(Sumber, Suara Karya, Selasa, 9 Desember 2008)
Ketika Nabi Ibrahim as mendapatkan perintah dari Allah Swt untuk menyembelih putra kesayangannya sebagai bagian dari perintah kurban, Ibrahim sama sekali tak gentar dan waswas dibuatnya. Ia tetap mematuhi perintah agung dari Tuhan-nya itu tanpa sedikit pun membantah. Ibrahim tak pernah melakukan negosiasi dalam bentuk apa pun agar perintah itu dicabut atau setidaknya diganti dengan perintah lainnya yang lebih ringan.
Ibrahim dan Ismail sama-sama menerima dengan ikhlas perintah Tuhan. Tak ada kekhawatiran di antara bapak dan anak yang sudah sedemikian saling mencintai itu. Dan, ketika Ismail sudah berbaring dan tinggal menunggu waktu dirinya disembelih, Allah ternyata membuat keputusan lain: mengganti Ismail dengan seekor domba. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(-nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (Q.S. Ash-Shaffaat: 103-107).
Demikianlah kisah pengorbanan salah seorang nabi Allah yang cukup menegangkan. Allah betul-betul menguji tingkat kesabaran dan keikhlasan Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi. Totalitas kepasrahannya menggambarkan kepada kita ihwal penghambaan sejati di mana ketika Tuhan berkehendak sesuatu, manusia tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi dan pasrah terhadap kehendak-Nya.
Itulah dimensi ilahiah yang harus kita pelajari dari kisah Ibrahim dan Ismail. Egoisme kemanusiaan harus kita hancurkan untuk sampai pada Tuhan. Manusia yang senantiasa menjalankan ritus-ritus keagamaan tetapi tidak didasari oleh keikhlasan yang total, berarti benih-benih egoisme kemanusiaannya masih mendominasi. Dalam kondisi seperti ini, jelas hubungan antara Sang Khalik dan makhluk masih terbatasi oleh tabir yang sangat tebal.
Selain dimensi ilahiah, kisah tersebut juga mengandung dimensi sosial, yang lewat peristiwa itulah perintah berkurban menjadi titik awal yang harus dilaksanakan. Perintah kurban menyiratkan pentingnya kepedulian sosial direalisasikan. Sebab, kepedulian menjadi inti dan dasar terbangunnya harmonisme sosial. Karena itu, berkurban berarti juga menghancurkan sifat individualistis yang ada pada diri manusia.
Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Indonesia, menggugah kembali spirit kepedulian tidak hanya penting, tapi juga sangat relevan. Hal ini setidaknya tercermin dari kasus korupsi yang kian merajalela. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak jumlahnya pejabat pemerintah yang terkena skandal korupsi. Jika Yusril Ihza Mahendra lebih menyoroti sistem yang menurut dia berperan penting terhadap pelakunya untuk berbuat korup, saya justru berpendapat pada watak individu-individu itulah benih-benih korupsi berasal yang kemudian mengakar dan terus menjalar.
Korupsi, dengan demikian, menjadi cerminan sederhana ihwal watak individualistis manusia. Seorang koruptor jelas tidak memiliki kepedulian sosial karena ia sendiri secara tidak langsung telah memasungnya. Berbuat korup di tengah kondisi bangsa yang tak menentu akibat terpaan krisis multidimensi memiliki muatan dosa sosial yang lebih besar. Sebab, krisis yang seharusnya diatasi justru diperparah dengan mengeruk uang negara.
Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, kasus korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mungkin mereka khawatir ihwal konsekuensi politiknya, yakni rusaknya citra dan karier politik di mata rakyat. Tetapi, pada era reformasi yang lebih demokratis ini, kasus korupsi sudah sedemikian canggih dilakukan. Bahkan, korupsi dilakukan secara berjemaah. Begitu rapi mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Celakanya, ketika salah satu di antara mereka terungkap dengan jelas, tak ada ekspresi rasa malu apa pun.
Itulah potret bangsa kita yang lebih sibuk merumuskan agenda-agenda kebangsaan yang bersifat konsepsional-formal daripada merumuskan langkah riil dalam memberantas kasus korupsi. Bangsa ini memang lebih mengutamakan sesuatu yang formal daripada yang substansial. Korupsi seharusnya menjadi agenda utama karena hal ini menyangkut kesejahteraan sosial. Bangsa ini memang butuh manusia-manusia yang memiliki tingkat kepedulian tinggi; mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan dirinya sendiri. Dan, kasus korupsi setidaknya menjadi cermin betapa harapan akan datangnya kepedulian itu bertepuk sebelah tangan.
Perjalanan bangsa Indonesia memang belum sepenuhnya berakhir. Tetapi, jika kasus korupsi masih mewarnai dinamika politik dari rezim ke rezim, titik kehancuran itu tinggal menunggu waktu. Tetapi, sebagai generasi bangsa, kita tidak boleh pesimistis dengan realitas yang terjadi. Sepahit dan segetir apa pun kita tetap berharap akan ada suatu pencerahan di kemudian hari, di mana bangsa ini terbebas dari skandal korupsi yang memalukan itu.
Dengan demikian, melalui momentum Idul Adha atau yang disebut juga dengan Idul Kurban inilah kepedulian sosial penting diteguhkan. Sebaliknya, korupsi yang merupakan bagian dari sifat individualistis dan berpotensi melahirkan musibah sosial harus kita hancurkan. Inilah salah satu hikmah yang harus kita petik di balik diperintahkannya kurban. Jika kepedulian sudah menjadi sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, korupsi dengan sendirinya akan mati. Semoga.***
(Yusrianto Elga, Alumni Annuqayah 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar