(Media Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008 00:01 WIB)
Ternyata sejarah tidak selalu linier. Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang selalu menang dalam konflik internal (PKB) kini takluk di hadapan keponakannya sendiri, Muhaimin Iskandar. Mahkamah Agung (MA) telah menolak dua kasasi yang diajukan Gus Dur karena pemecatannya dianggap tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berapa waktu lalu. Penolakan MA tersebut secara yuridis menggagalkan pemecatan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan sekjennya, Lukman Edy.
Ini sejarah baru bagi Gus Dur dan PKB. Sekalipun MA memenangkan PKB kubu Muhaimin, posisi Gus Dur tetap memiliki pengaruh politik dalam tubuh PKB karena posisinya adalah Ketua Dewan Syuro. Akar masalah yang terjadi berada di tingkatan Tanfidziyah. Artinya, sekalipun MA telah memutuskan demikian, itu bukan berarti suatu keputusan anugerah bagi internal PKB kubu Muhaimin. Apalagi Gus Dur tampaknya belum bisa menerima keputusan tersebut. Jika nantinya Gus Dur tetap memilih opsi yang tidak kompromistis, rekonsiliasi atau islah tetap tidak menjadi pilihannya, masa depan PKB di tangan Muhaimin tidak akan besar.
Apabila Gus Dur keluar dari PKB, bagaimana nasib PKB di tangan Muhaimin? Warga nahdiyin tidak ada jaminan akan solid bertahan di PKB, pasti tercerai-berai suara politiknya. Warga nahdiyin akan tidak bisa dimobilisasi untuk berkonsensus secara utuh dalam menyikapi persoalan-persoalan yang bersifat politis. Karena itu, secara tidak langsung, fakta tersebut akan mempersulit NU secara kelembagaan atau PKB untuk mengakomodasi dan memenuhi kepentingan politik warga nahdiyin itu sendiri.
Kecemasan semacam itu juga dimiliki oleh KH Abdul Aziz Mansyur selaku Ketua Dewan Syuro PKB Ancol. Dia mengharapkan Gus Dur mau memilih islah. Menurutnya, PKB saat ini membutuhkan orang-orang yang telah membesarkannya. Sementara itu, Ketua Panitia MLB PKB Parung Effendy Choirie menyatakan bahwa suka tidak suka, senang tidak senang, semuanya harus mematuhi hukum. Semua pihak diminta untuk menerima keputusan MA. Menurutnya, konflik tidak akan membuat partai menjadi besar.
Ingkar genesis
Henry J Schmandt (A History of Political Philosophy, 1960), memaknai genesis parpol sebagai asumsi dasar mengapa parpol tersebut terlahir. Kalau nantinya Gus Dur benar-benar keluar dari PKB, itu berarti Gus Dur mengingkari genesis PKB itu sendiri dan mengorbankan warga NU hanya demi kepentingan politiknya.
Selain itu, masyarakat mungkin masih ingat dengan sambutan Gus Dur saat deklarasi PKB, bahwa PKB lahir sebagai bayaran utang PBNU atas tagihan masyarakat NU yang berkali-kali datang memintanya untuk mendirikan parpol. Jadi, kalau Gus Dur mengkhianati genesis PKB, berarti mengkhianati warga nahdiyin. Warga NU akan kehilangan 'rumah politik yang akan menaunginya'. Karena sekalipun orang NU memiliki banyak partai semisal, PPP, PKNU, PNUI, dan PKNU, semuanya tidak memiliki relasi historis-politis yang kuat dengan NU.
Menurut hemat penulis, apa yang dikatakan Ketua PBNU Masdar Farid Mas'udi sangat arif menyikapi konflik ini. Menurutnya, keputusan MA yang menolak kasasi Gus Dur harus diambil hikmahnya bagi kedua kubu yang berseteru. Itu adalah kesempatan baik untuk kembali merajut keutuhan partai. Lupakan semua perseteruan meskipun untuk itu sangat berat. Itu pengorbanan demi keutuhan warga nahdiyin dan bangsa pada umumnya.
Apa yang dikatakan Masdar penting sebenarnya untuk diapresiasi dan dijadikan bahan pertimbangan oleh Gus Dur dalam mengambil kebijakan politiknya pascakasasi, demi masa depan warga NU. Islah atau rekonsiliasi adalah solusi yang tepat untuk menata PKB menuju 2009. Keputusan itu akan memberikan daya tarik terdiri bagi masyarakat, bahwa Gus Dur bukan 'manusia setengah dewa di PKB', sosok yang mau menghargai hukum di dalam tradisi politik kita yang kian pragmatis. Masyarakat akan tersadarkan, PKB memiliki figur yang demokratis.
(Fathor Rahman MD, Alumni Annuqayah 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar