. Termasuk Pak Mustamin dan Somad menyibukkan diri dengan keranda cokelat dipenuhi lilitan janur kuning dan di dalamnya kembang tujuh rupa. Perempuan di kamar memandangnya dengan tersipu malu. Ternyata semakin hari penduduk kota ini munafik pada ari-arinya, yang lebih punya perasaan dan mengerti langkahnya untuk beranjak.
Pak Romli yang dituakan mulai menyalakan dupa. Wajahnya komat-kamit membaca mantra.
"Ambil tongkat ini dan tancapkan di tengah-tengah kubangan", ucapnya pada orang-orang di sampingnya. Semua orang berebut hendak meraih tongkat berkepala ular berbahan cendana. Semua mata menatap lekat ke kubangan, laki-laki dan perempuan berjejer membentuk lingkaran. Orang pertama yang bisa menancapkan tongkat tepat di rusuk kubangan aspal akan mendapat keberkahan bagi keluarganya dan untuk kota yang telah mati.
Malam semakin larut, tapi suara teriakan histeris tak kunjung muncul. Desiran angin hanya lewat melewati celah-celah sempit lorong dari arah utara. Angin selatan masih tersandera. Suara kodok di persawahan menambah riuh perasaan penduduk menanti bunyi yang dinanti-nanti. Sejurus kemudian, angin berhenti melambai dedaunan. Samar-samar kubangan mulai meletup-letup dan suara histeris melengking ke udara. Gerombolan tangan mulai berebut menjamah satu-satunya tongkat di area itu. Semakin lama tongkat kian menjauh dan suara lengkingan semakin menjadi-jadi. Dan, crass...!, satu tubuh lunglai ke tanah bersimbah darah. Kemudian disusul teriakan tubuh itu dengan kesakitan yang mendalam. Suasana kian riuh-ricuh. Sesosok tubuh kembali terhempas ke aspal dengan darah mengucur dari batok kepalanya. Kali ini teriakannya lebih keras. Akhirnya tongkat itu merenggut nyawa orang-orang di sekitar kubangan. Rembulan melihat kejadian itu dengan tetesan air mata yang kemudian menjelma gerimis kemerahan.
Perlahan, perempuan keluar dari kamar mendatangi sekumpulan tubuh yang tidak lagi bernyawa. Di tangannya ada lembaran kertas putih dan beberapa botol kosong bekas minuman. Darah yang bersimbah di aspal di masukkan ke dalam botol dan disiramkan ke tongkat berkepala ular berbahan cendana. Kemudian dengan linangan air mata perempuan itu menancapkan tongkat ke tengah-tengah kubangan. Tawa perempuan tidak lagi terdengar dan di kubangan itu muncul wajah lelaki gagah. Bibirnya seakan berteriak dan mensabdakan; "ambillah kain penutup tubuh telanjangmu dan aku tunggu engkau di bangunan berkubah biru". ***
(Nuzul Alif, Alumni Annuqayah 2006)
Gus Dur Dan PKB Pascakasasi MA
(Media Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008 00:01 WIB)
Ternyata sejarah tidak selalu linier. Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang selalu menang dalam konflik internal (PKB) kini takluk di hadapan keponakannya sendiri, Muhaimin Iskandar. Mahkamah Agung (MA) telah menolak dua kasasi yang diajukan Gus Dur karena pemecatannya dianggap tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berapa waktu lalu. Penolakan MA tersebut secara yuridis menggagalkan pemecatan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan sekjennya, Lukman Edy.
Ini sejarah baru bagi Gus Dur dan PKB. Sekalipun MA memenangkan PKB kubu Muhaimin, posisi Gus Dur tetap memiliki pengaruh politik dalam tubuh PKB karena posisinya adalah Ketua Dewan Syuro. Akar masalah yang terjadi berada di tingkatan Tanfidziyah. Artinya, sekalipun MA telah memutuskan demikian, itu bukan berarti suatu keputusan anugerah bagi internal PKB kubu Muhaimin. Apalagi Gus Dur tampaknya belum bisa menerima keputusan tersebut. Jika nantinya Gus Dur tetap memilih opsi yang tidak kompromistis, rekonsiliasi atau islah tetap tidak menjadi pilihannya, masa depan PKB di tangan Muhaimin tidak akan besar.
Apabila Gus Dur keluar dari PKB, bagaimana nasib PKB di tangan Muhaimin? Warga nahdiyin tidak ada jaminan akan solid bertahan di PKB, pasti tercerai-berai suara politiknya. Warga nahdiyin akan tidak bisa dimobilisasi untuk berkonsensus secara utuh dalam menyikapi persoalan-persoalan yang bersifat politis. Karena itu, secara tidak langsung, fakta tersebut akan mempersulit NU secara kelembagaan atau PKB untuk mengakomodasi dan memenuhi kepentingan politik warga nahdiyin itu sendiri.
Kecemasan semacam itu juga dimiliki oleh KH Abdul Aziz Mansyur selaku Ketua Dewan Syuro PKB Ancol. Dia mengharapkan Gus Dur mau memilih islah. Menurutnya, PKB saat ini membutuhkan orang-orang yang telah membesarkannya. Sementara itu, Ketua Panitia MLB PKB Parung Effendy Choirie menyatakan bahwa suka tidak suka, senang tidak senang, semuanya harus mematuhi hukum. Semua pihak diminta untuk menerima keputusan MA. Menurutnya, konflik tidak akan membuat partai menjadi besar.
Ingkar genesis
Henry J Schmandt (A History of Political Philosophy, 1960), memaknai genesis parpol sebagai asumsi dasar mengapa parpol tersebut terlahir. Kalau nantinya Gus Dur benar-benar keluar dari PKB, itu berarti Gus Dur mengingkari genesis PKB itu sendiri dan mengorbankan warga NU hanya demi kepentingan politiknya.
Selain itu, masyarakat mungkin masih ingat dengan sambutan Gus Dur saat deklarasi PKB, bahwa PKB lahir sebagai bayaran utang PBNU atas tagihan masyarakat NU yang berkali-kali datang memintanya untuk mendirikan parpol. Jadi, kalau Gus Dur mengkhianati genesis PKB, berarti mengkhianati warga nahdiyin. Warga NU akan kehilangan 'rumah politik yang akan menaunginya'. Karena sekalipun orang NU memiliki banyak partai semisal, PPP, PKNU, PNUI, dan PKNU, semuanya tidak memiliki relasi historis-politis yang kuat dengan NU.
Menurut hemat penulis, apa yang dikatakan Ketua PBNU Masdar Farid Mas'udi sangat arif menyikapi konflik ini. Menurutnya, keputusan MA yang menolak kasasi Gus Dur harus diambil hikmahnya bagi kedua kubu yang berseteru. Itu adalah kesempatan baik untuk kembali merajut keutuhan partai. Lupakan semua perseteruan meskipun untuk itu sangat berat. Itu pengorbanan demi keutuhan warga nahdiyin dan bangsa pada umumnya.
Apa yang dikatakan Masdar penting sebenarnya untuk diapresiasi dan dijadikan bahan pertimbangan oleh Gus Dur dalam mengambil kebijakan politiknya pascakasasi, demi masa depan warga NU. Islah atau rekonsiliasi adalah solusi yang tepat untuk menata PKB menuju 2009. Keputusan itu akan memberikan daya tarik terdiri bagi masyarakat, bahwa Gus Dur bukan 'manusia setengah dewa di PKB', sosok yang mau menghargai hukum di dalam tradisi politik kita yang kian pragmatis. Masyarakat akan tersadarkan, PKB memiliki figur yang demokratis.
(Fathor Rahman MD, Alumni Annuqayah 2005)
Ternyata sejarah tidak selalu linier. Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang selalu menang dalam konflik internal (PKB) kini takluk di hadapan keponakannya sendiri, Muhaimin Iskandar. Mahkamah Agung (MA) telah menolak dua kasasi yang diajukan Gus Dur karena pemecatannya dianggap tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berapa waktu lalu. Penolakan MA tersebut secara yuridis menggagalkan pemecatan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan sekjennya, Lukman Edy.
Ini sejarah baru bagi Gus Dur dan PKB. Sekalipun MA memenangkan PKB kubu Muhaimin, posisi Gus Dur tetap memiliki pengaruh politik dalam tubuh PKB karena posisinya adalah Ketua Dewan Syuro. Akar masalah yang terjadi berada di tingkatan Tanfidziyah. Artinya, sekalipun MA telah memutuskan demikian, itu bukan berarti suatu keputusan anugerah bagi internal PKB kubu Muhaimin. Apalagi Gus Dur tampaknya belum bisa menerima keputusan tersebut. Jika nantinya Gus Dur tetap memilih opsi yang tidak kompromistis, rekonsiliasi atau islah tetap tidak menjadi pilihannya, masa depan PKB di tangan Muhaimin tidak akan besar.
Apabila Gus Dur keluar dari PKB, bagaimana nasib PKB di tangan Muhaimin? Warga nahdiyin tidak ada jaminan akan solid bertahan di PKB, pasti tercerai-berai suara politiknya. Warga nahdiyin akan tidak bisa dimobilisasi untuk berkonsensus secara utuh dalam menyikapi persoalan-persoalan yang bersifat politis. Karena itu, secara tidak langsung, fakta tersebut akan mempersulit NU secara kelembagaan atau PKB untuk mengakomodasi dan memenuhi kepentingan politik warga nahdiyin itu sendiri.
Kecemasan semacam itu juga dimiliki oleh KH Abdul Aziz Mansyur selaku Ketua Dewan Syuro PKB Ancol. Dia mengharapkan Gus Dur mau memilih islah. Menurutnya, PKB saat ini membutuhkan orang-orang yang telah membesarkannya. Sementara itu, Ketua Panitia MLB PKB Parung Effendy Choirie menyatakan bahwa suka tidak suka, senang tidak senang, semuanya harus mematuhi hukum. Semua pihak diminta untuk menerima keputusan MA. Menurutnya, konflik tidak akan membuat partai menjadi besar.
Ingkar genesis
Henry J Schmandt (A History of Political Philosophy, 1960), memaknai genesis parpol sebagai asumsi dasar mengapa parpol tersebut terlahir. Kalau nantinya Gus Dur benar-benar keluar dari PKB, itu berarti Gus Dur mengingkari genesis PKB itu sendiri dan mengorbankan warga NU hanya demi kepentingan politiknya.
Selain itu, masyarakat mungkin masih ingat dengan sambutan Gus Dur saat deklarasi PKB, bahwa PKB lahir sebagai bayaran utang PBNU atas tagihan masyarakat NU yang berkali-kali datang memintanya untuk mendirikan parpol. Jadi, kalau Gus Dur mengkhianati genesis PKB, berarti mengkhianati warga nahdiyin. Warga NU akan kehilangan 'rumah politik yang akan menaunginya'. Karena sekalipun orang NU memiliki banyak partai semisal, PPP, PKNU, PNUI, dan PKNU, semuanya tidak memiliki relasi historis-politis yang kuat dengan NU.
Menurut hemat penulis, apa yang dikatakan Ketua PBNU Masdar Farid Mas'udi sangat arif menyikapi konflik ini. Menurutnya, keputusan MA yang menolak kasasi Gus Dur harus diambil hikmahnya bagi kedua kubu yang berseteru. Itu adalah kesempatan baik untuk kembali merajut keutuhan partai. Lupakan semua perseteruan meskipun untuk itu sangat berat. Itu pengorbanan demi keutuhan warga nahdiyin dan bangsa pada umumnya.
Apa yang dikatakan Masdar penting sebenarnya untuk diapresiasi dan dijadikan bahan pertimbangan oleh Gus Dur dalam mengambil kebijakan politiknya pascakasasi, demi masa depan warga NU. Islah atau rekonsiliasi adalah solusi yang tepat untuk menata PKB menuju 2009. Keputusan itu akan memberikan daya tarik terdiri bagi masyarakat, bahwa Gus Dur bukan 'manusia setengah dewa di PKB', sosok yang mau menghargai hukum di dalam tradisi politik kita yang kian pragmatis. Masyarakat akan tersadarkan, PKB memiliki figur yang demokratis.
(Fathor Rahman MD, Alumni Annuqayah 2005)
Kritik (Sastra) Pembuka Tahun
(Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Februari 2007)
DISKURSUS seputar kritik dan apresiasi karya sastra tak akan ada habisnya selama pencarian kreativitas-imajinatif masih, meminjam istilah Arif B. Prasetyo, konsisten dengan pencarian pembaruan (concern with newness). Dalam perjalanan khazanah kesusastraan, dinamika karya sastra dan kritiknya adalah sebuah keniscayaan.
Keduanya seperti dua mata uang yang saling membentuk (atau menciptakan) dan "merekonstruksi" sebuah kekuatan yang terkandung sebagai kekayaan atas keduanya.
Pada titik inilah keduanya menjadi suatu hal yang perlu dioptimalkan peran sekaligus peranannya. Keduanya harus dicari titik relevansi pencerahannya yang pada gilirannya melahirkan dinamika harmonis-mutualistik, keduanya saling mewarnai dan menjadi kesatuan yang padu.
Bahkan, bagi sebagian kritikus sastra, kritik sastra yang baik harus seperti karya sastra itu sendiri. Artinya, kritik sastra yang baik harus juga bisa menjadi sebuah karya yang netral seperti halnya karya sastra tersebut.
Dalam pandangan penulis, kritikus sastra di Tanah Air tak ubahnya seperti seorang hamba yang "terjebak metodologi". Dominasi metodelogi dalam kritik sastra dengan segenap perangkatnya selalu menciptakan determinasi bahkan reduksi besar-besaran terhadap karya sastra. Karya sastra seolah mempunyai satu ruang interpretasi ketika metodologi--yang selama ini menjadi "proyek" akademik--menjadi suatu penentu dasar dan pakem yang paten.
Posisi karya sastra yang otonom dan merdeka sebagai sebuah teks untuk segala zaman tidak mendapatkan ruang apresiasi yang semestinya. Bahkan ironisnya, kritik sastra yang (dianggap) baik dan bertuah oleh banyak kalangan adalah kritik sastra yang selalu merujuk pada tataran historisasi, periodisasi, genreisasi sastra gaya akademik yang kental dengan perangkat metodologi an sich.
Ketekunan H.B. Jassin mengamati khazanah kesusastraan kita benar-benar menjadi "paus" bahkan raja yang harus diamini. Satu sisi, Jassin menjadi kebanggaan kita karena berhasil membaca karya sastra dengan tekun dan serius. Namun, di sisi lain hasil Jassin benar-benar menjadi patokan baku dan mereduksi pembacaan kritis terhadap karya sastra generasi selanjutnya.
Pembacaan karya sastra seakan cukup dengan periodesasi, genre, unsur-unsur "mentah" lain. Usaha menelanjanginya hingga tulang putihnya, meminjam istilah Chairil Anwar, belum bernyali.
Hasil pekerjaan Jassin yang telah mengklasifikasi karya sastra dan sastrawannya dalam periode, aliran, dan jenis-jenis, disadari atau tidak, memengaruhi dan mereduksi daya interpretasi intelektualitas kita terhadap karya sastra.
Anehnya, kegandrungan kritikus kita masih terpaku dalam hal ini. Kritikus sastra kita seperti terjangkit sindrom metode tentang periodisasi dan unsur-unsur sempit karya sastra itu sendiri.
Tak aneh jika kemudian ada suara minor bahwa perkembangan kritik sastra kita sama sekali tidak mempunyai arah yang mencerahkan sebagai jembatan transformatif mendialogkan karya sastra dengan masyarakat luas.
Menarik kita mengetahui wawancara Jorge Luis Borges di salah satu majalah sastra Prancis, Le Magazine Litteraire bulan Juni 1977. Waktu itu Borges sama sekali tidak bisa melihat.
Borges ditanya, kenapa tidak suka dengan teori sastra akademik (literary schools). Jawaban Borges adalah the literary schools are made for the historians of the literature, i.e. for the opposite of the men of letters (sastra akademik dibuat untuk sejarawan sastra, berseberangan dengan sastrawan sendiri).
Borges justru mengagumi khazanah sastra Persia, Irak, dan Arab klasik yang tidak mempunyai sejarah kesusastraan. Dia percaya karya sastra yang baik adalah eternal (abadi) dan tak lekang oleh waktu seperti ketika membaca karya puisi Hafiz ataupun karya sastrawan Persia yang lain seperti Rumi.
Karya-karya mereka, meminjam istilah Borges, beyond the dates, of the schools. Karena pembacaan terhadap karya sastra tanpa memedulikan kapan lahir (karya klasik maupun up to date), genre, dan semacamnya akan melahirkan nuansa yang lebih enjoy (enjoy it perhaps better).
Hal senada sempat dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri ketika menanggapi "surat sastra dari Jogja"-nya Joko Pinurbo yang menggugat larik puisinya yang salah cetak oleh redaktur dan dimuat rubrik puisi Bentara Harian Kompas tahun 2004. Sutardji dengan tenang mengatakan bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang tidak lekang meski dipermak dengan cara apa pun. Baginya, karya sastra yang baik seperti batu karang, meskipun dihantam berkali-kali keganasan gelombang, batu karang tetaplah batu karang!
Mencari Kritikus yang Lain
Mencari kritikus sastra yang lain di atas adalah sebuah ironi bagi perjalanan kritik sastra Tanah Air. Yang dibutuhkan sekarang, sebagai sugesti sastra, bagaimana kritikus mampu membaca "sisi lain" sebuah karya sastra.
Majalah sastra dan koran-koran yang memuat esai dan kritik sastra semestinya sudah evaluasi diri. Majalah sastra Horison, sebagai representasi majalah sastra Indonesia, seharusnya menyajikan esai yang cerdas, tidak mengulang-ulang kajian yang sebelumnya sudah pernah disentuh.
Esai Maman S. Mahayana di Horison beberapa waktu lalu (saya lupa tanggal terbitnya) tentang pembacaannya terhadap Rendra tak ubahnya seperti mengulang romantisme sejarah. Rendra yang lekat dengan nuansa balada, puisi pamflet, dan kritik sosialnya yang pedas dalam karya-karyanya dalam esai itu kembali diungkit.
Apa yang dapat diambil pembaca? Sama sekali pertanyaan itu tidak butuh jawaban karena semuanya telah jelas. Kenapa sisi lain Rendra, seperti dimensi religiositasnya dalam sepak terjang karya-karyanya tidak pernah disentil secara khusus?
Jadi, pencarian pembaruan (concern with newness) bukan hanya bagi sastrawan, tapi juga kritikus, menjadi elan vital terciptanya tradisi kritik yang menohok dan cerdas.
Sekarang kita butuh kritikus yang otonom dan bahkan--dalam tahap tertentu--harus "individualis". Hal ini sah saja mengingat karya sastra itu sendiri ambivalen dan personal.
Sebenarnya, kalau mau disadari, munculnya motode kritik yang telah legal-formal bagi kaum akademisi itu pada mulanya ialah "eksprimentasi personal" dan semacam kegelisahan seseorang terhadap suatu hal (karya sastra).
Namun, perlu disadari bahwa penerapan pembacaan semacam ini tentu menuntut beberapa prangkat pisau analisis yang perlu ditajamkan dan kreativitas kritikus terhadap karya sastra. Ketika kesadaran semacam ini telah tersentuh, hal yang niscaya jika dunia kesusastraan dan kritiknya akan lebih dewasa di tahun berikutnya.
Dunia kesusastran kita kan lebih cerah menatap masa depannya. Selamat tahun baru sastra Tanah Air!
(Bernando J. Sujibto, Alumni Annuqayah 2004)
DISKURSUS seputar kritik dan apresiasi karya sastra tak akan ada habisnya selama pencarian kreativitas-imajinatif masih, meminjam istilah Arif B. Prasetyo, konsisten dengan pencarian pembaruan (concern with newness). Dalam perjalanan khazanah kesusastraan, dinamika karya sastra dan kritiknya adalah sebuah keniscayaan.
Keduanya seperti dua mata uang yang saling membentuk (atau menciptakan) dan "merekonstruksi" sebuah kekuatan yang terkandung sebagai kekayaan atas keduanya.
Pada titik inilah keduanya menjadi suatu hal yang perlu dioptimalkan peran sekaligus peranannya. Keduanya harus dicari titik relevansi pencerahannya yang pada gilirannya melahirkan dinamika harmonis-mutualistik, keduanya saling mewarnai dan menjadi kesatuan yang padu.
Bahkan, bagi sebagian kritikus sastra, kritik sastra yang baik harus seperti karya sastra itu sendiri. Artinya, kritik sastra yang baik harus juga bisa menjadi sebuah karya yang netral seperti halnya karya sastra tersebut.
Dalam pandangan penulis, kritikus sastra di Tanah Air tak ubahnya seperti seorang hamba yang "terjebak metodologi". Dominasi metodelogi dalam kritik sastra dengan segenap perangkatnya selalu menciptakan determinasi bahkan reduksi besar-besaran terhadap karya sastra. Karya sastra seolah mempunyai satu ruang interpretasi ketika metodologi--yang selama ini menjadi "proyek" akademik--menjadi suatu penentu dasar dan pakem yang paten.
Posisi karya sastra yang otonom dan merdeka sebagai sebuah teks untuk segala zaman tidak mendapatkan ruang apresiasi yang semestinya. Bahkan ironisnya, kritik sastra yang (dianggap) baik dan bertuah oleh banyak kalangan adalah kritik sastra yang selalu merujuk pada tataran historisasi, periodisasi, genreisasi sastra gaya akademik yang kental dengan perangkat metodologi an sich.
Ketekunan H.B. Jassin mengamati khazanah kesusastraan kita benar-benar menjadi "paus" bahkan raja yang harus diamini. Satu sisi, Jassin menjadi kebanggaan kita karena berhasil membaca karya sastra dengan tekun dan serius. Namun, di sisi lain hasil Jassin benar-benar menjadi patokan baku dan mereduksi pembacaan kritis terhadap karya sastra generasi selanjutnya.
Pembacaan karya sastra seakan cukup dengan periodesasi, genre, unsur-unsur "mentah" lain. Usaha menelanjanginya hingga tulang putihnya, meminjam istilah Chairil Anwar, belum bernyali.
Hasil pekerjaan Jassin yang telah mengklasifikasi karya sastra dan sastrawannya dalam periode, aliran, dan jenis-jenis, disadari atau tidak, memengaruhi dan mereduksi daya interpretasi intelektualitas kita terhadap karya sastra.
Anehnya, kegandrungan kritikus kita masih terpaku dalam hal ini. Kritikus sastra kita seperti terjangkit sindrom metode tentang periodisasi dan unsur-unsur sempit karya sastra itu sendiri.
Tak aneh jika kemudian ada suara minor bahwa perkembangan kritik sastra kita sama sekali tidak mempunyai arah yang mencerahkan sebagai jembatan transformatif mendialogkan karya sastra dengan masyarakat luas.
Menarik kita mengetahui wawancara Jorge Luis Borges di salah satu majalah sastra Prancis, Le Magazine Litteraire bulan Juni 1977. Waktu itu Borges sama sekali tidak bisa melihat.
Borges ditanya, kenapa tidak suka dengan teori sastra akademik (literary schools). Jawaban Borges adalah the literary schools are made for the historians of the literature, i.e. for the opposite of the men of letters (sastra akademik dibuat untuk sejarawan sastra, berseberangan dengan sastrawan sendiri).
Borges justru mengagumi khazanah sastra Persia, Irak, dan Arab klasik yang tidak mempunyai sejarah kesusastraan. Dia percaya karya sastra yang baik adalah eternal (abadi) dan tak lekang oleh waktu seperti ketika membaca karya puisi Hafiz ataupun karya sastrawan Persia yang lain seperti Rumi.
Karya-karya mereka, meminjam istilah Borges, beyond the dates, of the schools. Karena pembacaan terhadap karya sastra tanpa memedulikan kapan lahir (karya klasik maupun up to date), genre, dan semacamnya akan melahirkan nuansa yang lebih enjoy (enjoy it perhaps better).
Hal senada sempat dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri ketika menanggapi "surat sastra dari Jogja"-nya Joko Pinurbo yang menggugat larik puisinya yang salah cetak oleh redaktur dan dimuat rubrik puisi Bentara Harian Kompas tahun 2004. Sutardji dengan tenang mengatakan bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang tidak lekang meski dipermak dengan cara apa pun. Baginya, karya sastra yang baik seperti batu karang, meskipun dihantam berkali-kali keganasan gelombang, batu karang tetaplah batu karang!
Mencari Kritikus yang Lain
Mencari kritikus sastra yang lain di atas adalah sebuah ironi bagi perjalanan kritik sastra Tanah Air. Yang dibutuhkan sekarang, sebagai sugesti sastra, bagaimana kritikus mampu membaca "sisi lain" sebuah karya sastra.
Majalah sastra dan koran-koran yang memuat esai dan kritik sastra semestinya sudah evaluasi diri. Majalah sastra Horison, sebagai representasi majalah sastra Indonesia, seharusnya menyajikan esai yang cerdas, tidak mengulang-ulang kajian yang sebelumnya sudah pernah disentuh.
Esai Maman S. Mahayana di Horison beberapa waktu lalu (saya lupa tanggal terbitnya) tentang pembacaannya terhadap Rendra tak ubahnya seperti mengulang romantisme sejarah. Rendra yang lekat dengan nuansa balada, puisi pamflet, dan kritik sosialnya yang pedas dalam karya-karyanya dalam esai itu kembali diungkit.
Apa yang dapat diambil pembaca? Sama sekali pertanyaan itu tidak butuh jawaban karena semuanya telah jelas. Kenapa sisi lain Rendra, seperti dimensi religiositasnya dalam sepak terjang karya-karyanya tidak pernah disentil secara khusus?
Jadi, pencarian pembaruan (concern with newness) bukan hanya bagi sastrawan, tapi juga kritikus, menjadi elan vital terciptanya tradisi kritik yang menohok dan cerdas.
Sekarang kita butuh kritikus yang otonom dan bahkan--dalam tahap tertentu--harus "individualis". Hal ini sah saja mengingat karya sastra itu sendiri ambivalen dan personal.
Sebenarnya, kalau mau disadari, munculnya motode kritik yang telah legal-formal bagi kaum akademisi itu pada mulanya ialah "eksprimentasi personal" dan semacam kegelisahan seseorang terhadap suatu hal (karya sastra).
Namun, perlu disadari bahwa penerapan pembacaan semacam ini tentu menuntut beberapa prangkat pisau analisis yang perlu ditajamkan dan kreativitas kritikus terhadap karya sastra. Ketika kesadaran semacam ini telah tersentuh, hal yang niscaya jika dunia kesusastraan dan kritiknya akan lebih dewasa di tahun berikutnya.
Dunia kesusastran kita kan lebih cerah menatap masa depannya. Selamat tahun baru sastra Tanah Air!
(Bernando J. Sujibto, Alumni Annuqayah 2004)
Kapitalisme Pendidikan
(Sindo, 4 September 2008)
Beberapa tahun ini iklim pendidikan kita dihadapkan pada dua persoalan yang sangat paradoks. Di satu sisi luka perih pendidikan kita merasa terobati dengan prestasi pelajar Indonesia yang tiap tahun memenangi Olimpiade Internasional.
Kabar itu seakan menandaskan bahwa pendidikan kita sudah dapat bersaing dalam kancah yang lebih luas. Namun, di sisi lain, kita banyak disuguhi kabar mengenaskan ihwal kondisi anak-anak Indonesia yang menjadi buruh atau kuli.
Banyak di antara mereka yang dengan kondisi terpaksa karena himpitan ekonomi harus putus sekolah. Kalaupun memang ingin mengenyam pendidikan, mereka ditempatkan di sekolah perdesaan dengan fasilitas terbatas, gedung kumuh, atap bocor, dan guru seadanya.
Pada tahun ini beberapa pelajar Karisma Bangsa telah mendapat medali emas dari ajang kontes penelitian bergengsi dengan tema International Young Inventor Project Olympiad (IYIPO) di Georgia. Pelajar Indonesia telah mampu menorehkan prestasi setelah menang dalam bersaing dengan koleganya dari 22 negara.
Hal ini memang merupakan prestasi lanjutan dari tahun sebelumnya setelah Teuku Mahfuzh Aufar Kari (SMA 10 Fajar Harapan Banda Aceh), Moh Faiz (SMAN 1 Pacitan), William (SMA Sutomo Medan), dan Vicentius (SMA St Louis I Surabaya) membawa harum negeri ini dengan berhasil membawa dua medali perak dan dua medali perunggu dari ajang bergengsi Olimpiade Kimia Internasional (International Chemistry Olympiad) ke-29 di Moskow, Rusia.
Namun, jangan heran jika di balik segelintir pelajar kita yang telah menorehkan prestasi itu, ternyata masih lebih banyak anak telantar dan anak yang terpaksa mengenyam pendidikan seadanya di perdesaan. Laporan UNICEF menyatakan, 26 persen dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun kartu tanda penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, dan tanpa masa lalu ini ada sekitar 23,5 juta.
Bila identitas mereka sudah tidak jelas,apalagi sekolahnya. Kalau terpaksa mengenyam pendidikan, mereka bersekolah di bekas kandang ayam. Di antaranya seperti Sekolah Dasar (SD) Islam Darul Ihsan, Ciburial, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang beberapa fasilitasnya memang sudah tak layak pakai. Jangankan mengimpikan komputer dan internet, tempat duduk dan papan tulisnya saja sudah layak untuk bara api (Kompas, 10/5).
Tidak jauh mengenaskan dari kondisi SD di Enggano, yakni di Desa Kahyapu, Ka’ana, Malakoni, Apoho, dan Banjarsari yang tiap sekolah hanya memiliki tiga ruang kelas yang digunakan siswa kelas I hingga siswa kelas VI. Dengan demikian, untuk mengatakan bahwa pendidikan Indonesia kian membaik adalah suatu yang paradoks.
Ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang dicipta oleh sistem pendidikan masih cukup kental terjadi. Bagi kalangan elite, mereka mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit atau yang dikenal dengan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang secara kualitas mumpuni, sedangkan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah sekolahnya di pinggiran yang terkadang gurunya pas-pasan, sarananya minim, dan ironisnya banyak kalangan yang tak mampu memasukkan anaknya ke sekolah lantaran masalah finansial.
Dengan berlatar ketimpangan sekolah yang dipicu oleh kemiskinan, timpang pula masa depannya. Karena miskin, tidak bisa bersekolah atau bersekolah tapi di daerah pinggiran yang serba berkekurangan. Tidak bisa bersekolah, lalu tidak mampu mengubah nasib. Terus saja miskin.
Bahkan kemiskinan dan keterbelakangan diturunkan dari generasi ke generasi (Dr Willy Toisuta, 2005). Korelasi antara kemiskinan dan pendidikan menjadi spiral yang terus membiak apabila tak segera diatasi. Dalam konteks inilah, benar apa yang dikatakan Paulo Fraire (2005) bahwa pendidikan kerap dijadikan sebagai alat ampuh praktik penindasan.
Kapitalisasi Pendidikan
Permasalahan mendasar dari semua itu adalah terjadinya praktik kapitalisasi pendidikan. Pendidikan yang sejatinya menjadi hak semua warga negara tanpa mengenal kelas, apakah itu kaya atau miskin, telah tergiring pada praktik jual beli pendidikan.
Dengan memakai logika “siapa yang berduit akan mengenyam sekolah elite berkualitas dan mereka yang miskin terpuruk dalam sekolahsekolah yang mengenaskan”, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta jurang pemisah antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.
Terjadinya kapitalisasi pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah yang secara lambat laun mulai lepas tangan. Sejatinya memang pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka apabila pemerintah mulai undur diri, beberapa lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri mulai memakai logika pasar dalam mengelola pendidikan.
Tidak serta-merta menyalahkan beberapa lembaga pendidikan yang menaikkan biaya melambung tinggi karena mereka sudah diliarkan oleh pemerintah untuk mengelola lembaganya secara otonom. Pemerintah secara tidak langsung telah mengamini atau bahkan menjual pendidikan kita pada pasar.
Hal ini mulai tampak ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam peraturan itu tertera bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 persen.
Akan disusul juga dengan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang targetnya akan disahkan tahun 2008 ini. Apabila dari beberapa peraturan pemerintah yang menggiring terjadinya kapitalisasi pendidikan terus dibiarkan begitu saja, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta pemenang dan pecundang. (*)
(Najamuddin Muhammad, Alumni Annuqayah 2005)
Beberapa tahun ini iklim pendidikan kita dihadapkan pada dua persoalan yang sangat paradoks. Di satu sisi luka perih pendidikan kita merasa terobati dengan prestasi pelajar Indonesia yang tiap tahun memenangi Olimpiade Internasional.
Kabar itu seakan menandaskan bahwa pendidikan kita sudah dapat bersaing dalam kancah yang lebih luas. Namun, di sisi lain, kita banyak disuguhi kabar mengenaskan ihwal kondisi anak-anak Indonesia yang menjadi buruh atau kuli.
Banyak di antara mereka yang dengan kondisi terpaksa karena himpitan ekonomi harus putus sekolah. Kalaupun memang ingin mengenyam pendidikan, mereka ditempatkan di sekolah perdesaan dengan fasilitas terbatas, gedung kumuh, atap bocor, dan guru seadanya.
Pada tahun ini beberapa pelajar Karisma Bangsa telah mendapat medali emas dari ajang kontes penelitian bergengsi dengan tema International Young Inventor Project Olympiad (IYIPO) di Georgia. Pelajar Indonesia telah mampu menorehkan prestasi setelah menang dalam bersaing dengan koleganya dari 22 negara.
Hal ini memang merupakan prestasi lanjutan dari tahun sebelumnya setelah Teuku Mahfuzh Aufar Kari (SMA 10 Fajar Harapan Banda Aceh), Moh Faiz (SMAN 1 Pacitan), William (SMA Sutomo Medan), dan Vicentius (SMA St Louis I Surabaya) membawa harum negeri ini dengan berhasil membawa dua medali perak dan dua medali perunggu dari ajang bergengsi Olimpiade Kimia Internasional (International Chemistry Olympiad) ke-29 di Moskow, Rusia.
Namun, jangan heran jika di balik segelintir pelajar kita yang telah menorehkan prestasi itu, ternyata masih lebih banyak anak telantar dan anak yang terpaksa mengenyam pendidikan seadanya di perdesaan. Laporan UNICEF menyatakan, 26 persen dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun kartu tanda penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, dan tanpa masa lalu ini ada sekitar 23,5 juta.
Bila identitas mereka sudah tidak jelas,apalagi sekolahnya. Kalau terpaksa mengenyam pendidikan, mereka bersekolah di bekas kandang ayam. Di antaranya seperti Sekolah Dasar (SD) Islam Darul Ihsan, Ciburial, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang beberapa fasilitasnya memang sudah tak layak pakai. Jangankan mengimpikan komputer dan internet, tempat duduk dan papan tulisnya saja sudah layak untuk bara api (Kompas, 10/5).
Tidak jauh mengenaskan dari kondisi SD di Enggano, yakni di Desa Kahyapu, Ka’ana, Malakoni, Apoho, dan Banjarsari yang tiap sekolah hanya memiliki tiga ruang kelas yang digunakan siswa kelas I hingga siswa kelas VI. Dengan demikian, untuk mengatakan bahwa pendidikan Indonesia kian membaik adalah suatu yang paradoks.
Ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang dicipta oleh sistem pendidikan masih cukup kental terjadi. Bagi kalangan elite, mereka mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit atau yang dikenal dengan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang secara kualitas mumpuni, sedangkan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah sekolahnya di pinggiran yang terkadang gurunya pas-pasan, sarananya minim, dan ironisnya banyak kalangan yang tak mampu memasukkan anaknya ke sekolah lantaran masalah finansial.
Dengan berlatar ketimpangan sekolah yang dipicu oleh kemiskinan, timpang pula masa depannya. Karena miskin, tidak bisa bersekolah atau bersekolah tapi di daerah pinggiran yang serba berkekurangan. Tidak bisa bersekolah, lalu tidak mampu mengubah nasib. Terus saja miskin.
Bahkan kemiskinan dan keterbelakangan diturunkan dari generasi ke generasi (Dr Willy Toisuta, 2005). Korelasi antara kemiskinan dan pendidikan menjadi spiral yang terus membiak apabila tak segera diatasi. Dalam konteks inilah, benar apa yang dikatakan Paulo Fraire (2005) bahwa pendidikan kerap dijadikan sebagai alat ampuh praktik penindasan.
Kapitalisasi Pendidikan
Permasalahan mendasar dari semua itu adalah terjadinya praktik kapitalisasi pendidikan. Pendidikan yang sejatinya menjadi hak semua warga negara tanpa mengenal kelas, apakah itu kaya atau miskin, telah tergiring pada praktik jual beli pendidikan.
Dengan memakai logika “siapa yang berduit akan mengenyam sekolah elite berkualitas dan mereka yang miskin terpuruk dalam sekolahsekolah yang mengenaskan”, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta jurang pemisah antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.
Terjadinya kapitalisasi pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah yang secara lambat laun mulai lepas tangan. Sejatinya memang pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka apabila pemerintah mulai undur diri, beberapa lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri mulai memakai logika pasar dalam mengelola pendidikan.
Tidak serta-merta menyalahkan beberapa lembaga pendidikan yang menaikkan biaya melambung tinggi karena mereka sudah diliarkan oleh pemerintah untuk mengelola lembaganya secara otonom. Pemerintah secara tidak langsung telah mengamini atau bahkan menjual pendidikan kita pada pasar.
Hal ini mulai tampak ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam peraturan itu tertera bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 persen.
Akan disusul juga dengan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang targetnya akan disahkan tahun 2008 ini. Apabila dari beberapa peraturan pemerintah yang menggiring terjadinya kapitalisasi pendidikan terus dibiarkan begitu saja, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta pemenang dan pecundang. (*)
(Najamuddin Muhammad, Alumni Annuqayah 2005)
Vonis yang Memasung Kebebasan Pers
(Kompas, Kamis, 18 September 2008)
Putusan Majelis Hakim Jakarta Pusat, Selasa (9/9), yang mengabulkan sebagian gugatan perdata PT Asian Agri atas PT Tempo Inti Media dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad mengentak kita semua.
Vonis berupa denda Rp 50 juta dan kewajiban tergugat meminta maaf selama tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, Koran Tempo, dan harian Kompas, merupakan hukuman yang mengancam eksistensi institusi pers secara keseluruhan.
Kita ketahui, perusahaan agrobisnis Asian Agri menggugat pemberitaan majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 karena dinilai mencemarkan nama baik Sukanto Tanoto, pemilik Asia Agri Group, yang diilustrasikan sedang berjingkrak di sampul majalah yang terbit awal tahun 2007 itu.
Majelis hakim yang diketuai Panusunan Harapan memenangkan gugatan Asian Agri karena tergugat dinilai melawan hukum mengabaikan asas praduga tak bersalah, dengan menurunkan berita sebelum ada putusan hukum tetap atas kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri (trial by the press).
Dengan vonis itu majalah Tempo menanggung dua beban sekaligus, beban material dan imaterial. Beban material berupa kewajiban membayar denda Rp 50 juta. Beban imaterial berupa keharusan memohon maaf resmi di tiga media skala nasional, yang harus dilakukan selama tiga hari berturut-turut.
Vonis keharusan membayar sejumlah uang mungkin bisa ditolerir saat pengadilan memutuskan memenangkan pihak penggugat. Namun, tuntutan permohonan maaf di media cetak itulah yang terasa tidak masuk akal. Tampak vonis itu ingin membatasi, bahkan merenggut, kebebasan pers yang belum begitu lama dinikmati bangsa ini.
Secara yuridis, indikasi destruktifnya vonis itu terlihat, tidak ada dasar hukum yang mengharuskan pers meralat atau memohon maaf atas pemberitaan karena terlalu kritis. Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak mengatur keharusan meminta maaf itu. Jika dicermati, vonis yang mewajibkan majalah Tempo meminta maaf melalui medianya sendiri, terlebih media cetak lain, seperti seseorang dipaksa menjilat ludah sendiri.
Jika vonis imaterial itu benar-benar dilakukan, berita yang telah beredar luas akan menjadi sampah. Maka, berita itu akan tertolak akurasi dan validitasnya, yang pada gilirannya akan menyebabkan masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga pers. Jika masyarakat telah kehilangan kepercayaan kepada institusi pers, pihak pertama yang rugi adalah masyarakat sendiri. Tanpa pers, masyarakat akan mudah dibohongi oleh pihak-pihak yang ingin mengambil kepentingan, bahkan masyarakat mudah dibohongi pemerintah sendiri. Akibat lebih jauh, demokrasi akan terhambat. Tak terbayangkan, bagaimana nasib rakyat jika pers lumpuh.
Dua pengkhianatan
Dengan demikian, vonis pengadilan berupa permintaan maaf telah memaksa majalah Tempo khususnya dan pers umumnya melakukan dua pengkhianatan sekaligus.
Pertama, pengkhianatan kepada prinsip kerja pers, yakni kebebasan menyajikan informasi, sejauh dibutuhkan publik.
Kedua, pengkhianatan kepada publik. Pengkhianatan pertama akan berakibat pada terpasungnya kebebasan pers, sementara pengkhianatan kedua berakibat munculnya krisis kepercayaan terhadap kepada lembaga pers, yang berarti lonceng kematian bagi lembaga pers sendiri.
Disebut lonceng kematian karena putusan Pengadilan Jakarta Pusat yang disambut negatif berbagai pihak akan menyebabkan industri pers tertekan. Kita tahu, hidup-matinya institusi pers tidak lepas dari pembacanya. Mustahil pers berkembang jika publik antipati terhadap eksistensi pers.
Sebagaimana dikatakan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dikeluarkannya vonis kewajiban meminta maaf selama tiga hari berturut-turut akan menyebabkan nasib jurnalisme investigatif, seperti diterapkan majalah Tempo, terancam mati. Jika jurnalisme investigatif mati, masyarakat tak akan bisa menikmati sajian beragam informasi. Padahal, institusi pers merupakan pilar keempat demokrasi dan perannya dibutuhkan guna mengontrol, memonitor, dan mengungkap indikasi adanya penyimpangan dalam birokrasi dan pemerintahan. Mengingat vitalnya peran pers untuk mendorong kecerdasan masyarakat dan tegaknya demokrasi, vonis seperti itu seharusnya tidak terdengar lagi.
(M. Sanusi, Alumni Annuqayah 2004)
Putusan Majelis Hakim Jakarta Pusat, Selasa (9/9), yang mengabulkan sebagian gugatan perdata PT Asian Agri atas PT Tempo Inti Media dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad mengentak kita semua.
Vonis berupa denda Rp 50 juta dan kewajiban tergugat meminta maaf selama tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, Koran Tempo, dan harian Kompas, merupakan hukuman yang mengancam eksistensi institusi pers secara keseluruhan.
Kita ketahui, perusahaan agrobisnis Asian Agri menggugat pemberitaan majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 karena dinilai mencemarkan nama baik Sukanto Tanoto, pemilik Asia Agri Group, yang diilustrasikan sedang berjingkrak di sampul majalah yang terbit awal tahun 2007 itu.
Majelis hakim yang diketuai Panusunan Harapan memenangkan gugatan Asian Agri karena tergugat dinilai melawan hukum mengabaikan asas praduga tak bersalah, dengan menurunkan berita sebelum ada putusan hukum tetap atas kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri (trial by the press).
Dengan vonis itu majalah Tempo menanggung dua beban sekaligus, beban material dan imaterial. Beban material berupa kewajiban membayar denda Rp 50 juta. Beban imaterial berupa keharusan memohon maaf resmi di tiga media skala nasional, yang harus dilakukan selama tiga hari berturut-turut.
Vonis keharusan membayar sejumlah uang mungkin bisa ditolerir saat pengadilan memutuskan memenangkan pihak penggugat. Namun, tuntutan permohonan maaf di media cetak itulah yang terasa tidak masuk akal. Tampak vonis itu ingin membatasi, bahkan merenggut, kebebasan pers yang belum begitu lama dinikmati bangsa ini.
Secara yuridis, indikasi destruktifnya vonis itu terlihat, tidak ada dasar hukum yang mengharuskan pers meralat atau memohon maaf atas pemberitaan karena terlalu kritis. Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak mengatur keharusan meminta maaf itu. Jika dicermati, vonis yang mewajibkan majalah Tempo meminta maaf melalui medianya sendiri, terlebih media cetak lain, seperti seseorang dipaksa menjilat ludah sendiri.
Jika vonis imaterial itu benar-benar dilakukan, berita yang telah beredar luas akan menjadi sampah. Maka, berita itu akan tertolak akurasi dan validitasnya, yang pada gilirannya akan menyebabkan masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga pers. Jika masyarakat telah kehilangan kepercayaan kepada institusi pers, pihak pertama yang rugi adalah masyarakat sendiri. Tanpa pers, masyarakat akan mudah dibohongi oleh pihak-pihak yang ingin mengambil kepentingan, bahkan masyarakat mudah dibohongi pemerintah sendiri. Akibat lebih jauh, demokrasi akan terhambat. Tak terbayangkan, bagaimana nasib rakyat jika pers lumpuh.
Dua pengkhianatan
Dengan demikian, vonis pengadilan berupa permintaan maaf telah memaksa majalah Tempo khususnya dan pers umumnya melakukan dua pengkhianatan sekaligus.
Pertama, pengkhianatan kepada prinsip kerja pers, yakni kebebasan menyajikan informasi, sejauh dibutuhkan publik.
Kedua, pengkhianatan kepada publik. Pengkhianatan pertama akan berakibat pada terpasungnya kebebasan pers, sementara pengkhianatan kedua berakibat munculnya krisis kepercayaan terhadap kepada lembaga pers, yang berarti lonceng kematian bagi lembaga pers sendiri.
Disebut lonceng kematian karena putusan Pengadilan Jakarta Pusat yang disambut negatif berbagai pihak akan menyebabkan industri pers tertekan. Kita tahu, hidup-matinya institusi pers tidak lepas dari pembacanya. Mustahil pers berkembang jika publik antipati terhadap eksistensi pers.
Sebagaimana dikatakan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dikeluarkannya vonis kewajiban meminta maaf selama tiga hari berturut-turut akan menyebabkan nasib jurnalisme investigatif, seperti diterapkan majalah Tempo, terancam mati. Jika jurnalisme investigatif mati, masyarakat tak akan bisa menikmati sajian beragam informasi. Padahal, institusi pers merupakan pilar keempat demokrasi dan perannya dibutuhkan guna mengontrol, memonitor, dan mengungkap indikasi adanya penyimpangan dalam birokrasi dan pemerintahan. Mengingat vitalnya peran pers untuk mendorong kecerdasan masyarakat dan tegaknya demokrasi, vonis seperti itu seharusnya tidak terdengar lagi.
(M. Sanusi, Alumni Annuqayah 2004)
Selasa, 03 Juni 2008
Suspens di Balik Kepingan Salju
Sumber: Bernando J. Sujibto, Koran Tempo, 25 Mei 2008
Peraih Hadiah Nobel Sastra 2006, Ferit Orhan Pamuk, kembali meramu gagasan besar tentang peradaban Barat dan Timur yang berakar di Turki dengan karakter yang khas dalam novel Snow, di Balik Keheningan Salju. Ia merajut pertemuan Timur (Islam) dan Barat (Kristen) yang telah menciptakan kekeruhan di Turki, khususnya di awal abad ke-20, ketika Dinasti Ottoman mengalami kehancuran dan sekaligus menjadi titik tolak munculnya Turki modern di bawah kawalan Musthafa Kemal Attaturk.
Komposisi Snow terasa ringan dan segar, namun tetap penuh intrik dengan lilitan elemen thriller yang sengaja diciptakan “penuh pertanyaan”, yang bermuara ke persoalan serius tentang aliran, falsafah hidup, ideologi negara, peradaban, dan agama. Hal-hal ini mengingatkan kita kepada novel yang jauh lebih fantastik, yaitu My Name is Red, yang telah memikat audiens internasional.
Dalam Snow ada kristal salju yang merekam semua peristiwa yang dituturkan Pamuk. Uniknya, di tangan Pamuk, salju bukan sekadar salju. Salju menjadi bernuansa lain. Ia seperti ruh yang ikut mengalir di balik konflik tajam dan ketika nuansa romantis sekalipun.
Seperti halnya dalam My Name is Red, dalam Snow Pamuk mencoba mendialogkan peradaban Barat dan Timur dengan segala kompleksitas persoalannya, yang acap menjadi pemicu konflik global hingga kini, demi menggapai sinergi. Gagasan ini, menurut kritikus Margaret Atwood, menjadikan Pamuk sebagai penulis spesialis peradaban Barat-Timur yang sangat penting di abad ini. Pamuk mampu mengolah persoalan Turki dengan karakter kuat melalui jamuan thriller, cinta yang hampa, harapan yang semu, dan kegamangan posisi pemerintah dengan spirit peradaban universal dan humanisme yang kuat.
Pamuk begitu risih terhadap sebutan identitas yang menciptakan diskriminasi, seperti “aku orang Azeri”, “aku orang Kurdi”, dan “aku orang Terekemi” (hlm. 46). Ia mencoba konsep berkesenian yang melebur semesta, dengan merentangkan jembatan dialog dan transformasi pemahaman. Ia ingin sekali melebur sekat-sekat dikotomis-eketrem itu. Alasannya, ”hatiku yang bimbang mendamba Barat ketika aku berada di Timur dan mendamba Timur ketika aku di Barat... aku ingin menjadi Timur sekaligus Barat” (My Name is Red, 2006; hlm. 620).
Secara ide, My Name is Red dan Snow seperti sebuah sekuel yang saling bertalian dan menyambungkan benang-benang kusut yang sengaja disulam terputus di novel terdahulu dan dirajut secara lebih terang melalui novel yang belakangan. Konteks latar pun sama: Turki yang mengalami tekanan perubahan di tengah arus modernisasi antara Asia dan Eropa, yang memaksa negara itu menerimanya meski pada gilirannya harus mengalami keterpecahan antara Ankara dan Istanbul. Pamuk kreatif menyajikan apa yang dimilikinya. Meskipun diangkat dengan latar dan simbol Turki, gagasan peradaban yang ia ramu bisa menjadi cermin bagi dunia global, khususnya bagi dunia Islam abad ini.
Di sini salju menjadi simbol eksotisme, dan yang utama mengiringi jalinan peristiwa demi peristiwa. Si bintang baru yang terbit dari timur, demikian pujian The New York Times, memulai kisahnya dari seorang pria bernama Kerim Alakusoglu (nama inisialnya Ka), jurnalis sekaligus penyair. Pada awalnya Ka datang dari Frankfrut di kota kelahirannya, Kars, untuk meliput suksesi pemilihan wali kota dan sekaligus menyelediki tragedi bunuh diri yang semakin marak dilakukan oleh gadis-gadis Kars. Setelah dua belas tahun sebagai eksil di Jerman, Ka menjumpai Kars jauh berubah dari masa lalunya: kumuh, miskin, pengangguran tinggi, depresi karena banyak kekerasan (hlm. 25).
Ditemani Serdar Bey, seorang pengelola harian di kota itu, Ka menggali informasi lebih lanjut tentang situasi politik dan kasus bunuh diri para gadis. Seperti kasus bunuh diri yang terjadi pada Telime, gadis siswi madrasah aliyah (sekolah Islam setara SMU). Kasus ini menyita perhatian Ka karena gadis itu berjilbab dan taat agama. Ternyata, pada suatu kala setelah berwudlu dan melakukan salat, Telime membentangkan jilbabnya ke atap dan gantung diri.
Kehadiran Ka di tengah gejolak Kars menjadi lebih runyam, khususnya setelah ia --dengan mata telanjang --melihat penembakan oleh seorang yang belum jelas identitasnya terhadap Direktur Pendidikan kota itu. Penembakan terjadi di sebuah bar bernama Toko Kue Hidup Baru, ketika Ka bersama dengan Ipek, pacarnya di masa lalu yang kini menjadi janda dari Muhtar, calon wali kota Kars. Aksi penembakan merebak ke tengah kota. Posisi Ka dan Ipek pun menjadi kunci bagi penyidikan pihak militer. Di saat inilah Ka harus terlibat dengan simpang siurnya kabar dan kekacauan demi kekacauan. Di tengah kerunyaman itu pula benih cintanya kepada Ipek tumbuh perlahan, dan bahkan Ka bulat ingin mempersunting dan memboyong Ipek untuk hidup bersama di Frankfrut.Dengan berjalannya penyidikan, aksi pembunuhan pun terkuak. Direktur Pendidikan yang naas itu dibunuh oleh militan Islam yang gencar menolak kebijakan pelarangan memakai jilbab di madrasah aliyah. Pada waktu itu, terjadi keputusan di parlemen, yang mayoritas dikuasai kalangan sekuler, bahwa di sekolah dilarang memakai simbol agama, termasuk jilbab. Semua orang tua pun resah oleh keputusan ekstrem dari negara. Tak ada cara selain menyuruh anak gadis mereka mecopot jilbab demi memperoleh pendidikan. Bersamaan dengan itu pula kasus bunuh diri semakin signifikan dari kalangan anak-anak gadis.
Kasus pembunuhan itu bagai bola salju yang menggelinding kencang dan menjadi pemantik pembunuhan berikutnya yang melibatkan banyak orang, dari berbagai aliran dan paham. Di tengah situasi itu, semua elemen dimanfaatkan demi mencari menang antara militan Islam dan pihak skuler. Yang paling tragis, kegiatan kesenian seperti kelompok Teater Nasional pimpinan Sunny pun ikut menjadi tunggangan politik dan perang dingin kepentingan. Ironisnya, pemeran teater yang menjadi tunggangan pihak sekuler adalah Kadife, adik Ipek yang dikenal taat beragama. Dalam satu perannya, ia mencopot jilbab kemudian membakarnya di depan tatapan ribuan pasang mata di gedung Teater Nasional. Keberanian Kadife ternyata hanya karena cintanya kepada Lazuardi, yang berada dalam sekapan para penculik --keberanian yang tetap saja tak menolong Lazuardi, yang akhirnya terbunuh.
Pembunuhan tak selesai di situ. Kisah kian mencekam ketika intaian maut sampai ke tubuh Ka, setelah dia pulang dan beberapa bulan tinggal di Frankfrut bersama Ipek. Pembunuhnya dibiarkan menggantung oleh Pamuk. Tak ada yang yakin siapa yang melakukan semua itu. Siapa sebenarnya yang membunuh Direktur Pendidikan? Benarkah Ka berkhianat kepada Ipek dan Lazuardi? Siapa yang membunuh Ka?
Salju pelan-pelan lebur bersama air mata Pamuk, sebagai pencerita ulung yang tiba-tiba menyusup seolah menjadi tokoh. Pamuk seperti masuk ke tokoh Ka, kadang juga menyusup ke diri tokoh yang lain. Semua itu dilakukan dengan sangat cantik dan cerdik. Semua peristiwa berdarah dalam novel ini mengkristal, menjadi Salju, sebuah puisi gubahan Ka yang berisi catatan penting petualangannya di Kars.
Berkesenian yang Melebur Semesta
Sumber: Bernando J Sujibto, KOMPAS, 22 April 2007
(tulisan ini adalah resensi buku alumni kami)
Hadiah Nobel Sastra tahun 2006, yang dianugerahkan kepada Ferit Orhan Pamuk, penulis kelahiran Istanbul, Turki, 7 Juni 1952, menemukan posisi yang unik dan potensial untuk ditelisik. Seperti diakui banyak pengamat sastra dunia sekaligus panitia penganugerahan Nobel Sastra Norwegia, bahwa yang menjadi latar belakang Pamuk menerima hadiah paling bergengsi di dunia kesusastraan dunia itu adalah karena keberaniannya melebur nilai-nilai dan karakteristik Barat dan Timur dan disajikan secara memukau lewat novel-novelnya. Perang yang belakangan terus berkecamuk antara Barat (baca: Eropa/Kristen) dan Timur (Arab-Islam) mempunyai misteri yang tak kunjung selesai dikuak. Dunia Barat dan Timur terus meruncingkan senjata dan kekuatan tersembunyi yang sama- sama tak mau dikendalikan dan diatur oleh siapa pun. Hal ini terbukti dengan fenomena senjata nuklir Iran (wakil dari Timur) yang terus dicap sebagai pengembang bahan aktif bom nuklir. Juga pihak (negara) Barat yang mengembangkan senjata nuklir baik secara sembunyi- sembunyi atau yang transparan, seperti Amerika.
Berbagai antitesis yang menentang clash of civilization-nya Samuel Huntington sebagai cikal bakal kekeruhan pemahaman tentang Barat dan Timur yang dikotomis mulai muncul, tetapi semuanya masih dalam diskursus dan wacana yang minor. Secara transparan, tidak ada satu pihak pun yang menentang kedua magnet dan merentang jembatan dialogis antarkeduanya demi mencapai kedamaian dunia yang dicita-citakan.
Novel Benim Adým Kýrmýzý (My Name is Red) karya Orhan Pamuk menawarkan sebuah pendekatan dan (kalau boleh dibilang) terobosan lewat dunia kesenian sastra yang mencerahkan semua segmen peradaban (Barat dan Timur). Pamuk mencoba menawarkan sebatang lilin untuk menyinari kerunyaman Barat dan Timur dalam jalinan cerita yang apik dan memukau dalam novel ini. Dalam novel yang membawa diri Pamuk memenangi anugerah Hadiah Nobel Sastra 2006, menyusul Nagiub Mahfouz sebagai penerima penghargaan sastra paling bergengsi dari bangsa Arab, mencoba bagaimana benang yang sudah kusut itu bisa dipertalikan menjadi jembatan dialogis antarperadaban. Karena bagi Pamuk, karya seni yang baik merupakan kesatuan visi yang melebur dengan segala jenis budaya bangsa mana pun—tak terikat satu lokalitas yang ekstrem.
Sebagai keturunan orang Timur, hadirnya Pamuk ke pentas khazanah kesusastraan internasional mempunyai warna yang mengubah pandangan dunia secara signifikan. Apalagi novel My Name is Red ini mempunyai terobosan yang tak terpikirkan sebelumnya oleh siapa pun, khususnya sastrawan bangsa Timur sendiri.
Di tengah ketegangan dan kemarahan bangsa Timur karena merasa dilecehkan oleh Barat, Pamuk muncul bagai sosok "nabi" yang mau meleburkan dua kutub itu menjadi satu yang saling bergandengan tangan. Uniknya, media yang mencoba mendialogkan itu adalah media kesastraan. Inilah sisi prestisius Pamuk dalam berkiprah dengan multidimensional peradaban Barat dan Timur.
Seni sebagai jembatan
Bagi Pamuk, seni adalah jembatan yang mencoba mencari formulasi terbaik untuk menyambungkan peradaban dunia sebagai kekayaan dan khazanah kebudayaan universal. Sajian Pamuk dalam novel My Name is Red menunjukkan konsistensi itu. Meskipun novel ini tidak menohok kepada benturan peradaban Barat dan Timur seperti halnya terangkum dalam novel terbaru Pamuk, Kar (Salju, 2002—dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Snow), tetapi novel ini pada akhirnya akan bermuara pada keriskanan dua kutub itu.
Di akhir novel ini Pamuk berteriak dengan puisi yang dilagukan: "hatiku yang bimbang mendamba Barat ketika aku berada di Timur dan mendamba Timur ketika aku di Barat…aku hanya ingin menghibur diri sendiri dari depan sampai belakang, untuk menjadi Timur sekaligus Barat" (hal 620).
Berkesenian gaya Pamuk mencoba membangun jembatan untuk mempertemukan Barat dan Timur sekaligus kebudayaan dan peradabannya masing-masing. Tesis yang diusung Pamuk tentu kontra dengan pernyataan penyair Inggris, Rudyard Kipling, yang menulis bahwa "East is east and west is west and never the twain shall meet" (timur adalah timur dan barat adalah barat, keduanya tidak akan pernah bertemu).
Dalam wawancara tentang novel yang ditulisnya selama enam tahun ini, Pamuk menegaskan pandangannya tentang betapa perbedaan hendaknya tidak dijadikan alasan untuk bertikai dan saling membunuh, "dalam novel saya, mereka bahkan saling membunuh karena pertentangan Barat dan Timur ini. Namun, tentu saja, saya berharap pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya pada konflik ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan beragam hal yang berasal dari aneka akar budaya."
Cerita indah dan menarik ini bermula di Istanbul—simbol kejayaan khalifah Islam yang terakhir—di ujung abad XVI. Saat itu ada sebuah "proyek" tertutup dan tak biasa yang ditugaskan sang Sultan untuk merekam dan merayakan kejayaannya, dihiasi dengan ilustrasi para seniman, yaitu Tuan Osman, sebagai miniaturis terkemuka saat itu dengan kelompok kerja bengkel seni lukisnya yang terdiri dari beberapa orang.
Dalam proses penyusunan buku itu ada sebuah tragedi pembunuhan misterius yang terjadi pada salah satu miniaturis. Berbagai jalinan cerita berkelindan dalam mencari dan mengungkap misteri pembunuhan tersebut. Karakter tokoh yang unik dan tak biasa yang dihadirkan Pamuk bergantian dengan tidak jelas. Tidak boleh tidak misteri pembunuhan itu pun menjadi makin hitam dan tak terjejak.
Ada salah seorang pelukis ditugasi sang Sultan untuk mengusut misteri pembunuhan itu. Lelaki dengan wajah muram dengan identitasnya yang tak jelas pula menambah kerunyaman misteri itu. Akhirnya tidak ada orang yang bisa mengungkap misteri itu. Meskipun ada seorang—sebagai si "aku" dalam bab 58 (hal 669)—yang mengaku sebagai pembunuhnya, tapi si "aku" yang muncul di situ terus bertalian satu sama lain, antara Hitam, Osman, atau bahkan tokoh berkarakter Bangau, Merah, dan Kupu-kupu.
Melacak tokoh dan karakter yang diramu Pamuk tidak mudah dan bahkan seperti komentar Goenawan Mohamad tentang novel ini, memang tidak harus seratus persen dimengerti. Semua tokoh dalam novel ini menjadi "aku-aku" yang banyak dan bergantian menceritakannya kepada pembaca. Kekuatan meramu teknik dan imaji yang tidak biasa ini membuat Pamuk menjadi unggul dan muncul sebagai pencerita ulung yang menjadi sumbangan bagi khazanah kesusastraan dunia.
Kemasan cerita cinta dan pembunuhan dengan bumbu misteri yang diramu Pamuk dengan meyakinkan dalam novel ini menjadi sangat perlu dinikmati oleh siapa pun sebagai pengayaan khazanah sastra Nobel dunia sekaligus khazanah sastra Arab-Islam modern.
Nilai religiositas
Dibandingkan dengan penulis Muslim-Arab modern lainnya, Pamuk termasuk sosok novelis yang mengeksplorasi di ranah keagamaannya sangat kuat. Nilai- nilai keislaman universal yang terkandung dalam Al Quran tentang semesta yang lebur tanpa ada sekat Barat dan Timur digali dan dihadirkan secara khusus oleh Pamuk. "Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah" adalah ungkapan Pamuk yang mencerminkan sebuah ayat Al Quran tentang kepemilikan langit dan bumi hanya milik Tuhan yang Mahasatu. Tidak ada orang yang jadi penguasa di Barat ataupun di Timur.
Pemakaian simbol huruf hijaiah, seperti alif, ba, dan ta, yang menjadi bagian jalinan penyambung cerita Pamuk dalam novel ini mengingatkan kita betapa penting melihat simbol-simbol kecil religius yang jarang disadari oleh penganutnya sendiri. Pamuk mencoba menerobos hal sepele semacam itu menjadi suatu yang unik dan luar biasa. Di sisi itulah yang membuat Pamuk hadir dengan sosoknya yang dingin dan novelnya sangat penting untuk dinikmati siapa pun.
Rabu, 28 Mei 2008
Ekonomi Kerakyatan dan Keadilan Sosial
Oleh Imam Mahdi Avandy
(Ketua Umum IAA JOGJA 2007-2009)
Description
Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses sebesar-besarnya secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional serta meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, maupun dalam suatu mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan guna mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan
Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses sebesar-besarnya secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional serta meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, maupun dalam suatu mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan guna mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan
Pendahuluan
Pada saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan kaitannya dengan tema pada silabus yang disodorkan oleh The Annuqayah Institute tentang “Ekonomi Kerakyatan dan Peranannya dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus.
Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran kita semua, walaupun saya pribadi masih awam di bidang ini. Namun kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.
Ekonomi Kerakyatan Pespektif Bung Hatta
Untuk memudahkan memahami tentang ekonomi kerakyatan kita dapat mendalami dan mengaktualisasikan pemikiran Bung Hatta. Sebagai seorang cendekiawan, dia dikenal dengan pemikiran-pemikiran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dari kontribusinya dalam penyusunan UUD 1945, khususnya Pasal 34, yang menjamin kesejahteraan rakyat.
Beberapa pihak mungkin menangkap pemikiran-pemikirannya sebagai ekonom sosialis, tetapi bila kita cermati pemikiran tersebut mempunyai latar belakang kerakyatan. Melihat kondisi perekonomian nasional saat ini, adalah tepat bila kita mencari referensi dari seorang ekonom Indonesia yaitu Bung Hatta dengan ide-idenya tentang ekonomi kerakyatan. Terpuruknya perekonomian Indonesia belakangan ini, sebenarnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi para ekonom Indonesia. Selama ini paradigma yang berkembang di kalangan ekonom adalah mazhab neo-klasik, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam aliran ini pertumbuhan ekonomi diperoleh dari akumulasi kapital. Ironisnya, orientasi pertumbuhan ekonomi ini sering melupakan hal penting lainnya yaitu pemerataan kesejahteraan. Dalam sebuah tulisannya 1933 yang berjudul "Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya", Bung Hatta mengemukakan ada ketidakadilan dalam struktur perekonomian Indonesia.
Di dalam tulisan tersebut diambil contoh mengenai pola hubungan antara petani dan pedagang kecil dengan pedagang besar/cukong pada zaman kolonial. Hubungan kedua pihak ini tidak berlandaskan keadilan tetapi berlandaskan pemaksaan, dalam hal ini pedagang besar/cukong dengan bantuan pemerintah kolonial memaksa para petani kecil agar menjual komoditasnya dengan harga rendah. Ekspor pada saat itu diarahkan hanya untuk kepentingan kolonialis.
Perekonomian saat ini ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Ketidakadilan terhadap perekonomian rakyat tetap ada. Hal ini terbukti dari orientasi pemulihan ekonomi yang selalu diarahkan pada stabilitas politik untuk menarik lagi investor asing.
Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat
Paradigma ekonomi kerakyatan memang tidak populer di tengah tuntutan percepatan pemulihan ekonomi. Akan tetapi, kenyataannya perekonomian rakyat mendominasi struktur perekonomian di Tanah Air. Hal ini karena sebagian besar rakyat adalah petani dan mereka inilah pelaku utama ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah term ekonomi yang tidak dijumpai dalam teori mainstream ekonomi ala Barat. Istilah yang paling mendekati ekonomi rakyat adalah micro business, itupun terjemahan yang tidak sepenuhnya tepat.
Seperti dikemukakan di atas, adanya ekonomi rakyat di Indonesia selain perekonomian modern yang bersahabat dengan industrialiasi, sering disebut dengan fenomena dualisme perekonomian (Boeke, 1953). Dua sistem perekonomian yang kontradiktif berjalan bersamaan di suatu negara, akan tetapi tidak terjadi integrasi antara kedua sistem ekonomi tersebut, menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi di negara bersangkutan.
Fenomena dualisme ekonomi menyebabkan rendahnya pertumbuhan mungkin masih debatable, karena eksesifitas pertumbuhan ekonomi pada akhir 80-an sampai dengan akhir 90-an, setidak-tidaknya meruntuhkan teori Boeke tersebut. Yang lebih substansial adalah pemerataan kesejahteraan, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat.
Di sinilah hebatnya Bung Hatta, sebagai salah satu founding father negara ini dia telah meletakkan dasar yang tepat bagi kesejahteraan rakyat, yaitu ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan Bung Hatta tidak bisa dipersamakan dengan teori dependensia ala Paul Baran yang menganjurkan untuk menutup hubungan ekonomi dengan negara maju, untuk memotong hubungan ekonomi yang eksploitatif, namun lebih kepada orientasi pembangunan dengan mengedepankan visi kerakyatan.
Dalam bentuk praksisnya ekonomi kerakyatan berwujud koperasi. Koperasi satu-satunya bentuk badan usaha yang akan menjamin eksistensi ekonomi rakyat. Namun, kenyataan yang dijumpai saat ini koperasi masih juga tak berdaya. Jangankan untuk menjadi "darah" perekonomian nasional, untuk bertahan hidup pun koperasi kita masih susah.
Sebagai bahan perbandingan, mari kita tengok Swedia. Sebagai salah satu negara Welfare State dan termasuk negara dengan GDP tertinggi di dunia, perekonomian Swedia didominasi koperasi. Hampir semua perusahaan besar di negara ini dimiliki koperasi. Negara kapitalis seperti Swedia ternyata lebih berorientasi kerakyatan dibanding negara Pancasila seperti Indonesia.
Penutup
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.
Terakhir, yang harus dilakukan oleh kita bersama ketika duduk bareng disini, adalah bahwa saat mendiskusikan tentang perekonomian kerakyatan setidaknya dipahami sebagai proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy-nya, sebab Indonesia rakyatnya adalah mayoritas petani atau paling tidak berada pada posisi kelas menengah dan bawah. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.
Minggu, 25 Mei 2008
tabik
datang dan berceritalah
ada apa di rambutmu
tanganmu semakin keras
bagaimana engkau hari ini?
datang dan berceritalah
di sini ramah bersama kita
kirim ke
iaajogja@gmail.com
ada apa di rambutmu
tanganmu semakin keras
bagaimana engkau hari ini?
datang dan berceritalah
di sini ramah bersama kita
kirim ke
iaajogja@gmail.com
Langganan:
Postingan (Atom)