(Sumber: Media Indonesia, Kamis, 18 Oktober 2007 07:25 WIB)
TERHITUNG sejak 1901, terdapat ritual tahunan penganugerahan hadiah Nobel untuk perdamaian yang terus mengalir hingga sekarang. Anugerah itu diberikan sebagai penghargaan atas jasa para ilmuwan/tokoh bagi kemanusiaan. Penghargaan itu diberikan setiap 12 Oktober.
Tidak seperti penghargaan Nobel untuk bidang lain, Nobel Perdamaian merupakan entitas yang paling progresif untuk diikuti perkembangannya, khususnya tahun ini. Karena, posisinya berkaitan erat dengan persoalan kemanusiaan universal dan mempunyai sisi yang signifikan bagi kesinambungan kehidupan manusia yang merindukan kedamaian di muka bumi.
Jika mengamati perkembangan Nobel Perdamaian secara mendalam, posisinya punya masa depan yang lebih kompleks. Setidaknya jika disandingkan dengan penganugerahan di bidang disiplin lain, seperti kedokteran, fisika, dan sastra, yang secara rutin juga diadakan pada waktu yang sama. Peranan Nobel Perdamaian di satu sisi telah mengupayakan misi kemanusiaan yang diimpikan Albert Nobel, sang inspirator lahirnya hadiah paling gengsi dan termahal di dunia dari sebuah negara yang menjadi kiblat dan konvensi perdamaian internasional, yaitu Norwegia.
Problem kemanusiaan adalah persoalan universal. Segala sesuatu yang menyokong tercapainya kehidupan yang dinamis di muka bumi semestinya mendapat anugerah yang bisa menggerakkan kontinuitas dan kesinambungan kemanusiaan universal. Anugerah Nobel -dalam segala disiplin- telah menunjukkan kecenderungan dan konsistensi di ranah ini. Argumen yang dikemukakan para komite penganugerahan Nobel selalu memprioritaskan dan mengapresiasi para calon penerima Nobel yang mempunyai titik singgung ihwal humanisme dan kesinambungan kehidupan manusia secara universal.
Karena itu, persoalan kemanusiaan yang kompleks dan evolutif akan senantiasa menantang para komite Nobel yang berwenang untuk memantau para tokoh yang kompeten di bidang masing-masing dan relevansinya dengan kehidupan kemanusiaan sebagai sumbangan yang tidak berkesudahan. Fakta itu dapat ditemukan dalam fenomena Nobel Perdamaian kali ini.
Selama ini, harus diakui, Nobel Perdamaian hanya untuk kalangan terbatas, seperti para negarawan, pejuang hak asasi manusia (HAM), dan aktivis pejuang perdamaian. Munculnya nama Al Gore, pejuang lingkungan dari Amerika Serikat, sebagai kandidat peraih Nobel Perdamaian 2007 tidaklah mengejutkan.
Yang menarik, munculnya kandidat dari kalangan pejuang lingkungan semakin membuka keran 'kesadaran kemanusiaan' yang selama ini menghantui tentang kategori peraih Nobel, khususnya untuk kemanusiaan. Al Gore pun semakin terkenal karena telah meningkatkan kesadaran soal ancaman pemanasan global (global warming) dengan kampanye melalui buku-buku dan film dokumenternya, An Inconvenient Truth, yang mendapat anugerah Oscar tahun ini.
Satu hal yang telah mengangkat posisi dan martabat Gore di kancah internasional adalah 'kampanye akbar'-nya atau perang yang diteriakkan terhadap iklim yang semakin tidak bisa diprediksi. Kasus climate crisis ini diperjuangkan Gore dengan tekun lewat seminar maupun tulisan-tulisannya di berbagai media massa, seperti yang terekam di situs resminya www.algore.com.
Dengan tekad 'bergerak bersama' tentang perang iklim, seperti disediakan di situs resminya itu, Gore menyediakan semacam kolom yang meminta para pengunjung situs komit dan ikut menyokong kampanye tersebut. Bagi yang ikut dalam sign seadanya itu, situs Gore akan membagi semua berita yang menyangkut tema climate crisis. Melalui media itu, kita akan lebih tahu persoalan yang bermanuver di pentas internasional.
Fenomena Al Gore
Mencuatnya sosok Gore ke pentas pencalonan untuk Nobel Perdamaian memberikan warna lain yang menyita banyak perhatian. Ia mendapat suara dari dua anggota parlemen Norwegia, yaitu Stein Toennesson, Direktur Lembaga Riset Perdamaian Internasional (PRIO), Oslo, dan Jan Egeland, Ketua Lembaga Urusan Internasional Norwegia. Keduanya sepakat memunculkan Gore menjadi peraih anugerah Nobel Perdamaian 2007 karena masalah lingkungan yang semakin kacau dan mengancam persoalan kemanusiaan.
Persoalan lingkungan, khususnya masalah pemanasan global, yang dalam satu dasawarsa terakhir mencuat sebagai isu internasional, merupakan problem yang potensial dan signifikan bagi kemanusiaan. Persoalan manusia dan kemanusiaan bergantung pada kondisi lingkungan tempat berpijak. Lingkungan merupakan masalah prinsipiil yang tidak bisa disepelekan. Mungkin kesadaran semacam itu yang akhirnya mengetuk relung kesadaran para pengelola Nobel untuk perdamaian kali ini.
Kemenangan Gore otomatis membuat paradigma penyelamatan lingkungan, apa pun jenisnya, akan mengajarkan banyak hal kepada dunia, terutama negara kita. Indonesia adalah salah satu negara yang harus belajar banyak dalam konteks ini, yakni melihat betapa memalukan realitas lingkungan yang beberapa tahun terakhir semakin tidak terperikan seperti deforestasi, pembalakan liar, dan tatanan pembangunan kota yang tidak cerdas serta menambah kekacauan kondisi lingkungan.
Bagi Indonesia, Gore akan menjadi sosok yang fenomenal. Secara tersurat, realitas itu akan menyentak kesadaran pemerintah maupun masyarakat bangsa ini tentang bagaimana memikirkan kembali kondisi lingkungan yang telah menopang kehidupan manusia. Karena kedinamisan, perdamaian, dan kesejahteraan hidup manusia bergantung erat pada kondisi lingkungannya. Pada lingkungan (alam) yang kacau dan tragis manusia super tidak mungkin muncul!
Saya yakin kemenangan Gore tidak akan mengurangi kehormatan Komite Nobel yang telah berani memperlebar persoalan 'perdamaian' yang tidak hanya berkutat kepada pejuang HAM dan aktivis kemanusiaan. Munculnya pejuang lingkungan sebagai peraih Nobel Perdamaian justru akan memantapkan perjuangan kemanusiaan yang lebih universal itu. Gore memang berbeda dengan peraih Nobel Perdamaian tahun sebelumnya, Muhammad Yunus, seorang 'ekonom rakyat' asal Bangladesh dengan Bank Grameen-nya telah mengangkat jutaan rakyat dari jurang kemiskinan yang mendera mayoritas bangsa itu.
Namun, yang perlu dicatat dalam konteks kemanusiaan, posisi Gore lebih universal. Ia mengupayakan langkah konkret demi menyelamatkan dunia manusia. Ia bukan pejuang sektor kecil di daerah tertentu, seperti yang banyak ditunjukkan para aktivis perdamaian sebelumnya. Tetapi, Gore telah menunjukkan semangat kemanusiaan universal itu demi tercapainya kedamaian bersama di muka bumi.
(Bje Soejibto, Alumni Annuqayah 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar