Senin, 22 Desember 2008

Kapitalisme Pendidikan

(Sindo, 4 September 2008)

Beberapa tahun ini iklim pendidikan kita dihadapkan pada dua persoalan yang sangat paradoks. Di satu sisi luka perih pendidikan kita merasa terobati dengan prestasi pelajar Indonesia yang tiap tahun memenangi Olimpiade Internasional.

Kabar itu seakan menandaskan bahwa pendidikan kita sudah dapat bersaing dalam kancah yang lebih luas. Namun, di sisi lain, kita banyak disuguhi kabar mengenaskan ihwal kondisi anak-anak Indonesia yang menjadi buruh atau kuli.

Banyak di antara mereka yang dengan kondisi terpaksa karena himpitan ekonomi harus putus sekolah. Kalaupun memang ingin mengenyam pendidikan, mereka ditempatkan di sekolah perdesaan dengan fasilitas terbatas, gedung kumuh, atap bocor, dan guru seadanya.

Pada tahun ini beberapa pelajar Karisma Bangsa telah mendapat medali emas dari ajang kontes penelitian bergengsi dengan tema International Young Inventor Project Olympiad (IYIPO) di Georgia. Pelajar Indonesia telah mampu menorehkan prestasi setelah menang dalam bersaing dengan koleganya dari 22 negara.

Hal ini memang merupakan prestasi lanjutan dari tahun sebelumnya setelah Teuku Mahfuzh Aufar Kari (SMA 10 Fajar Harapan Banda Aceh), Moh Faiz (SMAN 1 Pacitan), William (SMA Sutomo Medan), dan Vicentius (SMA St Louis I Surabaya) membawa harum negeri ini dengan berhasil membawa dua medali perak dan dua medali perunggu dari ajang bergengsi Olimpiade Kimia Internasional (International Chemistry Olympiad) ke-29 di Moskow, Rusia.

Namun, jangan heran jika di balik segelintir pelajar kita yang telah menorehkan prestasi itu, ternyata masih lebih banyak anak telantar dan anak yang terpaksa mengenyam pendidikan seadanya di perdesaan. Laporan UNICEF menyatakan, 26 persen dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun kartu tanda penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, dan tanpa masa lalu ini ada sekitar 23,5 juta.

Bila identitas mereka sudah tidak jelas,apalagi sekolahnya. Kalau terpaksa mengenyam pendidikan, mereka bersekolah di bekas kandang ayam. Di antaranya seperti Sekolah Dasar (SD) Islam Darul Ihsan, Ciburial, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang beberapa fasilitasnya memang sudah tak layak pakai. Jangankan mengimpikan komputer dan internet, tempat duduk dan papan tulisnya saja sudah layak untuk bara api (Kompas, 10/5).

Tidak jauh mengenaskan dari kondisi SD di Enggano, yakni di Desa Kahyapu, Ka’ana, Malakoni, Apoho, dan Banjarsari yang tiap sekolah hanya memiliki tiga ruang kelas yang digunakan siswa kelas I hingga siswa kelas VI. Dengan demikian, untuk mengatakan bahwa pendidikan Indonesia kian membaik adalah suatu yang paradoks.

Ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang dicipta oleh sistem pendidikan masih cukup kental terjadi. Bagi kalangan elite, mereka mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit atau yang dikenal dengan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang secara kualitas mumpuni, sedangkan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah sekolahnya di pinggiran yang terkadang gurunya pas-pasan, sarananya minim, dan ironisnya banyak kalangan yang tak mampu memasukkan anaknya ke sekolah lantaran masalah finansial.

Dengan berlatar ketimpangan sekolah yang dipicu oleh kemiskinan, timpang pula masa depannya. Karena miskin, tidak bisa bersekolah atau bersekolah tapi di daerah pinggiran yang serba berkekurangan. Tidak bisa bersekolah, lalu tidak mampu mengubah nasib. Terus saja miskin.

Bahkan kemiskinan dan keterbelakangan diturunkan dari generasi ke generasi (Dr Willy Toisuta, 2005). Korelasi antara kemiskinan dan pendidikan menjadi spiral yang terus membiak apabila tak segera diatasi. Dalam konteks inilah, benar apa yang dikatakan Paulo Fraire (2005) bahwa pendidikan kerap dijadikan sebagai alat ampuh praktik penindasan.


Kapitalisasi Pendidikan

Permasalahan mendasar dari semua itu adalah terjadinya praktik kapitalisasi pendidikan. Pendidikan yang sejatinya menjadi hak semua warga negara tanpa mengenal kelas, apakah itu kaya atau miskin, telah tergiring pada praktik jual beli pendidikan.

Dengan memakai logika “siapa yang berduit akan mengenyam sekolah elite berkualitas dan mereka yang miskin terpuruk dalam sekolahsekolah yang mengenaskan”, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta jurang pemisah antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.

Terjadinya kapitalisasi pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah yang secara lambat laun mulai lepas tangan. Sejatinya memang pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka apabila pemerintah mulai undur diri, beberapa lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri mulai memakai logika pasar dalam mengelola pendidikan.

Tidak serta-merta menyalahkan beberapa lembaga pendidikan yang menaikkan biaya melambung tinggi karena mereka sudah diliarkan oleh pemerintah untuk mengelola lembaganya secara otonom. Pemerintah secara tidak langsung telah mengamini atau bahkan menjual pendidikan kita pada pasar.

Hal ini mulai tampak ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam peraturan itu tertera bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 persen.

Akan disusul juga dengan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang targetnya akan disahkan tahun 2008 ini. Apabila dari beberapa peraturan pemerintah yang menggiring terjadinya kapitalisasi pendidikan terus dibiarkan begitu saja, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta pemenang dan pecundang. (*)

(Najamuddin Muhammad, Alumni Annuqayah 2005)

Tidak ada komentar: