Senin, 22 Desember 2008

Tawa Perempuan

(Sumber: Suara Pembaruan, 03 Nopember 2007)

Ruangan itu masih tampak lusuh. Sobekan kertas tak bertuan berserakan di pinggiran tong sampah, tak sempat menggapai lubangnya. Ada aroma sejuk dari hembusan napas dedah dedaunan di luar jendela, begitu membentur kulit tembok tak berkelambu. Lalu mendenting dan lama kelamaan bersendawa melabrak putaran jarum jam yang begitu lamban berdetak. Seseorang berjalan lamban menuju salah satu sisi gelap, mencari celah buat sekadar menghirup udara. Seberkas cahaya rembulan melindap ke dipan yang di atasnya berjejer alat rias kecantikan. Menyiratkan bahwa penghuninya adalah perempuan. Sesekali tatapan matanya menghadap ke langit-langit rumah, berputar ke sekeliling bertautan mata kiri dan mata kanan. Kali ini menepi ke gagang pintu diiringi kedipan alis matanya, tegang seakan mencoba membuka pintu yang memang sudah nyata tertutup rapat. Mata itu mulai lelah dan kembali merebah ke pelukan kelopaknya. Lampu neon di kamar itu meredup, pinggirannya menghitam menyulitkan kornea mata memandang isi kamar ukuran mini. Perempuan itu seorang diri, berteman lamunan sepanjang malam menjelang.

Kota di mana perempuan itu tinggal, memang sudah tampak sepi. Lalu lalang kendaraan kembali berjarak sekitar lima belas ketukan. Layaknya kota mati, hingga suara ombak di lautan terdengar desirannya sayup-sayup ke telinga. Malam kembali mendiskusikan maut dan menawarkan teh hangat bagi para pecandu. Bayang menjadi sekat-sekat yang melebur ke genangan air di aspal sepanjang bumi yang basah. Di sela-sela genangan itu ada sisa gelembung yang menjelma tawa perempuan malam. Setiap musim penghujan, gelembung akan meletup-letup histeris menyita perhatian orang-orang di sekitar. Termasuk para penjual kacang rebus yang sempat berjam-jam terbata.

"Ini salah satu pertanda keberkahan nasib kota ini", seru Pak Mustamin penjual kacang rebus pada beberapa abang becak yang mulai magang di area sederhana itu.

Semenjak dua tahun terakhir kota itu seperti terkena guna-guna. Kota yang dulunya makmur dan ramah pada orang-orang yang hendak melepas lelah, saat ini situasinya amat menyayat hati penduduk. Tak ada lagi keramahan, bencana datang beruntun, kelaparan merajalela, hingga menjadikan kota ini tidak lagi bertaring. Kenangan keceriaan bocah kecil yang bermain petak umpet, belajar mengaji, suara tawa tukang ojek menunggu penumpang pun tak lagi terbahasakan bahkan oleh sebait syair pujangga.

"Barangkali putri dewa hujan dibuang ke bumi karena telah melanggar titah," Somad menimpali. Ia adalah tukang becak termuda di lingkungannya. Somad putus sekolah setelah uang simpanan hasil mengayuh becak terkuras habis untuk prosesi pemakaman ayahnya, mati dibunuh ibunya sendiri. Sedangkan yang lain mendengarkan penjelasan Somad dengan saksama. Mereka akhirnya sepakat akan mengadakan upacara penghormatan tiap malam Jumat, mengelilingi genangan air bersuara tawa perempuan. Mereka pun berlalu satu-persatu menanggalkan gelap.

*

Perempuan itu masih di kamar, rambut terurai panjang. Ini adalah malam ketiga baginya mendekam diri. Pesona ayu masih jelas menggetarkan naluri seseorang yang memandang. Seorang lelaki, memandang matanya adalah bunuh diri yang berpahala. Tangannya yang lembut memegang lembaran kertas putih serupa folio, tapi lebih tebal dan lebih putih. Di kamar itu ada banyak koleksi buku berbagai judul, tapi yang berserakan di meja perempuan itu adalah tema-tema cinta tak kesampaian. Satu judul dengan judul-judul yang lain seakan menutup perasaannya sebagai manusia yang tidak lagi dalam koridor kekasih waktu. Pelukan tangannya pada pena, akan menggores cipratan sebuah noktah kelam kisah yang mulai menghilang ke antah berantah. Tapi sampai tiga malam berlalu tak ada satu pun coretan yang dijamahnya. Bukan karena lelah, tapi karena perempuan itu menunggu dedaunan, angin, air, gerimis, api, dan tanah menjelajah ke matanya menuju ke satu titik. Yakni kubangan kecil berisikan air tepat di depan rumahnya. Lalu bumi mengundang langit bersenggama hingga kubangan itu mencipta teriakan yang menyayat hati para penduduk.

Dalam kesendirian, perempuan itu teringat masa-masa saat bersama lelaki pujaan. Lelaki gagah dengan langkahnya begitu rapi selaras dengan wajah tampan selaksa tempias purnama. Setiap hari perempuan duduk di depan teras, lurus arah pagar agar gampang terlihat orang. Lelaki gagah pasti lewat di depan rumahnya. Khayalan perempuan terus mengalir terbawa kata-kata batin. Dan sampailah saat ia pada saat menegur lelaki dengan salam dan lambaian tangan penuh telisik. Hal itu berulang kali ia lakukan bahkan berbulan-bulan, namun tidak ada respon sama sekali dari lelaki gagah. Hanya tawa sinis dan kata-kata sesumbar keluar dari mulut tipisnya tepat ketika ia berjalan sampai di kubangan. Lelaki pun membelok ke kanan menuju bangunan dengan kubah biru dan menghilang bagai ditelan tempias lampu kota.

Orang-orang di sekitar rumahnya tahu bahwa lelaki itu adalah orang yang paling baik dan sabar di kotanya. Selalu mengumbar senyum dan membantu setiap orang yang tertimpa kesulitan, namun tidak padanya. Pada perempuan yang mendekam di kamar di siang hari, dan malamnya melukis liuk tubuhnya dengan kesunyian dan kegelapan. Pekerjaan lelaki gagah itu setiap hari adalah bolak-balik menuju bangunan berkubah biru sambil membawa selendang dan peci. Sebelum fajar, lelaki itu memanggil orang-orang untuk bangun. Setiap rumah penduduk diketuk satu-persatu dan menyuruh mereka untuk segera bergegas menuju bangunan berkubah biru. Lelaki gagah sering bilang, "bangunlah kalian agar kedamaian dan keberkahan senantiasa mengalir di kota ini".

Beberapa waktu pun berlalu, kota mulai damai dan kehidupan sejahtera. Penduduk tidak lagi membutuhkan lelaki gagah. Sambil diarak dan dicaci-maki lelaki gagah diusir dari kota itu karena suaranya dianggap mengganggu orang tua, anak kecil, dan semua penduduk yang masih tepekur di waktu fajar. Hanya perempuan di teras itu yang peduli pada kepergian lelaki gagah. Kepergian lelaki gagah membuat hati perempuan di teras murung beberapa waktu lamanya. Baginya, tanpa melihat lelaki gagah hidupnya tidak lagi berarti walau tegurannya tiap pagi tidak pernah dihiraukan. Suara burung berkicauan menambah galau hatinya kala itu. Kota pun gersang dan gedung tidak lagi memutih, dan bencana datang tiada henti bersamaan dengan kepergian lelaki gagah.

*

Sesajen dan dupa sudah dipersiapkan semenjak senja tidak lagi berarak. Tetamu yang kemungkinan menghadiri ritual itu tidaklah orang sembarangan, tapi hasil peranakan gua dan pedukuhan bahkan perdukunan. Termasuk Pak Mustamin dan Somad menyibukkan diri dengan keranda cokelat dipenuhi lilitan janur kuning dan di dalamnya kembang tujuh rupa. Perempuan di kamar memandangnya dengan tersipu malu. Ternyata semakin hari penduduk kota ini munafik pada ari-arinya, yang lebih punya perasaan dan mengerti langkahnya untuk beranjak.
Pak Romli yang dituakan mulai menyalakan dupa. Wajahnya komat-kamit membaca mantra.

"Ambil tongkat ini dan tancapkan di tengah-tengah kubangan", ucapnya pada orang-orang di sampingnya. Semua orang berebut hendak meraih tongkat berkepala ular berbahan cendana. Semua mata menatap lekat ke kubangan, laki-laki dan perempuan berjejer membentuk lingkaran. Orang pertama yang bisa menancapkan tongkat tepat di rusuk kubangan aspal akan mendapat keberkahan bagi keluarganya dan untuk kota yang telah mati.

Malam semakin larut, tapi suara teriakan histeris tak kunjung muncul. Desiran angin hanya lewat melewati celah-celah sempit lorong dari arah utara. Angin selatan masih tersandera. Suara kodok di persawahan menambah riuh perasaan penduduk menanti bunyi yang dinanti-nanti. Sejurus kemudian, angin berhenti melambai dedaunan. Samar-samar kubangan mulai meletup-letup dan suara histeris melengking ke udara. Gerombolan tangan mulai berebut menjamah satu-satunya tongkat di area itu. Semakin lama tongkat kian menjauh dan suara lengkingan semakin menjadi-jadi. Dan, crass...!, satu tubuh lunglai ke tanah bersimbah darah. Kemudian disusul teriakan tubuh itu dengan kesakitan yang mendalam. Suasana kian riuh-ricuh. Sesosok tubuh kembali terhempas ke aspal dengan darah mengucur dari batok kepalanya. Kali ini teriakannya lebih keras. Akhirnya tongkat itu merenggut nyawa orang-orang di sekitar kubangan. Rembulan melihat kejadian itu dengan tetesan air mata yang kemudian menjelma gerimis kemerahan.

Perlahan, perempuan keluar dari kamar mendatangi sekumpulan tubuh yang tidak lagi bernyawa. Di tangannya ada lembaran kertas putih dan beberapa botol kosong bekas minuman. Darah yang bersimbah di aspal di masukkan ke dalam botol dan disiramkan ke tongkat berkepala ular berbahan cendana. Kemudian dengan linangan air mata perempuan itu menancapkan tongkat ke tengah-tengah kubangan. Tawa perempuan tidak lagi terdengar dan di kubangan itu muncul wajah lelaki gagah. Bibirnya seakan berteriak dan mensabdakan; "ambillah kain penutup tubuh telanjangmu dan aku tunggu engkau di bangunan berkubah biru". ***

(Nuzul Alif, Alumni Annuqayah 2006)

Tidak ada komentar: